Alternatif Sistem Pemerintahan untuk Indonesia, Sekelumit Unek-Unek dari Seorang Warga Negara Biasa yang Awam tanpa Maksud Politis Sama Sekali
Akhir Agustus kemarin ada demo besar-besaran di seluruh penjuru negeri. Demo tersebut terjadi karena di tengah-tengah kesulitan hidup yang dialami oleh rakyat, gaji para anggota dewan justru jauh di atas rata-rata nasional. Demo yang berlangsung selama beberapa hari turut memakan korban jiwa. Turut berbela sungkawa dan doa yang terbaik untuk para korban.
Akibat peristiwa demo besar-besaran tersebut, gw jadi sedikit mempelajari Sistem Pemerintahan di Indonesia yang menganut full-presidensil, tapi anehnya di sistem ini seharusnya Presiden terpisah jelas dari legislatif dan mempunyai veto terhadap undang-undang yang diloloskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Majelis Rendah) DPR malah ikut membahas undang-undang bersama DPR dan tidak memilki hak veto. Sementara DPD sebagai Majelis Tingginya juga tidak mempunyai peran yang signifikan dan cenderung bersifat simbolik perwakilan antara Provinsi dan Pusat.
Selain itu, seperti yang pernah gw tuliskan, sistem presidensil memang dari awal didesain untuk stabilitas pemerintahan terlepas dari dinamika di Parlemen, meskipun pertanggung-jawaban Presiden kurang jelas karena tidak bertanggung-jawab kepada Parlemen dan keduanya tidak bisa salig menjatuhkan. Fungsi kepala negara sebagai simbol untuk menyatukan rakyat juga tidak berfungsi di sistem full-presidensil karena sekaligus sebagai kepala pemeerintahan. Sementara sistem Parlementer klasik seperti di negara-negara Eropa (monarki konstitusional terutamanya) mungkin fungsi raja atau ratu murni sebagai kepala negara seremonial simbolik yang menyatukan rakyat sangat berpengaruh dan di bidang pemerintahannya pertanggung-jawaban Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan memang jelas, dia bisa jatuh apabila pertanggung-jawabannya tidak diterima oleh Parlemen alias terkena mosi tidak percaya. Namun di satu sisi, akan menjadi bumerang kalau pemerintahannya sering jatuh, negara jadi jalan di tempat. Di satu sisi, monarki yang berkuasa dalam cakupan nasional di Indonesia sudah tidak ada lagi. Satu lagi ada sistem pemerintahan yang menggabungkan corak dari keduanya, yaitu semi-presidensil. Presiden sebagai kepala negara simbolik, tapi memiliki beberapa peran eksekutif yang strategis dipilih langsung oleh rakyat, sementara Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan sehari-hari dipilih oleh Parlemen dan tetap bertanggung-jawab kepada Parlemen.
Selama beberapa hari dengan membanding beberapa model pemerintahan yang ada di dunia seperti full-presidensilnya Amerika Serikat, semi-parlementernya Perancis dan khususnya Portugal, gw coba membuat sebuah alternatif sistem pemerintahan dari pusat sampai daerah di sebuah negara republik kesatuan yg geografinya kepulauan dan multicultural seperti Indonesia. Sistem Parlementer klasik ga terlalu banyak gw ambil karena untuk negara seperti Indonesia lebih banyak gagalnya dengan sistem ini, hal itu terbukti diantara tahun 1949-1959 dulu. Disclaimer dulu, ini semata-mata hanya unek-unek pribadi sebagai seorang warga negara biasa yang tentunya awam di bidang Ilmu Pemerintahan maupun Hukum Ketatanegaraan dan tidak ada muatan politis apapun. Berikut penjelasannya.
A. Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
Bentuk negara tetap Kesatuan dengan desentralisasi. Level nasional, sistem pemerintahan berbentuk semi-presidensil, ada Presiden Republik & Perdana Menteri Negara (PM).
