Thursday, March 25, 2021

Biografi Singkat K.H Ahmad Dahlan dari Buku Jejak Sang Pencerah


K.H Ahmad Dahlan adalah seorang pendiri organisasi Islam Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar yang ada di Indonesia. Beliau yang bernama asli Muhammad Darwis, lahir pada tanggal 1 agustus 1868 di Yogyakarta dari pasangan Kyai Ketib Amin H. Abu Bakar (seorang ketib/khatib Masjid Agung Yogyakarta) dan Siti Aminah (putri seorang penghulu kraton). Satu-satunya anak laki-laki dari 6 bersaudara. Silsilah dari keturunan ayahnya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW.

Kampung Kauman Yogyakarta sebelum kedatangan kolonial Belanda merupakan kampung yang relijius. Kata Kauman sendiri berasal dari kata 'Qaiim' yang artinya 'penegak', kepanjangan dari 'Qaiim ad-diin' yang artinya 'penegak agama'. Struktur kepengurusan Mesjid Gedhe yang dibuat oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I terdiri dari para Kaum yang berjumlah 40 orang. terdiri dari Ketib/Khatib, Modin/Muadzin, Marbot/Rabbat (penanggung jawab bilik-bilik mesjid) dan dikepalai oleh seorang Penghulu Hakim.

Sri Sultan juga bergelar 'Sayidin Panatagama' yang artinya 'tokoh dari penata agama'. Disetiap Kawedanan (setara kabupaten) kepengurusan mesjid dipimpin oleh seorang 'Naib' atau Wakil Penghulu Hakim yang membawahi 11 Kaum, sedangkan mesjid desa dipimpin oleh Modin yang membawahi 4 Kaum. Penghulu Hakim merupakan kepala urusan agama Islam disetiap Kawedanan yang mencakup urusan 'ubudiyah (ibadah), muamalah (jual beli), munakahah (perkawinan). Untuk urusan jinayah (perkara pidana), Penghulu bekerja sama dengan Jaksa (selain masalah hibah dan wakaf), sehingga posisi Penghulu sebagai Hakim, jadi sering disebut Penghulu Hakim. Sedangkan Ketib/Khatib tugasnya adalah khotbah atau berceramah, tugasnya adalah mengisi khotbah Jum'at dan menyiarkan agama Islam keseluruh pelosok negeri Ngayogyakarto. Terlihat bahwa para pemuka agama tidak hanya mengurusi urusan agama, tapi juga sosial masyarakat pada saat itu. Para tokoh agama di desa-desa biasa disebut Kyai Anom, kadang memiliki tempat pengajian sendiri yang disebut Pesantren. Sementara santrinya ada 2 macam. Pertama 'santri kalong' yaitu santri yang berdomisili dalam satu desa atau kotanya sendiri bisa pulang pergi, kedua yang disebut 'santri mondok', santri yang menetap di pondokan yang sudah disediakan oleh Kyai, sehingga disebut Pondok Pesantren. Pimpinan dari Pondok Pesantren itu sendiri disebut dengan Kyai Sepuh. Penggunaan huruf Pegon (huruf arab untuk menuliskan bahasa jawa) juga lazim pada saat para santri mencatat penjelasam kitab-kitab dari para Kyai.

Semua ulama diberikan gaji dari pihak kesultanan berupa Tanah Lungguh yang terdiri dari pekarangan dan persawahan. Kyai Anom dan Sepuh mendapat imbalan dari masyarakat sebagai Amil zakat dan dipercaya untuk mengelola wakaf. Penghulu dan Naib diberikan imbalan berupa 'srakah' (iuran pernikahan) dan amil zakat, sedangkan para Modin mendapat bagian dari srakah dan 'palagara' (imbalan atas undangan hajatan dari penduduk desa). Namun, nantinya Kolonialisme Belanda lambat laun mengubah fungsi-fungsi tersebut sehingga mengerdilkan peran Penghulu Hakim hanya pada urusan agama terutamanya pernikahan, hingga seperti Penghulu yang kita kenal sekarang ini. Hasil dari srakah, zakat dan wakaf tidak lagi untuk membiayai pendidikan namun hanya untuk kepentingan internal pemangku mesjid. Belanda juga semakin serampangan dalam menunjuk orang untuk mengisi posisi dalam Mahkamah Islam Tinggi, sehingga lama-lama dipegang oleh orang-orang yang tidak ahli dalam bidang agama. Belanda menciptalan pembentukan sistem peradilan baru tahun 1931 dengan menunjuk seorang Residen Kerajaan Hindia Belanda untuk Kasultanan Yogyakarta sebagai Ketua Pengadilan Perdata sampai dibentuk juga Pengadilan Gubernemen (Landraad). Selain itu Mahkamah Kabirah sebagai mahkamah tinggi urusan agama Islam dibatasi juga hanya mengurusi masalah nikah, talak, cerai dan Ketib yang tadinya banyak melakukan pengajaran agama hanya dibolehkan menjadi khatib dalam sholat jumat.

