Sunday, May 5, 2019

Satu Malam di Museum Bahari Jakarta ex. Gudang rempah-rempah VOC.



Ya menginap di museum tepatnya Museum Bahari adalah pengalaman pertama gue bareng Komunitas Historia Indonesia (KHI) pada hari  Sabtu tanggal 27 April 2019. Acara ini pertama kali diadakan pada tahun 2009 dan menurut sumber informasi, KHI adalah yang pertama mengadakan acara menginap di Museum seperti ini. Museum Louvre di Paris, Perancis & American Museum of Natural History di New York, Amerika baru mengadakan acara ini sekitar tahun 2010-2012 Ya, Indonesia menjadi yang pertama di dunia untuk acara ini! Berawal dari teman di kantor lama yang melihat gue nge-like post instagram KHI tentang acara ini beberapa hari sebelumnya, akhirnya temen gue ngajakin dan akhirnya gue terpaksa ikut karena sebenernya agak takut-takut. Bagi peserta yang ingin ikut dikenakan biaya sebesar 125 ribu rupiah. Biaya tersebut sudah termasuk biaya masuk museum, kebersihan, makan malam dengan 2 menu utama, snack dan lain-lain.

Hari yang ditunggu pun tiba. Sekitar jam 6 sore, gue tiba di daerah Jakarta Kota dengan menggunakan Busway. Berhubung temen gue belum dateng dan dia nak KRL, akhirnya gue jalan aja ke Stasiun Jakarta Kota sembari nungguin dia datang. Temen gue pun datang juga. Kita masing-masing menuju ke Musem Bahari yang terletak kurang lebih sekitar 1 kilometer dari situ dengan menggunakan ojol. Sampai di lokasi karena sudah maghrb, gue dan temen gue melaksanakan sholat maghrib terlebih dahulu di sebuah Mushola yang terletak di belakang menara Syah Bandar. Kemudian kami melakukan registrasi. Peserta diberikan sebuah pin bertuliskan ‘Menginap di Museum’ beserta pita berwarna (kuning, biru, merah, hijau) dan harus dipasang didada sebagai tanda pengenal. Pita-pita ini diberikan oleh pantia sesuai dengan urutan kedatangan peserta dan nantinya untuk pembagian kelompok saat keliling museum setelah lewat tengah malam.

Sebuah cafe di museum itu dijadikan tempat utama acara ini sekaligus tempat untuk tidur nanti. Peserta diwajibkan membawa sleeping bag/matras untuk alas tidur di lantai. Para peserta mengenakan pakaian serba hitam untuk menambah kesan mencekam. Hal ini sudah diumumkan sebelumnya oleh panitia. Emang dasar kebiasaan ga baca detil, gue malah pake kaos kerah warna merah haha. Beruntung gue pake jaket warna abu-abu gelap. Jadi jaket itu ga gue lepas sampe besok paginya acara selesai. Masuk ke ruangan itu, kami meletakan barang-barang dan kemudian menukarkan kupon makan malam. Ada 2 menu utama makanan, nasi ulam dan bakwan (bakso) malam. Berhubung gue ga laper banget. Akhirnya gue Cuma ambil nasi ulam, makanan khas Jakarta. Terlihat juga beberapak awak media lalu-lalalng untuk meliput acara ini.

Setelah makan malam sampai jam 8 malam, kemudian acara dilanjutkan dengan kuis dengan menggunakan web. Dimana peserta akan diberikan 10 pertanyaan seputar Museum Bahari. Pertanyaan tersebut berdasarkan buku panduan yang diberikan saat registrasi. Tiga peserta yang berhasil menjawab dengan benar dengan score terbanyak mendapat hadiah dari panitia berupa buku sejarah bergambar. Kemudian ada bincang-bincang dengan creator konten digital Danang Pelo di instagram. Dimana si 2 orang creator baru berumur sekitar 19 tahun. Bincang-bincang dipandu oleh Asep Kambali, Sejarawan sekaligus pendiri Komunitas Historia. Kemudian ada stand up comedy, tapi sayang kurang lucu materinya. Lucunya malah karena pengisi malah banyak dibully sama penonton haha.