Presiden Republik sebagai Kepala Negara simbolik, menyatukan rakyat, tapi juga punya fungsi eksekutif terbatas seperti urusan strategis, panglima tertinggi angkatan bersenjata, diplomasi antar negara & di forum internasional, militer & keamanan negara secara global, menunjuk Perdana Menteri dari anggota DPR terpilih Partai Pemenang atau partai koalisi pemenang Pemililihan Umum Legislatif, mencopot Perdana Menteri (atas persetujuan MPR/Parlemen) apabila terjadi kekacauan negara terutama dalam hal ekonomi dan keamanan dalam negeri, menunjuk PM baru setelah PM terkena mosi tidak percaya dari Parlemen, selama masa kekosongan kabinet pemerintahan Presiden bertindak sebagai eksekutif secara terbatas (tidak boleh mengambil keputusan besar) dan tetap berkoordinasi dengan Parlemen sehingga efektivitas pemerintahan bisa tetap terjada dengan Presiden sebagai penyangga, melantik dan memberhentikan menteri, kepala badan/lembaga negara non-kementerian (atas saran dari PM), membubarkan Parlemen atas saran dari PM dan memerintahkan Pemilihan Umum Legislatif, hak veto untuk rem darurat (alasan konstitusi setelah mendapat saran dari MK, melanggar HAM & memberatkan rakyat banyak secara tidak proporsional dalam hal ekonomi-sosial), sebagai penengah dan penjaga konstitusi. Masa jabatan 5 tahun, dapat dipilih lagi untuk 1 kali masa jabatan. Boleh dari partai, tapi harus mengundurkan diri dan netral setelah terpilih sebelum pelantikan.
Perdana Menteri (PM) sebagai kepala eksekutif pemerintahan dalam negeri sehari-hari, namun bisa juga internasional apabila konteksnya teknis seperti ekonomi dan perdagangan antar negara. Bertanggung-jawab kepada Parlemen, jika pertanggung-jawaban ditolak maka kabinet pemerintahannya jatuh. Tidak ada batasan masa jabatan selama mendapat dukungan mayoritas dari Parlemen. PM berasal dari anggota Partai Politik (tapi tidak boleh atau harus meninggalkan jabatan struktural partai) yang terpilih sebagai Anggota DPR dari partai pemenang Pemilihan Umum Legislatif atau partai koalisi pemenang. Perdana Menteri harus tetap menjadi anggota DPR & memiliki hak suara di MPR selama menjabat sebagai Perdana Menteri dengan tidak mengubah komposisi kursi partai di DPR Majelis Rendah sesuai hasil Pemilihan Umum Legislatif. PM menahan diri (abstain) pada voting tertentu yang berkaitan langsung dengan remunerasi atau pemekaran kewenangan eksekutif, atau mewajibkan pengungkapan konflik dan pembatasan penggunaan sumber daya legislatif untuk kampanye kabinet. Apabila setelah terkena mosi, Perdana Menteri kembali menjadi Anggota Legislatif DPR Majelis Rendah karena dari awal dia memang tetap menjadi anggota DPR dan tidak kehilangan kursinya selama Parlemen tidak dibubarkan oleh Presiden Republik.
B. Legislatif
Bikameral yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau Parlemen terdiri dari DPR dan Senat, Dimana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Majelis Rendah jumlahnya 580 orang yang dipilih dari Daerah Pemilihan pada tiap-tiap Provinsi (diisi partisan ±65%, nonpartisan profesional berbagai bidang/tokoh masyakarat/tokoh agama ±15%, birokrat murni (yg sejak awal berkarir dipemerintahan) tapi harus cuti apabila terpilih atau yang sudah pensiun ±10%, selebihnya sisa 10%-nya dapat diisi dari ketiganya. Berlaku Staggered 80:20, anggota DPR terbagi 2, ada yang dipilih untuk masa jabatan 4 tahun (80% dari total jumlah DPR) dan ada yang dipilih untuk masa jabatan 2 tahun (20% dari total jumlah DPR). DPR diambil staggered komposisi 80:20 karena untuk menjaga stabilitas Pemerintahan Perdana Menteri, tapi juga masih ada sisi responsif terhadap isu-isu terbaru setiap 2 tahun. Mekanisme di DPR musyawarah mufakat, tapi kalau buntu boleh pemungutan suara (voting). Tidak ada masa jabatan maksimal Anggota DPR sepanjang dia tetap terpilih dalam pemilihan.