Darwis menunaikan ibadah haji pada tahun 1883 sekaligus menimba ilmu agama di tanah Hijaz (Mekkah) yang pada saat itu Muftinya (tokoh sentral) adalah Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan yang merupakan mufti madzhab Syafi'i. Pada masa itu di Mekkah ada juga beberapa ulama masyhur asal Indonesia yang diakui kelimuannya, diantaranya Syeikh Imam Nawawi Al-Bantani yang diberi gelar kehormatan Sayyid al Ulama Hijaz (karena keilmuannya dibidang fikih, akidah, tasawuf telah teruji oleh ulama senior Sayyid Ahmad Dimyati), Muhammad Khalil bin Kyai Abdul Lathif dari Bangkalan dan Kyai Haji Saleh Darat yang lahir di Kedung Cemlung, Jepara.

Dari Imam Nawawi Al Bantani, Darwis mengambil ilmu dalam bidang moderasi antara fikih dan tasawuf yang tertuang dalam karya Imam Nawawi berjudul Salaalim al- Fudhaala. Contohnya dalam pandangan ilmu alam lahir dan batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta'alum (berguru) dan tadarus (belajar) sehingga mencapai derajat 'alim. Sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melalui proses dzikir, muraqabah dan musyahadah sehingga tercapai derajat 'arif. Seorang 'abid (yang beribadah kepada Allah) diharapkan tidak hanya menjadi 'alim dengan pengetahuan ilmu lahir yang luas, tapi juga harus menjadi 'arif memahami rahasia spiritual ilmu batin. Karya tersebut memberikan pengaruh yang baik dalam memberikan pondasi nilai etis dalam bermasyarakat dan beragama di masyarakat luas khususnya pada masyarakat Jawa.

Ilmu falak (ilmu yang mempelajari benda langit) yang dipelajari oleh Darwis terinspirasi dari Syeikh Muhammad Saleh bin Umar as Samarani (putera dari K.H saleh Darat). Beliau sangat tertarik dengan ilmu ini karena lebih eksak dan rasional dan bisa langsung dipraktekan. Sesuai dengan karakternya yang 'amaliyah wa 'amal 'ilmuiyah (ilmu untuk dipraktekan dan praktek berdasarkan ilmu).

Disetiap pilar-pilar Masjidil Haram, ada halaqah pelajaran. Dipilar lain, Darwis menemui seorang Syeikh yang masih muda berumur 25 tahun, beliau adalah Syeikh Ahmad Khatib al Minangkabawi. Ulama ulung di bidang eksakta, baik matematika, geometri, trigonometri yang sangat menunjang dalam penerapan ilmu falak. Karya Syeikh Khatib yang sangat mumpuni di bidang falak berjudul Al Jauhar al naqiyah fi al A'mali al jaibiyah (1885) semakin membuat Darwis kagum. Ada 3 pilar dalam ilmu tersebut yaitu ar-ruyah (melihat), ar-rashd (mengamati) dan al-hisab (menghitung). Ketiganya berfungsi untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari untuk menentukan waktu salat, gerhana matahari & bulan. Sebagai ahli falak, Syeikh Ahmad Khatib juga menjelaskan mengenai geometri dan trigonometri yang berfungsi untuk menentukan arah kiblat, mengetahu rotasi bumi dan membuat kompas untuk kapal yang sedang berlayar. Kajian dalam bidang ini dituangkan dalam kitab berjudul Raudhah al Hussab fi A' mali 'ilm al Hisab (Taman Pakar Hitung dalam Observasi Ilmu Hitung) yang selesai ditulis tahun 1889.

