Ya menginap di museum tepatnya
Museum Bahari adalah pengalaman pertama gue bareng Komunitas Historia Indonesia
(KHI) pada hari Sabtu tanggal 27 April
2019. Acara ini pertama kali diadakan pada tahun 2009 dan menurut sumber
informasi, KHI adalah yang pertama mengadakan acara menginap di Museum seperti
ini. Museum Louvre di Paris, Perancis & American Museum of Natural History di New
York, Amerika baru mengadakan acara ini sekitar tahun 2010-2012 Ya, Indonesia
menjadi yang pertama di dunia untuk acara ini! Berawal dari teman di kantor
lama yang melihat gue nge-like post instagram KHI tentang acara ini beberapa
hari sebelumnya, akhirnya temen gue ngajakin dan akhirnya gue terpaksa ikut
karena sebenernya agak takut-takut. Bagi peserta yang ingin ikut dikenakan
biaya sebesar 125 ribu rupiah. Biaya tersebut sudah termasuk biaya masuk
museum, kebersihan, makan malam dengan 2 menu utama, snack dan lain-lain.
Hari yang ditunggu pun tiba.
Sekitar jam 6 sore, gue tiba di daerah Jakarta Kota dengan menggunakan Busway.
Berhubung temen gue belum dateng dan dia nak KRL, akhirnya gue jalan aja ke
Stasiun Jakarta Kota sembari nungguin dia datang. Temen gue pun datang juga.
Kita masing-masing menuju ke Musem Bahari yang terletak kurang lebih sekitar 1
kilometer dari situ dengan menggunakan ojol. Sampai di lokasi karena sudah
maghrb, gue dan temen gue melaksanakan sholat maghrib terlebih dahulu di sebuah
Mushola yang terletak di belakang menara Syah Bandar. Kemudian kami melakukan
registrasi. Peserta diberikan sebuah pin bertuliskan ‘Menginap di Museum’
beserta pita berwarna (kuning, biru, merah, hijau) dan harus dipasang didada
sebagai tanda pengenal. Pita-pita ini diberikan oleh pantia sesuai dengan
urutan kedatangan peserta dan nantinya untuk pembagian kelompok saat keliling
museum setelah lewat tengah malam.
Sebuah cafe di museum itu
dijadikan tempat utama acara ini sekaligus tempat untuk tidur nanti. Peserta
diwajibkan membawa sleeping bag/matras untuk alas tidur di lantai. Para peserta
mengenakan pakaian serba hitam untuk menambah kesan mencekam. Hal ini sudah
diumumkan sebelumnya oleh panitia. Emang dasar kebiasaan ga baca detil, gue
malah pake kaos kerah warna merah haha. Beruntung gue pake jaket warna abu-abu
gelap. Jadi jaket itu ga gue lepas sampe besok paginya acara selesai. Masuk ke
ruangan itu, kami meletakan barang-barang dan kemudian menukarkan kupon makan
malam. Ada 2 menu utama makanan, nasi ulam dan bakwan (bakso) malam. Berhubung
gue ga laper banget. Akhirnya gue Cuma ambil nasi ulam, makanan khas Jakarta.
Terlihat juga beberapak awak media lalu-lalalng untuk meliput acara ini.
Setelah makan malam sampai jam 8
malam, kemudian acara dilanjutkan dengan kuis dengan menggunakan web. Dimana
peserta akan diberikan 10 pertanyaan seputar Museum Bahari. Pertanyaan tersebut
berdasarkan buku panduan yang diberikan saat registrasi. Tiga peserta yang
berhasil menjawab dengan benar dengan score terbanyak mendapat hadiah dari
panitia berupa buku sejarah bergambar. Kemudian ada bincang-bincang dengan
creator konten digital Danang Pelo di instagram. Dimana si 2 orang creator baru
berumur sekitar 19 tahun. Bincang-bincang dipandu oleh Asep Kambali, Sejarawan
sekaligus pendiri Komunitas Historia. Kemudian ada stand up comedy, tapi sayang
kurang lucu materinya. Lucunya malah karena pengisi malah banyak dibully sama
penonton haha.
Jam 9 malam adalah sesi dialog
dengan sang Sejarawan. Banyak informasi-informasi menarik seputar sejarah yang
diberikan. Ia juga menjadi seorang konsultan sejarah Bank Indonesia untuk memasukan
tokoh pahlawan asal Papua Frans Kaisiepo ke mata uang rupiah. Hal ini
dikarenakan saat ia berkunjung ke Papua, banyak orang disana menayakan, ‘kenapa
kami harus tau pahlawan-pahlawan dari Sumatera, Jawa? Tapi apakah orang-orang
Sumatera dan Jawa tau pahlawan kami?’. Hal inilah kemudian yang menggerakannya
untuk memasukan pahlawan Papua ke dalam mata uang rupiah. Sebab sebelumnya
belum pernah ada pahlawan asal papua yang gambarnya ditampilkan di mata uang
rupiah. Ia juga masih mempunyai keinginan supaya nama pahlwan asal Papua
diabadikan menjadi nama jalan di kota-kota lain di Indonesia karena kita lihat
misalnya Jalan Jenderal Sudirman, pasti nama jalan itu jadi nama jalan protokol
di banyak kota. Sehingga pahlawan asal Papua harus juga dimasukan menjadi nama
jalan, supaya orang Papua merasa memiliki negara ini. Ia mengatakan, banyak konflik terjadi dimasyarakat karena kita tidak mengenal satu sama lain. Asep Kambali juga
menyinggung soal lomba-lomba yang sering diadakan saat 17 agustusan. Ia
mengatakan tidak setuju dengan lomba-lomba tersebut karena itu merupakan simbol
penjajahan dimasa lalu. Lomba panjat pinang misalnya, dahulu orang –orang
Belanda mengadakan acara sebagai hiburan ini untuk melihat rakyat yang terjajah
saling injak, berebut dan kotor-kotoran karena lumpur hanya untuk mengambil
keju ataupun roti (makanan sehari-hari orang Belanda) yang dilatakan di atas
tiang pinang. Makan kerupuk, dulu rakyat saking susahnya karena terjajah, hanya
makan kerupuk dan garam. Balap karung, pakaian yang dipakai oleh rakyar saat
tanam paksa. Asep Kambali mengatakan alangkah baiknya kalau lomba-lomba itu
diganti dengan lomba misalnya lomba mirip-miripan pahlawan karena banyak dari
kita tidak mengenal 173 pahlawan nasional yang ada di Indonesia. Menurut saya, Komunitas Historia ini berhasil mengemas sejarah yang terkenal 'jadul dan kuno' menjadi menarik khususnya bagi anak-anak muda. Serta membangkitkan semangat nasionalisme dikalangan anak muda yang semakin kesini semakin luntur.