Pimpinan DPR: Ketua DPR berasal dari Partai pemenang nomor 1 & Wakilnya berasal dari Partai pemenang nomor 2 yang masing-masing diganti setiap 2 tahun. Untuk Mencegah satu blok partai menguasai majelis.
Senat sebagai Majelis Tinggi jumlahnya 152 orang (bisa diisi birokrat murni yang cuti setelah terpilih atau pensiun sebanyak ±45% dan diisi profesional tapi spesifik di bidang pelayanan publik atau hukum tata negara sebanyak ±45%. Selebihnya sisa ±10%-nya dapat diisi dari keduanya. Berlaku Staggered-term masa jabatan. Anggota Senat memiliki masa jabatan 6 tahun, akan tetapi Pemilihan Legislatif Senat dilaksanakan setiap 2 tahun sekali. Senat diambil staggered masa jabatan karena tidak langsung berpengaruh ke koalisi Partai Politik Pemerintah, sehingga aman untuk kestabilan pemerintahan Perdana Menteri. Mekanisme anti-capture untuk Senat: batasi persentase birokrat yang baru saja pensiun terburu-buru; pastikan representasi komunitas lokal/ minoritas.
Pimpinan Senat: Ketua Senat berasal dari pihak mayoritas (birokrat atau indepenpen), wakilnya berasal dari pihak minoritas yang masing-masing diganti setiap 3 tahun.
Jika terjadi veto oleh Presiden Republik terhadap undang-undang yang diloloskan oleh MPR, maka untuk tetap meloloskan undang-undang tersebut, override balik oleh MPR harus mencapai persetujuan 3/5 dari seluruh anggota MPR (732 orang).
C. Eksekutif
Kementerian eksekutif yang dipimpin oleh Perdana Menteri Negara terdiri dari 21 Kementerian, yaitu :
1. Menteri Kementerian Kesekretariatan Negara (Deputi Perdana Menteri)
2. Menteri Kementerian Keuangan (Deputi Perdana Menteri)
3. Menteri Kementerian Dalam Negeri (Deputi Perdana Menteri)
4. Menteri Kementerian Luar Negeri
5. Menteri Kementerian Pertahanan dan Keamanan
6. Menteri Kementerian Politik, Hukum & HAM (Pohulkam)
7. Menteri Kementerian Kesehatan
8. Menteri Kementerian Agama
9. Menteri Kementerian Pendidikan Dasar & Menengah
10. Menteri Kementerian Pendidikan Tinggi & Riset
11. Menteri Kementerian Perindustrian
12. Menteri Kementerian Pemuda & Olahraga
13. Menteri Kementerian Kebudayaan & Pariwisata
14. Menteri Kementerian Investasi
15. Menteri Kementerian Komunikasi & Informasi
16. Menteri Kementerian Kelautan & Perikanan
17. Menteri Kementerian Pertanian & Peternakan
18. Menteri Kementerian Pertanahan & Tata Ruang
19. Menteri Kementerian Lingkungan Hidup
20. Menteri Kementerian Energi, Sumber Daya & Mineral
21. Menteri Kementerian Transportasi
Deputi Perdana Menteri: Sekretaris, Keuangan, Dalam Negeri; Menteri bidang sensitif : Menteri Luar Negeri, Pertahanan & Keamanan, Pohulkam dan Kesehatan wajib konfirmasi DPR dengan supermayoritas 3/5.
Khusus Menteri Luar Negeri dan Pertahanan & Keamanan, wajib disetujui oleh Presiden Republik karena terkait dengan hubungan luar negeri & keamanan nasional.
Ada kuota 10–30% menteri nonpartisan profesional yang tidak boleh berasal dari partai politik.
