Disuatu senja pertengahan bulan Agustus, aku duduk termenung sendiri di atas balkon rumah kecil kontrakanku bersama istri dan anak laki-laki kecilku. Aku memandangi langit biru yang diselimuti awan. Pikiran menerawang ke belakang, meresapi waktu-waktu yang telah berlalu, khususnya dalam lima tahun terakhir setelah aku lulus kuliah. Ku sadari memang beberapa tahun belakangan itu, aku tidak maksimal bahkan tidak bisa hanya sekedar untuk dikatakan optimal. Diriku dikala itu masih seperti mencari jati diri, siapa aku dan kemana aku akan melangkah. Sulit memang rasanya jika menjalani suatu pilihan yang tidak didasari oleh kesadaran yang sesadar-sadarnya dari dalam hati, melainkan pilihan orang lain. Alhasil, aku merasa diriku jalan ditempat, jauh tertinggal dibandingkan teman-teman lain.
Jatuh bangun diriku menjalani hari demi hari yang sunguh terasa begitu berat. Beberapa kali aku merasa berada pada titik terendah dalam hidupku. Sampai akhirnya aku hanya bisa untuk terus melangkah, setidaknya ada progress yang kulakukan setiap harinya walau hanya sedikit daripada hanya berdiam diri. Aku selalu berdoa pada setiap lima kali kesempatan dalam sehari itu, terkadang juga pada sepertiga malam terakhir, masih adakah kesempatan untukku untuk kembali bangkit dan menjalani ini semua secara lazim seperti kebanyakan orang-orang yang bisa sangat menikmati apa yang dilakoninya setiap hari. Sampai pada akhirnya Allah menjawab doaku, kesempatan itu datang terlebih disaat aku sudah nrimo terhadap ketentuan-Nya.
Alhamdulillah akhirnya aku menikmati hari-hariku sekarang. Apapun yang pernah kualami, kujadikan pelajaran berharga supaya ke depannya tidak terulang lagi. Tidak hanya untukku, tapi juga untuk anakku nanti bahwa aku harus menemani mereka tumbuh dewasa, membantu mereka mencari jati dirinya, mengarah tapi bukan mendikte.
No comments:
Post a Comment