Selama di Mekkah, Darwis juga belajar ilmu qira'ah (membaca al-qur'an) kepada Syeikh Muqri yang dikenal dengan nama Sayyid Bakri Syatha. Disinilah Darwis bertemu dengan seorang anak kyai dari Jawa Timur. Dialah Hasyim Asy'ari yang nantinya juga mendirikan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama. Haysim dan Darwis tinggal dalam satu bilik sehingga mereka akrab dan saling memahami. Sayyid Bakri Syatha kemudian memberikan nama Ahmad Dahlan kepada Darwis. Sepulangnya di tanah air, Darwis mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan.

Haji Ahmad Dahlan menikah dengan Siti Walidah, puteri dari Penghulu Hakim Kraton Kyai Haji Fadhil. Mereka dikaruniai 7 anak. Bersama istrinyalah beliau menghadapi rintangan dalam berdakwah. Saat kembali ke Kampung Kauman, Ahmad Dahlan bekerja dengan membantu perdagangan tekstil milik iparnya Haji Saleh. Ada perbedaan antara beliau dengan iparnya yang memang sudah lama menekuni bisnis, sedangkan ia sendiri menganggap berdagang hanya sebagai wasilah atau perantara jalan untuk mengadakan dakwah. Sebab selama berdagang banyak menemui orang-orang baru dan membuatnya lebih mengerti kehidupan keagamaan dari masyarakat sekitar.

Sepeninggal mendiang bapaknya, Haji Ahmad Dahlan diangkat menjadi Ketib Amin oleh Penghulu Kyai Haji Khalil Kamaludiningrat, priyayi yang dituakan dan terhormat di Kampung Kauman dan seluruh Yogyakarta. Jabatan Ketib Amin juga merangkap sebagai anggota Raad agama islam yang menjadi rujukan keraton. Pengangkatan itu juga sekaligus menjadikan beliau sebagai Pegawai Negeri namun tidak mengubah sikapnya dalam bersikap kepada orang banyak. Kegiatan belajar-mengajar warisan dari bapaknya tetap dilanjutkan. 

Hal pertama yang mengganjal setelah menjadi Ketib Amin adalah persoalan tentang petungan/perhitungan bulan puasa yang pada saat itu oleh pihak keraton masih memakai metode hisab aboge -yang sudah diterapkan sejak zaman Sultan Ageng- yang lebih mirip dengan hisab urfi. Permasalahannya adalah dengan menggunakan metode aboge, bulan ramadhan akan selalu menjadi 30 hari permanen setiap tahunnya. Menurutnya, penanggalan bulan puasa sebaiknya menggunaan metode falakiyah dengan memperhitungkan keberadaan bulan dan memperhatikan wakti ijtima. Akhirnya gagasan tersebut disetujui oleh Sri Sultan. Pada peringatan Grebeg Ruwah atau Nisfu Sya'ban, Sri Sultan mengumumkan penetapan bulan puasa sesuai dengan pandangan K.H Ahmad Dahlan. Sri Sultan tetap mentitahkan kepadanya bahwa perhitungan aboge tetap dipakai untuk menentukan waktu kegiatan keagamaan yang lain seperti Grebeg Maulid. Haji Ahmad Dahlan tidak masalah, sebab menurutnya kegiatan tersebut lebih untuk tujuan syiar bukan syar'i (syariat).

Hal kedua yang mengganjal bagi haji Ahmad Dahlan adalah mengenai mesjid yang tidak secara tepat menghadap ke kiblat. Kebanyakan masjid pada waktu itu menghadap lurus ke barat atau bahkan ada yang menghadap ke arah barat daya sebab jalan di depan mesjid membujur dari timur ke barat laut. Pembangunan mesjid pada saat itu juga lebih menitik beratkan pada tipologi Pembangunan Wilayah bukan pada ketentuan agama. Hal inilah yang membuat mesjid di Pulau Jawa dan Yogyakarta khususnya tidak menghadap ke kiblat. Tetap ada mesjid yang menghadap ke arah kiblat dengan benar diantaranya adalah mesjid-mesjid kuno seperti Mesjid agung Demak, Mesjid Ngampel Surabaya, Mesjid Panembahan Senopati & Mesjid Pasar Gedhe Yogyakarta. Namun ini bukan perkara mudah karena rawan menimbulkan gesekan karena dianggap bertentangan dengan kebiasan umum yang berlaku pada waktu itu. Pada peringatan Grebeg Asyura, Haji Ahmad Dahlan mengumumkan untuk memperluas langgar yang biasa dipakai dalam rangka untuk menampung kapasitas jumlah jamaah yang makin banyak. Selain memperluas langgar, bangunannya juga akan ditunjukan langsung ke arah kiblat. Akhirnya para hadirin pun setuju dan banyak diantaranya yang mendermakan sebagian uangnya untuk pembangunan langgar.