Jam 9 malam adalah sesi dialog dengan sang Sejarawan. Banyak informasi-informasi menarik seputar sejarah yang diberikan. Ia juga menjadi seorang konsultan sejarah Bank Indonesia untuk memasukan tokoh pahlawan asal Papua Frans Kaisiepo ke mata uang rupiah. Hal ini dikarenakan saat ia berkunjung ke Papua, banyak orang disana menayakan, ‘kenapa kami harus tau pahlawan-pahlawan dari Sumatera, Jawa? Tapi apakah orang-orang Sumatera dan Jawa tau pahlawan kami?’. Hal inilah kemudian yang menggerakannya untuk memasukan pahlawan Papua ke dalam mata uang rupiah. Sebab sebelumnya belum pernah ada pahlawan asal papua yang gambarnya ditampilkan di mata uang rupiah. Ia juga masih mempunyai keinginan supaya nama pahlwan asal Papua diabadikan menjadi nama jalan di kota-kota lain di Indonesia karena kita lihat misalnya Jalan Jenderal Sudirman, pasti nama jalan itu jadi nama jalan protokol di banyak kota. Sehingga pahlawan asal Papua harus juga dimasukan menjadi nama jalan, supaya orang Papua merasa memiliki negara ini. Ia mengatakan, banyak konflik terjadi dimasyarakat karena kita tidak mengenal satu sama lain. Asep Kambali juga menyinggung soal lomba-lomba yang sering diadakan saat 17 agustusan. Ia mengatakan tidak setuju dengan lomba-lomba tersebut karena itu merupakan simbol penjajahan dimasa lalu. Lomba panjat pinang misalnya, dahulu orang –orang Belanda mengadakan acara sebagai hiburan ini untuk melihat rakyat yang terjajah saling injak, berebut dan kotor-kotoran karena lumpur hanya untuk mengambil keju ataupun roti (makanan sehari-hari orang Belanda) yang dilatakan di atas tiang pinang. Makan kerupuk, dulu rakyat saking susahnya karena terjajah, hanya makan kerupuk dan garam. Balap karung, pakaian yang dipakai oleh rakyar saat tanam paksa. Asep Kambali mengatakan alangkah baiknya kalau lomba-lomba itu diganti dengan lomba misalnya lomba mirip-miripan pahlawan karena banyak dari kita tidak mengenal 173 pahlawan nasional yang ada di Indonesia. Menurut saya, Komunitas Historia ini berhasil mengemas sejarah yang terkenal 'jadul dan kuno' menjadi menarik khususnya bagi anak-anak muda. Serta membangkitkan semangat nasionalisme dikalangan anak muda yang semakin kesini semakin luntur.

Jam menunjukan pukul 11.30 malam, sesi dialogpun usai. Panitia membagi kelompok berdasarkan warna pita dan membacakan tata tertib selama tur museum. Peserta juga diberikan gelang fosfor berwarna untuk memudahkan pengenalan karena tur museum akan dilakukan dalam keadaan gelap gulita hanya dengan penerangan senter. Sebelum menentukan kelompok mana yang jalan terlebih dahulu, pemandu museum dipersilahkan mengajukan pertanyaan, kelompok mana yang bisa menjawab dengan benar akan jalan lebih dulu. Pertanyaannya adalah komoditas rempah apa saja yang disimpan pada masa VOC di museum Bahari? Jawabannya adalah cengkeh, lada, kayumanis dan pala. Kelompok gue (kuning) berhasil menjawab dengan benar. Akhirnya kami jalan duluan.

Ruang pertama yang kami singgahi adalah Ruang Kapal-kapal Nusantara. Ada banyak kapal-kapal Nusantara di ruangan itu, yang menarik adalah kapal asal Kalimantan yang terbuat dari kayu ulin. Dimana dalam proses pembuatannya batang kayu ulin yang besar dibakar sampai melebar hinggi bisa menjadi kapal. Si Pemandu banyak bercerita juga tentang Museum ini yang didirikan sekitar tahun 1600. Kayu-kayunya masih asli dan kokoh sampai sekarang. Sayang tahun 2017 beberapa bagian museum sempat terbakar. Saat pemandu sedang menjelaskan, beberapa peserta mendengar suara perempuan bersenandung (bernyanyi tapi tanpa kata, hanya nanda). Suaranya sangat merdu dan lembut. Gue juga celingukan nyari-nyari dari mana sumber suara itu. Arahnya dari kanan gue tapi ga ada siapa-siapa disitu. Gue mulai merinding. Peserta yang mendengar mencoba tetap kalem. Dan setelah keluar ruangan, kami menanyakan kepada pemandu, memang di ruangan suatu sudut di ruangan itu ada sosok berupa non-noni Belanda sehingga sering ada suara-suara aneh dan bahkan dia menampakan diri. Gue pun tambah merinding. Waktu awal masuk ruangan itu emang yang gue rasain udah ga enak, kaki gue kayak berat pas lagi jalan.

