Wednesday, November 25, 2020

Tentang Unsung Cinderella (Drama Jepang Tentang Apoteker di Rumah Sakit) Episode 1


Unsung Cinderella adalah film drama Jepang yang menceritakan tentang seorang apoteker bernama Aoi Midori (Satomi Ishihara) yang bekerja di Rumah Sakit (RS) Umum Takatsu. Aoi merupapak apoteker yang memiliki sifat altruistik (mendahulukan kepentingan pasien). Dia menyadari bahwa apoteker merupakan benteng terakhir bagi keselamatan pasien selama pengobatan. Secara garis besar kondisi profesi apoteker yang bekerja di rumah sakit di Jepang kurang lebih masih hampir sama dengan di Indonesia dalam hal anggapan atau pandangan tenaga kesehatan lain ataupun pasien/masyarakat secara umum dalam menangani pasien (kalau dalam hal kesejahteraan jelas beda kayaknya). Pada episode 1 terlihat beberapa adegan yang menampilkan bahwa apoteker memang seperti kurang diperhatikan. Misalnya saat Aihara Kurumi (Nanashe Ishino) apoteker yang baru diterima bekerja di RS tersebut bertanya kepada Kepala Departemen Farmasi -kalau disini mungkin Kepala Instalasi Farmasi- Handa Satoko (Miki Maya), 'Apakah apoteker dibutuhkan di RS?' karena dia sebagai apoteker sebenarnya bisa bisa menjadi apoteker di apotek (yang mungkin lebih dihargai tapi mendapat gaji yang sama dengan apoteker di RS). Saat Aihara ingin menggunakan lift, diberitahu oleh juga oleh Handa bahwa lift diprioritaskan untuk pasien, dokter, perawat kemudian baru apoteker. Aoi juga pernah mengingatkan Aihara jika dia ingin dihargai, jangan menjadi apoteker (khususnya di RS). Aoi sendiri menjadi apoteker karena saat ia kecil, adiknya mengidap kanker dan saat menjalani masa-masa sulit tersebut ia dibantu oleh seorang apoteker di RS itu, sehingga menjadi apoteker menjadi impiannya sejak saaat itu.

Film ini sangat edukatif sekali karena menampilkan adegan-adegan yang menunjukan ternyata apoteker sesungguhnya juga memiliki peran dalam hal keberhasilan pengobatan pasien. Di awal-awal film, ada seorang pasien yang disengat tawon, mengalami reaksi alergi dan tidak sadarkan diri. Pasien diberi kortikosteroid dan antihistamin supaya bengkak atau inflamasi dan reaksi alerginya tidak semakin meluas. Kemudian pada pembacaan Bedside Monitor, tiba-tiba jantung si pasien berhenti berdetak. Dokter menekan-menekan dada pasien supaya jantungnya terus berdetak, setelah sebelumnya dokter memberi suntikan adrenalin untuk memacu jantung si pasien. Aoi turut membantu, dia menemukan bahwa dikantong celana pasien ada obat antihipertensi golongan beta-blocker. Menarik, disini Aoi menyarankan kepada dokter untuk memberikan injeksi glukagon kepada pasien penderita hipertensi untuk menurunkan kadar dan efek beta-blocker yang menghambat aksi dari adrenalin sehingga jantung pasien bisa berdetak lagi. Ada juga adegan-adegan lain yang menampilkan bahwa pasien di rawat inap banyak yang tidak patuh atau belum sadar akan pentingnya disiplin dalam minum obat. Disinilah peran apoteker juga ada supaya mereka mau minum obat secara teratur. Aoi juga rajin 'rapat resep' dengan dokter terutama dengan dokter Hayashi Masaki (Kisuke Iida). Ia sering meminta konfirmasi kepada dokter walaupun hanya terkait hal-hal sepele dalam resep, misal Lansoprazole seharusnya hanya diminum 1x sehari, tapi dokter Hayashi meresepkan 3x sehari. 