Pasca pendirian langgar yang menghadap ke kiblat dan diadakannya munadzarah/majlis ilmu antar ulama, di Mesjid gedhe ada yang menggariskan kapur melingtang dari utara ke selatan (tujuannya untuk menunjukan arah kiblat yang tepat). Kyai Penghulu marah besar dengan berita tersebut. Perbuatan tersebut diyakini akibat dari perundingan yang diadakan oleh Haji Ahmad Dahlan. Akibatnya Langgar Kauman yang sudah susah payah dibangun olehnya dirobohkan. Peristiwa ini sempat membuat Haji Ahmad Dahlan ingin pergi meninggalkan Yogyakarta akibat kecewa terhadap perbuatan masyarakat yang merbohkan langgar tersebut.

Haji Ahmad Dahlan kemudian lebih banyak mengadakan aktivitas pengajaran agama di rumahnya. Ia lebih banyak mengambil hikmah dari kejadian tersebut dengan mengajar Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali. Suatu saat Sultan  HB VII ingin menghajikan (badal) pendahulunya yakni Sultan HB VI kepadanya. Berangkatlah beliau bersama anak lelakinya yang masih kecil bernama Siraj. Kondisi di Mekkah pada saat itu sangat terasa gaung Pan-Islamisme yang diusung oleh Sultan Abdul Hamid II sebagai respon dari Jamaluddin al-Afghani. Ada juga pemikiran dari Muhammad Abduh yang sering dibaca oleh Haji Ahmad Dahlan dari berbagai surat kabar. Namun ada juga pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabisme) dari Najed yang ditolak oleh Mekkah di bawah kepemimpinan Uman Pasya Wali Kekhalifahan Usmani.

Disatu sisi, Haji Ahmad Dahlan tertarik dengan motto para pembaru tersebut 'Kembali kepada Alquran dan Sunnah'. Ini merupakan cakrawala baru baginya. Ia nyaman dengan ide pembaruan tersebut, pikirannya menjadi lebih terbuka dan tidak terkungkung pada nilai-nilai logis dalam hidup ini. Menurutnya Islam adalah agama yang simple dan praktis. Mekkah pada saat itu banyak juga praktek mistisme yang dilakukan penduduknya, misal jamaah haji yang menciumi rumah peninggalan Rasul di gang wangi dan peziarah di Ma'la yang bersusah payah menunggu kuburan para sahabat dengan amalan yang diklaim dari wali. Malah ada juga proyek penipuan yang dilakukan oleh oknum untuk mengeruk harta benda jamaah haji dengan berpura-pura mengaku sebagai Syeikh Abdul Qadir Jaelani atau dengan bentuk dan cara lain yang berbeda. Hal itulah yang kemudian mengantarkannya lagi kepada Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang merupakan seorang ahli falak dengan rasionalitas saintis dan juga tidak menyukai ajaran mistis tanpa arah seperti itu.

Sepulangnya dari Mekkah yang kedua kalinya. Haji Ahmad Dahlan mendirikan 'kombong'/asrama pesantren di samping rumahnya. Pemikirannya kini lebih mengarah pada ide pemaharuan Islam. Diajarkannya kitab-kitab karya Muhammad Abduh seperti Tafsir Al Manar, Risalah Attauhid, sedangkan di bidang etika diajarkan kitab Zad Maad karya Ibnu Qayyim dan Midaayah al Mujtahid karya Ibnu Taimiyah. Sayup semangat nasionalisme juga Haji Ahmad Dahlan gaungkan seperti yang dilakukan Muhammad Abduh.