Kemudian ruang dilantai 2 berisi patung-patung diorama yang menceritakan kadatangan bangsa eropa & bangsa Asia Timur (Cheng Ho) ke Nusantara. Masuk ruangan ini suasananya kayak pengap dan kepala gue agak pusing tapi keluar dari situ biasa lagi. Ada juga lukisan Malahayati, satu-satunya Panglima aramada perang dari Aceh. Konon beberapa wartawan yang datang ingin memotret lukisan berukuran besar itu tidak jadi memotret dan ketakutan karena melihat bola matanya bergerak. Ruangan terakhir adalah ruangan kapal-kapal papua. Dimana kapal-kapal itu setiap 3 bulan sekali dirawat khusus  dengan diolesi minyak oleh orang-otang yang didatangkan langsung dari Papua. Diruangan itu juga si Pemandu mengatakan, sebagai ‘pasarnya lelembut’ di museum ini. Dia bilang, ada sosok Mbah Item, pendekar Zaman Belanda dengan postur tinggi besar namun dibunuh oleh Belanda pada waktu tu. Orang-orang VOC yang datang menjajahNusantara memang terkenal sadis-sadis. Mereka tidak segan-segan membunuh setiap orang yang membangkang atau memberontak. Nama Batavia sendiri pada waktu itu diambil dari nama Bataviren, suku dari daerah pedalaman di Belanda yang mana orang-orangnya terkenal kejam dan sadis.

Yang terakhir ada Menara Syah Bandar. Menara itu mengalami kemiringan setiap tahunnya sehingga tidak boleh lagi dinaiki. Konon katanya, di bawah menara ini ada terowongan yang menggabungkan Lapangan Banteng (sekarang Monumen Pembebasan Papua Barat) dengan Pelabuhan Sunda Kelapa. Tujuan terowongan itu adalah untuk jalan pintas kabur orang-orang Belanda apabila terjadi serangan. Ada juga titik km 0 Kota Jakarta di salah satu ruangan dekat Menara Syah Bandar. Ya memang dulu sekali zaman VOC, pusat pemerintahan memang ada disini namun lama-kelamaan bergeser ke arah tengah kota Jakarta sekang ini di sekitar Monas.

Waktu sudah pukul 2 malam peserta kembali ke ruangan tempat berkumpul untuk tidur. Panitia mengumumkan bahwa acara sudah selesai dengan diputarnya film Max Havelaar karya sastra fenomenal karangan Douwes Dekker dengan nama pena Multatuli. Peserta dipersilahkan tdur atau nonton. Gue udah ngantuk banget jadi ga kuat nonton film itu. Ada beberapa peserta yang masih terangun nonton film itu. Lagi-lagi gue mengalami kejadian mistis saat tidur. Badan gue berasa ketindihan ga bisa gerak. Dan saat gue coba untuk melek, gue melihat ada sosok dengan muka kakek-kakek tepat di depan muka gue. Abis itu gue langsung bangun, kaget juga. Ga lama abis itu azan subuh berkumandang, gue dan temen gue siap-siap mengemas barang-barang dan sholat subuh untuk kemudian balik ke rumah. Peserta dipersilahkan tidur sampai jam 6 pagi dan paniata juga akan membubarkan diri jam segitu.


Foto di depan titik km 0 nya Jakarta


Ya itulah pengalaman pertama gue bareng Komunitas Historia Indonesia. Berikutnya akan ada beberapa acara lagi katanya seperti Tur Mesjid pada saat bulan Ramadhan dan ada nginep di museum lagi bulan Juni. Kali ini ga kalah horor, di Museum Fatahilah Jakarta Kota. Ini tempat pernah jadi lokasi uji nyali Masih Dunia Lain wkwk. Mudah-mudahan bisa ikut lagi ya.

No comments:

Post a Comment