Jam menunjukan pukul 11.30 malam,
sesi dialogpun usai. Panitia membagi kelompok berdasarkan warna pita dan membacakan
tata tertib selama tur museum. Peserta juga diberikan gelang fosfor berwarna
untuk memudahkan pengenalan karena tur museum akan dilakukan dalam keadaan
gelap gulita hanya dengan penerangan senter. Sebelum menentukan kelompok mana
yang jalan terlebih dahulu, pemandu museum dipersilahkan mengajukan pertanyaan,
kelompok mana yang bisa menjawab dengan benar akan jalan lebih dulu.
Pertanyaannya adalah komoditas rempah apa saja yang disimpan pada masa VOC di
museum Bahari? Jawabannya adalah cengkeh, lada, kayumanis dan pala. Kelompok
gue (kuning) berhasil menjawab dengan benar. Akhirnya kami jalan duluan.
Ruang pertama yang kami singgahi
adalah Ruang Kapal-kapal Nusantara. Ada banyak kapal-kapal Nusantara di ruangan
itu, yang menarik adalah kapal asal Kalimantan yang terbuat dari kayu ulin.
Dimana dalam proses pembuatannya batang kayu ulin yang besar dibakar sampai
melebar hinggi bisa menjadi kapal. Si Pemandu banyak bercerita juga tentang
Museum ini yang didirikan sekitar tahun 1600. Kayu-kayunya masih asli dan kokoh
sampai sekarang. Sayang tahun 2017 beberapa bagian museum sempat terbakar. Saat
pemandu sedang menjelaskan, beberapa peserta mendengar suara perempuan
bersenandung (bernyanyi tapi tanpa kata, hanya nanda). Suaranya sangat merdu
dan lembut. Gue juga celingukan nyari-nyari dari mana sumber suara itu. Arahnya
dari kanan gue tapi ga ada siapa-siapa disitu. Gue mulai merinding. Peserta
yang mendengar mencoba tetap kalem. Dan setelah keluar ruangan, kami menanyakan
kepada pemandu, memang di ruangan suatu sudut di ruangan itu ada sosok berupa
non-noni Belanda sehingga sering ada suara-suara aneh dan bahkan dia menampakan
diri. Gue pun tambah merinding. Waktu awal masuk ruangan itu emang yang gue
rasain udah ga enak, kaki gue kayak berat pas lagi jalan.
Yang terakhir ada Menara Syah
Bandar. Menara itu mengalami kemiringan setiap tahunnya sehingga tidak boleh
lagi dinaiki. Konon katanya, di bawah menara ini ada terowongan yang
menggabungkan Lapangan Banteng (sekarang Monumen Pembebasan Papua Barat) dengan
Pelabuhan Sunda Kelapa. Tujuan terowongan itu adalah untuk jalan pintas kabur
orang-orang Belanda apabila terjadi serangan. Ada juga titik km 0 Kota Jakarta
di salah satu ruangan dekat Menara Syah Bandar. Ya memang dulu sekali zaman
VOC, pusat pemerintahan memang ada disini namun lama-kelamaan bergeser ke arah
tengah kota Jakarta sekang ini di sekitar Monas.
Waktu sudah pukul 2 malam peserta
kembali ke ruangan tempat berkumpul untuk tidur. Panitia mengumumkan bahwa
acara sudah selesai dengan diputarnya film Max Havelaar karya sastra fenomenal
karangan Douwes Dekker dengan nama pena Multatuli. Peserta dipersilahkan tdur
atau nonton. Gue udah ngantuk banget jadi ga kuat nonton film itu. Ada beberapa
peserta yang masih terangun nonton film itu. Lagi-lagi gue mengalami kejadian
mistis saat tidur. Badan gue berasa ketindihan ga bisa gerak. Dan saat gue coba
untuk melek, gue melihat ada sosok dengan muka kakek-kakek tepat di depan muka
gue. Abis itu gue langsung bangun, kaget juga. Ga lama abis itu azan subuh
berkumandang, gue dan temen gue siap-siap mengemas barang-barang dan sholat
subuh untuk kemudian balik ke rumah. Peserta dipersilahkan tidur sampai jam 6
pagi dan paniata juga akan membubarkan diri jam segitu.
Ya itulah pengalaman pertama gue
bareng Komunitas Historia Indonesia. Berikutnya akan ada beberapa acara lagi
katanya seperti Tur Mesjid pada saat bulan Ramadhan dan ada nginep di museum
lagi bulan Juni. Kali ini ga kalah horor, di Museum Fatahilah Jakarta Kota. Ini
tempat pernah jadi lokasi uji nyali Masih Dunia Lain wkwk. Mudah-mudahan bisa
ikut lagi ya.
No comments:
Post a Comment