Semakin hari Haji Ahmad Dahlan semakin sibuk di pesantren miliknya. Perjuangannya dilandasi semangat patriotisme dan nasionalisme untuk mengembalikan 'izzah atau keluhuran kaum muslimin. Pada tahun 1907 santer terdengar kabar akan didirikannya organisasi pemuda intelektual bernama Budi Oetomo (resmi didirikan tahun 1908) dari kalangan mahasiswa kedokteran yang belajar di STOVIA. Haji Ahmad Dahlan meminta penjelasan dari salah satu pengurus bernama Joyosumarto perihal organisasi tersebut. Sebab baginya, dunia tentang nasionalisme dan modernitas adalah sesuatu yang baru dan belum pernah disentuh. Selain itu dia juga merasa lingkungan santri Kampung Kauman memerlukan pembaharuan demi mengangkat harkat dan martabat kaum santri setelah sekian lama tebelenggu rasa rendah diri yang sudah terlanjur menjalar di pesantren. Dua dunia antara agama dan modernitas memunculkan anggapan tersendiri dari masing-masing kelompok. Kalangan kaum pelajar ala Belanda menganggap dunia kaum sarungan terbelakang, sedangkan kaum santri menganggap kaum terpelajar adalah penghamba kafir Belanda.

Pemisahan agama dalam kebudayaan keraton mengakibatkan penyebaran pemikiran keagamaan kehilangan arah. Awal mula dilarangnya seorang sultan untuk khotbah Jum'at menjadi awal hilangnya komunikasi keagamaan antara rakyat dan raja. Ajaran Pangeran Mangkubumi tentang akhlak dan etika menjadi bias, tercampur tak terarah dalam dunia mistisme. Etika Islam yang sebelumnya sudah mendarah daging pada kebudayaan Jawa sedikit demi sedikit tanpa disadari bergeser ke tatanan akidah. Sebenarnya di dalam Islam juga ada mistisme yang hanya dalam ruang lingkup etika dalam beragama, hal itu juga lambat laun bergeser ke ranah ritual kepercayaan akidah. Suatu kemunduran yang menghalangi jalannya perubahan.

Dua sampai tiga kali Haji Ahmad Dahlan hadir di rapat pengurus Budi Oetomo, sampai akhirnya beliau yakin untuk bergabung. Kini ia memahami bahwa kaum terpelajar adalah orang-orang muslim yang utuh dalam hal dunia. Sesuatu yang asing dalam benaknya. Interaksinya dengan organisasi tersebut membuatnya menemukan suatu jalan yang bisa mewujudkan cita-citanya. Dilain sisi, para anggota Budi Oetomo lain juga mendapatkan pencerahan dari diskusi keagamaan yang dijelaskan secara sederhana dan praktis dari Haji Ahmad Dahlan.

Diskusi dan kajian keislaman yang dilakukan oleh Haji Ahmad Dahlan juga dihadiri oleh para anggota yang menjadi guru di sekolah Goubernment milik Belanda. Secara spontan Haji Ahmad Dahlan menginisiasi diadakannya pelajaran agama di sekolah Kweekschool (Sekolah Raja) bagi para siswa yang beragama Islam. Kemudian ide tersebut bisa diterima oleh Hoofd Inspectuur sebagai otoritas tertinggi di kepengurusan sekolah. Hal tersebut menjadi inspirasi bagi Haji Ahmad Dahlan untuk mengembangkan pesantren miliknya. Ia memanggil tukang kayu untuk membuat tiga set kursi dan meja. Pendopo depan disulap menjadi sebuah ruang kelas. Lagi-lagi masyrakat kembali memandang aneh Haji Ahmad Dahlan karena dianggap berlawanan dengan arus kebiasaan pada saat itu. Kejadian masa lalu masih membekas dihatinya.