Menteri Kementerian bisa berasal dari partisan yaitu anggota DPR terpilih dari Partai Politik atau anggota Partai Politik (bukan anggota DPR) ataupun independen profesional. PM sendiri & Menteri Kementerian yang berasal dari anggota DPR terpilih, maka akan tetap menjadi anggota DPR dengan hak suara & tidak bisa memberikan kursinya di DPR kepada anggota partai lain. Dia akan merangkap jabatan dengan penyesuaian gaji. Tidak berarti secara mutlak mendapat gaji anggota DPR + gaji menteri secara penuh keduanya. Melainkan yang lebih utama PM mendapat gaji utama sebagai PM dan tunjangan tertentu karena posisinya di DPR dan begitu juga dengan Menteri Kementerian. Menteri partisan dari anggota DPR terpilih dan atau anggota partai dari partai koalisi parlemen yang ditunjuk PM otomatis disetujui MPR. Sementara Menteri independen non-partisan, perlu persetujuan minor dari MPR.
Badan Negara ada 8, yaitu :
1. Badan Intelejen Negara (BIN)
2. Badan Narkotika Nasional (BNN)
3. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
4. Badan Pusat Statistik (BPS)
5. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG)
6. Badan Keamanan Laut (Bakamla)
7. Badan Riset Nasional (BRIN)
8. Badan Geospasial (BG)
Lembaga Pemerintah Non-Kementerian :
1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
2. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
3. Bank Indonesia (BI)
4. Ombudsman
5. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
6. Komisi Nasional Hak Asasi manusia (Komnas HAM)
7. Komisi Pemilihan Umum (KPU)
8. Dewan Ekonomi Nasional (DEN)
Untuk Kepala Badan dan Lembaga Pemerintahan Non-Kementerian ada seleksi lewat komite independen (akademisi, tokoh masyarakat, asosiasi profesi). Tidak ada masa jabatan maksimal untuk Menteri Kementerian, Kepala Badan dan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, sepanjang dia ditunjuk oleh Perdana Menteri.
Dewan Ekonomi Nasional diisi oleh mantan Presiden dan Perdana Menteri sebelumnya, ekonom independen, perwakilan pengusaha dari asosiasi pengusaha & serikat kerja (yang secara resmi diakui okeh negara untuk mengarahkan kesinambungan arah pembangunan nasional agar tidak terlalu berbeda haluan jika partai pemenang Pemilihan Umum berbeda. Di ketuai oleh ex-Presiden atau ex-PM. Sifatnya lebih ke pemberi nasehat dan bukan pengambil keputusan.
Adapun Kepala Badan/Lembaga Negara Non-Kementerian lainnya (wajib independen/non-partisan) juga ditunjuk oleh PM minimal 3 tahun masa jabatannya (sehingga apabila PM jatuh karena mosi keberlanjutannya tetap terjaga atau bisa diganti lebih cepat jika memang kinerjanya tergantung dinamika di lapangan), dengan pertimbangan saran & penolakan/persetujuan MPR.
D. Eksekutif lain yang masih ranah Perdana Menteri
1. Jaksa Agung masa jabatan 8 tahun tidak bisa dipebarui, ditunjuk oleh PM, dengan pertimbangan saran & penolakan/persetujuan supermayoritas 3/5 MPR.
2. Panglima Tentara Nasional masa jabatan 5 tahun perpanjangan hanya 1 tahun ditunjuk oleh PM, dengan pertimbangan saran & penolakan/persetujuan supermayoritas 3/5 MPR..
3. Kepala Kepolisian masa jabatan 5 tahun perpanjangan hanya 1 tahun ditunjuk oleh PM, dengan pertimbangan saran & penolakan/persetujuan supermayoritas 3/5 MPR.
E. Alur jika Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan Eksekutif terkena mosi tidak percaya oleh Parlemen
0-30 hari -> Presiden Republik meminta Anggota Parlemen DPR Majelis Rendah perwakilan dari Partai Politik untuk menunjuk Perdana Menteri Baru dari koalisi yang sudah ada sebelumnya.
Jika terjadi kebuntuan, 31-60 hari -> Presdien Republik meminta DPR Anggota Parlemen DPR Majelis Rendah perwakilan dari Partai Politik untuk membentuk koalisi baru dan menunjuk Perdana Menteri yang Baru.