Adegan lain yang menampilkan peran apoteker adalah saat ada pasien rawat inap hamil bernama Yajima Shiori yang menunjukan gejala sakit kepala, sakit pada mata dan mual. Namun diresepkan Loxopreforen oleh dokter Michiba yang seharusnya tidak boleh untuk ibu hamil. Aoi mengubahnya menjadi parasetamol. Gejala-gejala yang dialami Yajima ini menunjukan gejala HELLP Syndrome. Sebelumnya dokter Hayashi juga meresepkan Lansoprazole sehari 3x. Aoi sempat menghampiri dokter saat sedang makan siang untuk rapat resep dan meminta izin untuk mengubah penggunaan Lansoprazole menjadi 1x sehari. Terkesan sepele memang. Dokter Hayashi beranggapan bahwa hal itu bisa diubah sendiri tanpa harus mengganggu makan siangnya.  Ternyata benar, Yajima yang baru melahirkan secara prematur sebenarnya mengalami Preeklamsi, kadar Alanine  Amino Transferase juga meningkat akibat Lansoprazole. Disini, Aoi berkontribusi mengurangi tingkat keparahan dengan mengurangi pengurangan penggunaan Lansoprazole menjadi hanya 1x sehari. Bisa dibayangkan kalau Lansoprazole tetap diberikan sampai 3x sehari. Kondisi preeklamsi adalah keadaan sebelum eklamsi yaitu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan tekanan darah tinggi >140/100 mmHg, kejang sebelum, selama atau sesudah persalinan. Kondisi ini bisa membayakan nyawa si ibu atau si janin. 

Saat Yajima mengalami sakit tersbut. Aoi mengingatkan dokter Michiba bahwa apa yang dialami pasien itu adalah preeklamsi dan parasetamol tidak mempan. Tidak lama dokter Hayashi datang dan dengan bahasa tubuh marah menarik Aoi supaya tidak ikut campur dengan tidak bertindak menangani pasien tanpa seizin dokter. Akan tapi Aoi tidak diam saja. Dia kembali menekankan dokter Hayashi bahwa kondisi tersebut adalah preeklamsi dan dia menyarankan untuk memberikan Magnesium Sulfat untuk mengurangi kejang pada pasien. Akhirnya pasien tersebut tertolong. Dokter Hayashi yang masih tidak terima membawa masalah ini ke dewan komisi etik rumah sakit. Namun banyak yang memberikan dukungan kepada Aoi, terutama dari dokter dan bidan yang merasa terbantu oleh Aoi. Meskipun Wakil Kepala Departemen Farmasi disitu sendiri tidak ingin Aoi terlalu vokal dalam pekerjaannya.

Secara garis besar, sama seperti di Indonesia film ini menunjukan bahwa di Jepang sendiri hubungan antara dokter dan apoteker belum kolaboratif. Sebagian dokter masih merasa bahwa apoteker bukan sebagai partnernya untuk sama-sama menangani pengobatan dan terapi pasien. Dokter masih banyak yang merasa bahwa apoteker menggangu kewenangannya dalam menangani pasien. Padahal seharusnya apoteker yang juga tergolong sebagai salah satu tenaga kesehatan selain dokter dan perawat, sangat bisa menjadi rekan dari dokter. Demikian.

Wednesday, July 15, 2020

Hipertensi


A. Etiologi dan Patofisiologi Hipertensi
- Sering disebut silent killer karena penderita tidak menunnjukan gejala/asimptomatis. Disebut tekanan darah ketika tekanan darah terukur tinggi dalam waktu yang lama. Hal ini bisa merusak otak ginjal jantung atau bahkan mata.

- Lebih dari 40% pasien hipertensi tidak dilakukan treatment

- 2/3 penderita tidak mencapai target tekanan darah kurang dari 140/90

- Orang normal tanpa keturunan hipertensi berusia 55 tahun 90% beresiko hipertensi karena pemmbuluh darah tidak elastis

Pembuluh darah menyempit saat konstriksi (darah dipompa dari jantung), tekanan darah pada orang hipertensi menjadi lebih tingi dalam keadaan ini.

Secara etiologi (sebab dan asal muasal), ada 2 kategori:
1. Hipertensi Primer: lebih dari 90% penderita, belum ditemukan penyebab pastinya, tapi diduga faktr genetik memegang peranan penting.
2. Hipertensi Skeunder: kurang dari 10% kasus, penyebabnya konsumsi terlalu banyak garam, konsumsi obat oral kontrasepsi

Klasifikasi hipertensi menurut James et al 2014

Klasifikasi
Sistolik (mmHg)
Dan/atau
Diastolik (mmHg)
Normal
<120
Dan
<80
Prehipertensi
120-139
Atau
80-89
Hipertensi Stage 1
140-159
Atau
90-99
Hipertensi Stage 2
≥ 160
Atau
≥100
sistolik = saat darah keluar jantung
diastolik = saat tekanan darah masuk ke jantung

B. Algoritme Terapi dan Prinsip Penatalaksaan Hipertensi
Tujuan terapi: sangat penting dipahami pasien supaya patuh dalam pengobatan. Jika tidak, akan merasa sudah sembuh, baik dan tidak minum obat. Padahal hipertensi tidak bisa sembuh melainkan hanya terkontrol. Tujuannya menggurangi morbiditas dan mortalitas dari kardiovaskuler serta ginjal dengan fokus utama terapi menurunkan tekanan target sesuai target tekanan darah berdasarkan: umur pasien, penyakit penyerta & ras atau warna kulit (JNC 8).