Awalnya murid-murid sekolahnya itu hanya dihadiri oeh anak-anak dari keluarga Haji Ahmad Dahlan sendiri yang berjumlah sembilan orang dan beliau sendiri yang menjadi gurunya. Lama kelamaan jumlahnya bertambah. Dibulan ketujuh, sekolah tersebut mendapat sumbangan guru dari tamatan Kweekschool yang belum mendapat penempatan dari Goubernement. Di sekolahnya, Haji Ahmad juga mengajarkan kesenian seperti lagu-lagu Marhaban-marhaban, Jalil-jalil dan lagu-lagu burdah. Namun masyarakat malah takut kalau haji Ahmad Dahlan sudah murtad, sekolahnya menyeleweng dari ajaran Islam dan mengajar anak-anak untuk berpindah agama.

Ada saran dari calon guru Kweekschool supaya sekolah tersebut dijadikan sebuah organisasi supaya keberlangsungannya bisa lebih terjamin, tidak hanya bergantung kepada Haji Ahmad Dahlan seorang. Akhirnya organisasi tersebut didirikan pada tanggal 18 November 1912 dinamakan Muhammadiyah, diambil dari nabi panutan umat Islam. Penamahan ijah -iyah- sebagai nisbah dimaksudkan barang siapa yang menjadi anggota Muhammadiyah hendaknya dapat menyesuaikan diri pribadi Nabi Muhaamad SAW. Pendirian organisasi tersebut sempat kembali mendapat pertentangan dari M. Khalil Kamaludiningrat sebab dia salah membaca surat permohonan Haji Ahmad Dahlan yang tertulis President organisasi menjadi Resident. Pendirian Mohammadiyah pada nantinya akan mempersempit jurang perpecahan antara muslimin dari kalangan santri dan muslimin dan yang bukan santri.

Sepak terjang Haji Ahmad Dahlan bersama Muhammadiyah begitu rasional. Beliau mengikis takhayaul, bid'ad dan kurafat/chufarat (disingkat sendiri oleh beliau menjadi TBC). Sebagaimana para gurunya Ahmad Khatib Minangkabawi, serta pengaruh dari Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, ia merasa jenuh dengan kebudayaan yang berada di luar nalar kemanusiaan dan prinsip ketuhanan dalam Islam. Telah terjadi pergeseran nilai, semenjak para raja dilarang berhaji dan tidak boleh mengadakan pertemuan umum yang membahas agama bahkan juga tidak boleh khotbah jumat.

Islam adalah akidah dan syariah yang dihiasi dengan etika atau akhlak. Namun jadi bahaya kalau akhlak yang seharusnya tercermin dalam sikap menjadi sebuah teori ketuhanan. Haji Ahmad Dahlan sebenarnya tidak ingin menyalahi wacana fikih yang mengatakan kalau ziarah kubur adalah sunnah. Namun Haji Ahmad Dahlan pernah menyerukan bahwa ziarah kubur adalah kufur, syirik dan haram sehingga menggemparkan masyarakat. Hal tersebut sebenarnya adalah upaya beliau untuk mengembalikan nilai dan syariah pada tempatnya. Jika seseorang mengedepankan akidah, syariat dan etika/akhlak sebelum fikih, maka ziarah kubur hanyalah wacana etika/akhlak supaya manusia menjadi lebih baik lagi terhadap Allah maupun hamba-Nya dalam mengingat kematian itu pasti datang. Namun kalau keadaanya terbalik akibat keyakinan yang keliru, orang akan terjebak dalam takhayul sehingga ada anggapan orang sholeh yang mati seakan menjelma menjadi Tuhan, sehingga manusia yang masih hidup menyandarkan ketakutan dan harapan. Itu adalah kekufuran dan kesyirikan yang tidak bisa ditolerir dalam Islam dan hukumnya haram.

Aksi nyata Muhammadiyah seperti banyak terinspirasi dan merupakan bentuk pengejawantahan Surat Al-Maun. Haji Ahmad Dahlan pernah mengajak murid dan santrinya untuk berkelling Pasar Beringharjo, Malioboro dan alun-alun Yogyakarta. Banyak pengemis disekitar tempat itu. Ia memerintahkan murid dan santrinya untuk membawa fakir miskin itu ke Mesjid Gedhe, kemudian membagikan sabun, sandang & pangan untuk mereka. Surat Al-Maun seperti sudah membumi dalam diri Haji Ahmad Dahlan. Suatu saat ia pernah bertemu dengan seorang fakir yang tidak memiliki pakaian untuk sholat. Tanpa pikir panjang, Haji Ahmad Dahlan mengajak fakir tersebut untuk memilih pakaian yang dia suka di lemari pakaiannya.