Jika terjadi kebuntuan, 61-90 hari -> Presiden Republik membubarkan DPR untuk kursi dari wakil Partai Politik (65%) dan Campuran (10%)
Anggaplah sistemnya sudah digitalisasi dan verifikasi Hasil Pemilihan dilakukan per-Provinsi sehingga minim sengketa, valid dan lebih cepat. Setelah diadakan Pemilihan Umum Legislatif, maka 60 kemudian paling lambat harus sudah ada hasil akhirnya.
30 hari setelah penetapan hasil Pemilihan Umum Legislatif, maka Partai Pemanang harus membentuk Koalisi dan menunjuk Perdana Menterinya.
30 hari setelah Perdana menteri ditunjuk, maka Perdana Menteri harus sudah membentuk Kabinetnya dan Pemerintahan kembali di bawah Perdana Menteri.
Total waktu paling lama dari terjadi mosi hingga terbentuknya Kabinet baru adalah 210 hari (7 bulan). Selama masa itu, Presiden Republik menjadi Caretaker Pemerintahan dengan kewenangan terbatas (administratif) dan hanya diperbolehkan mengambil keputusan besar apabila terjadi bencana atau perang.
Rincian tentang ranah administratif
Presiden selama masa kekosongan PM terbagi 2, yaitu:
Administratif biasa = urusan rutin:
menjalankan program yang sudah ada, membayar gaji, distribusi subsidi, tender
berjalan, dst.
Administratif darurat (seperti yang
kamu maksud) = tindakan teknis sementara untuk menjaga agar mesin negara
tidak mogok → misalnya: menunda proyek non-prioritas, memotong belanja
birokrasi, mempercepat pencairan dana cadangan, realokasi kecil antar-pos
anggaran dsb.
Bukan keputusan strategis permanen,
seperti: menaikkan/menurunkan pajak, menciptakan skema subsidi baru, merombak
undang-undang APBN dan membentuk lembaga fiskal & menetapkan kebijakan
fiskal baru.
Presiden tidak diberi kewenangan penuh dalam kondisi normal untuk mencegah berlakunya sistem full-presidensil. Menteri kementerian juga tetap menjabat untuk urusan administratif di bawah koordinasi Presiden. Sementara setelah terkena mosi, Perdana Menteri kembali menjadi Anggota Legislatif DPR Majelis Rendah karena dari awal dia memang tetap menjadi anggota DPR dan tidak kehilangan kursinya selama Parlemen tidak dibubarkan oleh Presiden Republik.
F. Pemerintah Daerah
Level provinsi model hibrid, mungkin ini yang paling unik dan belum pernah berlaku di Indonesia. Ada Presiden Provinsi (kecuali D.I.Yogyakarta monarki absolut penetapan Sultan Ngayogyakarta & Paku Alam seumur hidup dan diteruskan turun temurun) sebagai Kepala Provinsi yang dipilih langsung oleh rakyat, dengan kewenangan eksekutif & hak veto terbatas (pelanggaran hukum, konstitusi, kebijakan yang merugikan identitas budaya/daerah atau kondisi genting), tapi juga simbolik karena tiap-tiap provinsi memiliki identitas daerah masing-masing, wilayah luas dan heterogen penduduknya. Presiden Provinsi juga menaungi Dewan Adat Provinsi misal seperti di Dewan Adat Provinsi D.I. Aceh (dengan keunikan Islamnya) yang di ketuai oleh Wali Nanggroe Aceh dan Dewan Adat Provinsi Bali (dengan keunikan Hindunya). Papua memiliki Dewan Adat di tingkat Provinsi sampai Kabupaten/Kota. Selain 3 Provinsi tersebut, diperbolehkan memilki Dewan Adat level Kabupaten/Kota (terutama kabupaten yang memiliki keunikan komunitas/sub-suku dibanding Provinsinya secara umum) yang juga dinaungi langsung oleh Presiden Provinsi, misalnya Dewan Adat Baduy, Mentawai, Tengger, Osing, Cirebon, Suku Anak Dalam, dll. Semua Dewan Adat sifatnya konsultatif kepada Presiden Provinsi, “masukan wajib dipertimbangkan” untuk isu sensitif adat/agama, agar Dewan Adat tidak kehilangan relevansi.