No
Kriteria Umur
Target Tekanan Darah
Sistolik
Diastolik
1
≥ 60 tahun
≤ 150
≤ 90
2
≤ 60 tahun
≤ 140
≤ 90
3
Semua umur dengan diabetes, tanpa penyakit ginjal kronis
≤ 140
≤ 90
4
Semua umur dengan penyakit ginjal kronis dengan atau tanpa diabetes
≤ 140
≤ 90

Penatalaksaan terapi dilakukan dengan terapi non-farmakologis, kemudian jika tekanan darah masih tinggi baru dilakukan terapi farmakologi.

Contoh penatalaksaan terapi non-farmakologis:

Modifikasi Rekomendasi Penurunan Sistolik
Penurunan berat badan Jaga berat badan normal, Indeks Massa Tubuh 18,5-25 kg/m2 5-20 mmHg tiap penurunan 10 kg berat badan
Diet sehat Banyak buah, sayur & kurangi lemak 8-14 mmHg
Diet rendah garam < 3,8 gram per hari 7-8 mmHg
Olahraga 30 menit 4x seminggu 4-8 mmHg
Konsumsi alkohol < 2 gelas per hari (pria), < 1 gelas per hari (wanita) 2-4 mmHg

C. Intervensi Farmakologi untuk pelaksaan Hipertensi
Penatalaksanaan farmakologis:
1. Diuretik
Mekanisme dengan mengeluarkan Natrium sehingga volume darah berkurang.
2. Beta Blocker (~lol)
Menurunkan denyut jantung dan kardiak output.
3. Calcium Chanel Blocker (CCB) (~pin)
Mekanisme sebagai vasodilator akan menurunkan resistensi perifer dan vasokontriksi pembuluh darah.
4. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) (~pril)
mekanisme dengan menghambat angiotensi 1 menjadi angiotensi 2, kemudian mengaktifkan bradikinin yang berfungsi sebagai vasodilator.
5. Angiotensin Receptor Blocker (ARB) (~tan)
Mekanisme dengan menghambat efek angiotensin secara total.

D. Drug of Choice Hipertensi pada Pasien Kondisi Khusus
Kapan pasien mulai diterapi? Jika umur pasien ≥ 18 tahun.
Menurut Wiliiam:
1. Pasien hipertensi tanpa komplikasi: 
Pilihan pertama: ACEI atau ARB + CCB atau diuretik
Pilihan kedua: ACEI atau ARB + CCB + diuretik
Pilihan ketiga: ACEI atau ARB + CCB + diuretik+ spironolakton atau obat lainnya (alfa blocker atau beta blocker)
*triple combination: ACEI atau ARB + CCB + diuretik

2. Pasien hipertensi dengan penyakit ginjal kronik
Pilihan pertama: ACEI atau ARB + CCB  atau diuretik (loop)
Pilihan kedua: ACEI atau ARB + CCB + diuretik (loop)
Pilihan ketiga: ACEI atau ARB + CCB + diuretik+ spironolakton atau obat lainnya

3. Pasien hipertensi dengan penyakit arteri koroner
Pilihan pertama ada 3 alternatif: ACEI atau ARB + beta blocker atau CCB / CCB + diuretik atau beta blocker / beta bloker + diuretik
Pilihan kedua: triple combination atau lebih
Pilihan ketiga: triple combination + spinorolakton + alfa blocker atau beta blocker

4. Pasien hipertensi dengan gagak jantung
Pilihan pertama: ACEI atau ARB + diuretik atau loop diuretik + beta blocker
Pilihan kedua: ACEI atau ARB + diuretik atau loop diuretik + beta blocker + MRA (mineralocorcticod receptor antagonist)

Hindari penggunaan ACEI dan ARB secara bersamaan

E. Peran Apoteker
1. Assessment/penilaian pasien
- Assessment terhadap kondisi pasien: apa sudah dalam waktu lama, target tidak tercapai jika sudah minum obat, obat-obat apa yang sudah diminum.
- Assessment terhadap DRP.

Pertanyaan kunci: riwayat penyakit & penggunaan obat, apa obat yang diterima sesuai indikasi, apa obat selektif dan aman, apa pasien patuh terhadap pengobatan

2. Membuat rencana asuhan kefarmasian
Tujuannya untuk mendokumentasikan semua hasil assessment yang dilakukan apoteker ditahap awal. Identifikasi permasalahan terkait obat yang diberikan.