Pada tanggal 17 Juni 1920 diadakan Sidang Istimewa Anggota Muhammadiyah yang dihadiri oleh 200 orang anggota dan simpatisan. Haji Ahmad Dahlan memimpin acara dan melantik para anak muda yang sudah menjalankan aksinya. Malam itu dipaparkan rencana dari para ketua empat bidang yang ada di organisasi, yaitu pertama Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bidang Sekolah diketuai oleh H.M Hisyam, kedua Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bidang Tabligh diketuai oleh H.M Fakhrudin, ketiga Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bidang Penolong Kesengsaraan Oemoem diketuai oleh H.M Syoedja dan Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bidang Taman Pustaka diketuai oleh H.M Mokhtar.

Bidang Sekolah akan memajukan pendidikan dan pengajaran dengan membangun Universiteit Moehammadijah untuk mencetak sarjana-sarjana Islan dan Guru Besar guna kepentingan umat Islam. Bagian Tabligh hendak membangun langgar dan mesjid untuk tempat pengajian dan ibadah umat Islam setempat, mendirikan pondok modern untuk mencetak ulama-ulama yang ulung, sehingga cahaya Islam bisa menerangi alam semesta. Bagian Taman Pustaka akan berusaha menyiarkan Islam dengan selebaran cuma-cuma atau majalah bulanan baik yang cuma-cuma atau berlangganan, buku-buku Islam yang ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami serta membangun Taman Bacaan yang selain menyediakaan buku agama juga menyediakan buku-buku pengetahuan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan Islam. Terakhir bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem akan mendirikan rumah sakit, rumah miskin dan rumah yatim. Penjelasan itu menghebohkan hadirin dan mengundang gelak tawa dari sebagaian hadirin. Sebab pada saat itu pembangunan rumah sakit, rumah miskin (semacam panti) dan rumah yatim adalah tugas Pemerintah. Keempat bidang tersebut sampai saat ini bisa kita lihat hasilnya dengan banyaknya sekolah-sekolah Muhammadiyah dari tingkat taman kanak-kanak, SD, SMP dan SMA & Universitas Muhammadiyah yang ada di Jakarta, Yogyakarta, Malang, Surakarta dll; banyaknya mesjid-mesjid yang dikelola di bawah naungan organisasi Muhammadiyah dan pondok-pondok pesantren; lembaga berita Suara Muhammadiyah yang dari media cetak kini beralih ke media online; banyaknya Rumah Sakit PKU (Pembina Kesejahteraan Umat) Muhammadiyah atau Rumah Sakit Islam yang kesemuanya tersebar di seluruh penjuru tanah air.

Di usia senjanya, Haji Ahmad Dahlan masih terus berjuang bersama Muhammadiyah meskipun kesehatannya terganggu. Meskipun dokter sudah membatasi kegiatannya untuk beristirahat, tetap saja ada pengurus yang datang karena undangan dari Haji Ahmad Dahlan sendiri yang ingin menanyakan kegiatan apa saja yang sudah dijalankan dan yang belum dijalankan. Akhirnya beliau merasa harus mendelegasikan tugasnya di Muhammadiyah kepada keponakan dari istrinya bernama Baqir yang pada saat itu berada di Mekkah untuk pulang ke Tanah Air dan meneruskan perjuangannya. Namun Baqir belum bisa menerima apa yang dipercayakan kepadanya dan tetap bertahan di Mekkah. Pada malam Sabtu tanggal 23 februari 1923, Haji Ahmad Dahlan menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 54 tahun. Jenazah beliau dimakamkan di Karangkajen, Kota Yogyakarta.

Demikian ringkasan biografi dari K.H Ahmad Dahlan. Buku ini ditulis oleh Didik L. Hariri. Buku setebal 187 halaman ini selain menceritakan latar belakang, silsilah dan perjalanan hidup Haji Ahmad Dahlan secara garis besar, tapi juga menceritakan secara cukup rinci dan jelas tentang poin-poin penting perjuangan dakwah dari sang pendiri Muhamaadiyah, bagaimana perspektif, corak dan kontribusi dari organisasi Muhammadiyah itu sendiri terhadap bangsa ini.

No comments:

Post a Comment