Untuk Kepala Pemerintahan provinsi ada Gubernur/Perdana Menteri (PM) & Wakil/Deputi PM Provinsi (kecuali D.I.Yogyakarta monarki absolut Sultan Ngayogyakarta & Paku Alam seumur hidup dan diteruskan turun temurun) yang ditunjuk dari partai politik pemenang/koalisi yang dipilih langsung oleh rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi) yang unikameral, tapi karena provinsi juga sifatnya semi-administratif, sehingga gubernur/PM & Wakil/Deputi Provinsi masa jabatan stabil selama 5 tahun (dapat dipilih kembali untuk 1x masa jabatan), tidak ada mosi tidak percaya dari DPRD namun ada mekanisme koreksi dari Presiden Provinsi dan impeachment dari DPRD Provinsi. Khusus untuk Provinsi D.I. Aceh ada partai-partai lokal sebagaimana sesuai dengan Perjanjian Damai Helsinki tahun 2005. Khusus untuk D.I. Yogyakarta karena monarki absolut, ada Dewan Penasehat Provinsi Independen.
Level kabupaten/kota, model full-presidensil karena murni administratif dan wilayah tidak seluas provinsi. Dimana ada bupati/walikota yang dipilih langsung oleh rakyat sebagai eksekutif yang terpisah secara jelas dengan legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota yang juga dipilih oleh rakyat.. Fix term 5 tahun, ada menaisme impeachment.
G. Yudikatif
Lembaga Yudikatif ada 3 komponen utama, yaitu Komisi Yudisial, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
1. Komisi Yudisial
Hakim Komisi Yudisial untuk menjaga independensi hakim, total ada 7 orang yang terdiri dari 3 Hakim dari Mahkamah Agung & 4 Hakim dari kalangan independen (non-partisan) profesional spesialisasi di bidang hukum. 4 Hakim independen (non-partisan) terdiri dari 2 Hakim yang ditunjuk oleh Presiden Republik & 2 Hakim yang ditunjuk oleh MPR (1 DPR & 1 Senat). Masa jabatan 8 tahun. Kepala Hakim Komisi Yudisial dipilih secara Musyawarah Mufakat yang dilakukan oleh 7 orang Hakim tersebut. Disini gw pecah lagi 4 yg independen ditunjuk Presiden Republik juga, jadi ga cuma ditunjuk MPR (DPR & Senat) supaya lebih menyebar tidak ada tendensi tertentu. Apakah lebih baik?
2. Mahkamah Agung
Ketua Mahkamah Agung harus berasal dari birokrat Hakim di dalam Sistem Peradilan Mahkamah Agung Republik (PNS Hakim Mahkamah Agung). Calon Hakim Agung Mahkamah Agung ditunjuk oleh 7 Hakim Komisi Yudisial dan MPR hanya memberi saran minor (DPR dari aspek politik-akuntabilitas publik & senat dari aspek kualifikasi profesional-pengalaman hukum) dan MPR menyetujui lebih secara formalitas. Masa jabatan 8 tahun.
3. Mahkamah Konstitusi
Terdiri dari 3 Hakim (independen/non-partisan) yang ditunjuk Presiden Republik, 4 Hakim dari Mahkamah Agung (birokrat PNS Hakim Mahkamah Agung) dan 2 Hakim (independen/non-partisan) yang ditunjuk MPR, 1 dari DPR dan 1 dari Senat. Disini MPR (dari 3 DPR existing sekarang di Indonesia) dikurangi 1 kuotanya sehinggga hanya 2, itupun dari DPR 1 dan Senat 1. Jadi potensi penunjukan politisnya oleh DPR yg memang partisan sangat diminimalisir hanya 1 orang, sementara Senat yang independen sumbang 1 nama.