Pertanyan kunci: membutuhkan obat tapi tidak menerima obatnya, menerima obat tidak sesuai dengan indikasinya, menggunakan obat dengan cara yang salah, dosis obat terlalu tinggi atau rendah, tidak patuh minum obat,

3. Monitoring dan tindak lanjut terapi ataupun pemantauan tekanan darah
Melakukan assessment apakah terapi yang diberikan sudah sesuai atau perlu dikonfirmasikan ke dokter.
Pemberian terapi beta blocker harus diberikan dari dosis yang rendah dan perlahan naik.
Hindari kombinasi CCB non DHP + beta blocker karena akan saling menurunkan efek.

F. Drug related Problem (DRP) pada Tata Laksana Hipertensi
Interaksi obat:
- beta blocker + obat diabetes -> beta blocker menurunkan efek obat diabetes (penekanan efek hipoglikemi
- ACEI + NSAID (aspirin dosis tinggi) -> NSAID akan menurunkan potensi ACEI

Adverse drug reaction: CCB, diuretik & beta blocker. Harus dilakukan monitoring dan tindak lanjut lebih cermat karena menimbulkan efek pada sistem syaraf pusat, gangguan muskuloskeletal dan gangguan gastrointestinal.

Kondisi hamil: dilarang diberikan ACEI, ARB, atenolol, oxprenolol, pragosin, diuretik & spironolakton.
Alternatifnya: metildopa, beta blocker, nifedipin lepas lambat, diuretik.

F. Monitoring dan Evaluasi Outcome Terapi


Kelas Terapi Parameter
Diuretik - tekanan darah
- kreatinin serum
- elektrolit darah (K+, Mg2+, Na+), asam urat (untuk thiazide)
Beta blocker - tekanan darah
- kecepatan nadi
Aldosterone antagonist
ACEI
ARB
- tekanan darah
- kreatinin serum
- kalium darah
CCB - tekanan darah
- kecepatan nadi

G. Komunikasi, Informasi dan Edukasi bagi Pasien Hipertensi
Bagaimana supaya pasien patuh?
Berkomunikasi dengan pasien, hal apa yang membuat mereka tidak patuh. Apa tinggal sendiri sehingga faktir lupa jadi dominan, atau pasien merasa sudah sembuh. Kasus yang terakhir perlu diedukasi bagaimana perjalanan penyakit hipertensi jika tidak dikelola dengan baik. Hipertensi bukan penyakit yang bisa disembuhkan, tapi harus dikontrol dengan penggunaan obat yang tepat. mekanisme obat, cara kerja obat secara sederhana harus diberikan supaya pasien paham.

Bagaimana cara mengedukasi pasien?
- Apa apoteker punya waktu, sehingga tidak terburu-buru.
- Apa cara berbicara cukup bisa dipahami: tidak terlalu cepat, bahasa mudah dipahami.
- Barrier/penghalang: suasana tidak nyaman (didengar pasien lain)
- Bagaimana apoteker memposisikan diri sebagai pasien, memahami pasien akan memudahkan apoteker dalam berkomunikasi dengan mereka, bertanya dengan pertanyaan open akan membuat mereka bercerita dan apoteker lebih mudah menangkap kendala kenapa pasien tidak patuh. Misal: 'bisa dijelaskan kembali apa yang sudah disampaikan oleh dokter terkait obat yang akan digunakan?', sehingga bisa diukur sejauh mana pasien paham bahwa obat yang akan diminumnya memiliki manfaat terhadap perjalanan penyakitnya.

Sumber: apoteker.od.id Farmakoterapi dan Pelaksanaan Hipertensi oleh Lusy Noaviani S.Si., MM., Apt.

Wednesday, June 24, 2020

Rijsttafel, Budaya Makan Modern Pertama di Nusantara



Buku ini diambil dari skripsi si penulis Fadly Rahman, dijurusan Sejarah Universitas Padjajaran. Rijsstafel secara harafiah artinya meja nasi adalah budaya 'makan nasi' orang-orang Belanda semasa di Hindia Belanda (Indonesia) dengan segambreng lauk pauk di satu meja bundar yg disajikan bahkan sampai puluhan pelayan Pribumi hanya untuk empat orang. Awalnya budaya Rijsttafel ini adalah akulturasi antara kebudayaan Belanda (setelah di Hindia/Indonesia) dari segi kebiasaannya dan budaya Nusantara/Indonesia dari segi komposisi makanan utamanya.