Hakim Agung & Hakim Konstitusi
Wajib uji publik terbuka → kandidat dipanggil ke DPR/Senat, ditanya rekam jejak, integritas, putusan kontroversial.
Tambah panel seleksi profesional (Komisi Yudisial independen + asosiasi profesi hukum).
Syarat bebas dari jabatan partai politik minimal 5 tahun.
Ini bikin filter bukan hanya soal siapa yang tunjuk, tapi juga apa yang diperiksa sebelum diangkat.
Staggered-term masa jabatan berlaku di Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi yang terdiri lebih dari 1 orang Hakim. Bisa dengan cara mereka memulai masa jabatan di waktu yang berbeda.
Untuk Komisi Yudisial misal dari 7 orang Hakim KY, 3 Hakim (1 Hakim dari Mahkamah Agung & 2 orang Hakim Independen) orang memulai jabatan di tahun 2020, sehingga habis masa jabatan di 2028, sementara 4 Hakim lainnya (2 Hakim dari Mahkamah Agung dan 2 Hakim Independen) baru memulai masa jabatan di tahun 2024. Masa jabatan masing-masing selama 8 tahun, maka setiap 4 tahun terjadi rotasi sehingga kesinambungan dan pengalaman tetap ada.
Untuk mahkamah Konstitusi juga demikian, dari 3 Hakim yang ditunjuk Presiden, 1 Hakim memulai jabatan di 2020, 2 lainnya di 2024. 4 Hakim yang ditunjuk dari Mahkamah Agung, 2 Hakim memulai jabatan di 2020 dan 2 lainnya di 2024, kemudian yang terakhir 2 Hakim dari MPR, 1 yang ditunjuk oleh DPR memulai masa jabatan di 2020 dan 1 Hakim yang ditunjuk oelh Senat memulai masa jabatan di 2024. Masa jabatan masing-masing selama 8 tahun, maka setiap 4 tahun terjadi rotasi sehingga kesinambungan dan pengalaman tetap ada.
Sementara untuk Hakim Agung Mahkamah Agung yang hanya 1 orang, mungkin mereka punya mekanisme internal sendiri untuk memilih Wakil dan Ketua Kamar Perradilan, sehingga kesinambungan sudah lebih terjaga secara sistematis.
H. Partai Politik
Untuk Parta Politiknya sendiri ada 7 yang memiliki karakter khas pada spektrum politik. Partai partai tersebut adalah :
1. Partai Buruh Tani Indonesia (PBTI) : paling kiri secara ekonomi.
2. Parta Sosial Demokrat Indonesia (PSDI) : tengah kiri
3. Partai Hijau Indonesia (PHI) : tengah kiri dengan prioritas isu lingkungan
4. Partai Persatuan Indonesia (PPI) : sentris
5. Partai Islam Indonesia (PII) : tengah kanan dengan fokus ke umat Islam
6. Partai Nasional Indonesia (PNI) : tengah kanan nasionalis
7. Partai Liberal Indonesia (PLI) : paling kanan dalam hal ekonomi
Sementara dalam isu-isu sosial dari yang paling konservatif ke paling liberal adalah : PII, PBTI,PNI, PPI, PSDi, PHI & PLI. Namun terkait isu sosialisme tidak sampai sebebas di Barat yang melegalkan LGBT, pornografi, prostitusi, dsb.
Kebijakan pendanaan kampanye & disclosure untuk Partai Politk: batas sumbangan, pelaporan publik real-time, denda signifikan untuk pelanggaran. Kebijakan ini untuk meminimalisir demokrasi yang berbiaya mahal dan mencehag anggota DPR maupun Partai Politik lebih terfokus untuk ’balik modal’ daripada membela kepentingan rakyat luas.
I. Pelantikan
Semua penjabat negara di eksekutif, legislatif dan yudikatif dilantik oleh Presiden Republik namun Presiden Republik punya hak veto terbatas apabila dianggap ada pelanggaran hukum berat dari masing-masing calon. Semua penjabat negara wajib melaporkan harta kekayaan pribadi selama menjabat.
Comments
Post a Comment