Di akhir abad ke-19, semakin banyak orang Belanda yang datang kesini untuk bekerja sebagai pegawai di pemerintahan Kolonial Belanda. Kebanyakan tidak membawa serta istri mereka. Hnya para Pejabat Tinggi saja seperti Residen atau Asisten Residen yang diizinkan membawa istrinya dari Negeri Belanda. Hal tersebut membuat para pegawai rendahan lainnya mengambil perempuan Pribumi untuk dijadikan istri (yang tidak nikahi secara resmi) dan dikenal ndengan sebutan Nyai. Peran para Nyai inilah yang kemudian memperkenalkan masakan-masakan Nusantara dalam keseharian orang-orang Belanda.

Orang-orang Belanda yang semula enggan menyantap makanan Nusantara, mau tidak mau menyesuaikan diri dengan keadaan disini. Sulitnya mencari bahan makanan Eropa, membuat mereka akhirnya mau menyantap makanan Nusantara namun dengan kebiasaan/cara makan yang berbeda. Sehingga munculah budaya Rijsttafel ini. Seiring perkembangannya, selain menu makanan Indonesia, terjadi akulturasi juga dengan makanan-makanan Eropa khususnya Belanda (smoor/semur, frikadel/perkedel, soep/sup, dll) & Tionghoa. Sempat jadi ikon pariwisata diwaktu itu, hotel-hotel bintang 4 seperti Hotel Des Indes Jakarta & Savoy Homann Bandung menyajikan Rijsstafel sebagai salah satu paket untuk menarik wisatawan mancanegara.

Rijsstafel menjadi simbol kedudukan sosial antara Belanda dan Pribumi. Lambat laun banyak Bangsawan/Ningrat Pribumi dan kalangan pengusaha Tionghoa yang mengikuti kebiasaan makan orang-orang Belanda untuk menunjukan status sosial mereka. Memang Rijsttafel sarat dengan simbol kolonialisme, tapi ga bisa dipungkiri kalau Rijsttafel adalah salah satu budaya makan yang pertama kali mengemas kebiasaan makan secara modern di Nusantara. Sebelumnya kebiasaan makan orang-orang hanya duduk bersila di lantai dan dengan tangan kosong tanpa menggunakan peralatan makan seperti sendok, garpu dan pisau. Sementara bagi Belanda, Rijsttafel mengangkat derajat kuliner mereka di mata dunia karena Belanda tidak punya tradisi budaya kuliner yang 'adiluhung'/haute cuisine seperti Perancis atau Italia. Makanan Belanda kalah jauh dari segi cita rasa. Setelah Indonesia merdeka, konsep Rijsttafel yang tadinya menampilkan puluhan Pribumi sebagai pelayan, diganti dengan konsep Prasmanan tanpa pelayan.


Friday, May 29, 2020

Langkah Strategis Terapi Dermatits Atopik

Dermatitis Atopik (DA) atau yang biasa disebut eksim oleh kebanyakan orang adalah penyakit berupa sekumpulan lesi veskular yang terbentuk ketika edema (penumpukan cairan) terakumulasi diantara sel epidema. DA adalah istilah umum yang mencakup dermatitis dan eksim. Dulu dokter menganggap DA adalah penyakit semasa anak-anak yang akan sembuhdengan sendirinya setelah dewasa. Ternyata di Amerika Serikat (AS) ada sekitar 16,5 juta (7,3%) orang dewasa yang mengidap DA. Meskipun tidak mengancam nyawa, DA menyebabkan tekanan dan isolasi sosial. Serta penyebab keempat beban tidak fatal karena disability/kecacatan.

sumber gambar: Halodoc

Penyakit kronis, kompleks dan tidak dapat disembuhkan ini ciri-cirinya menyebabkan kulit pecah-pecah, kering, gatal yang parah, inflamasi/bengkak dan iritasi. Penyakit ini tidak bisa disembuhkan sehingga istilah sembuh kurang tepat, yang tepat ialah istilah terkontrol. DA sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor pemicunya sangat spesifik. Rencana perawatan yang khusus/spesifik harus mencakup gaya hidup, pelembab dan obat-obatan yang secara spesifik berfungsi meringankan kulit kering dan inflamasi.Pasien harus dipersiapkan untuk mengatasi flare/kulit terbakar dan menjaga kontrol ketika mereka bisa mencapai penyembuhan terbaik.

Berikut tahapan dalam menganani DA:

1. Steroid topikal (salep kulit lebih disukai) untuk gejala berupa kulit terbakar; emmolient (obat atau bahan yang mempunyai sifat melunakan) contohnya crisobolole untuk perawatan lebih lanjut. Sejauh ini gw cari-cari informasi mengenai crisobolole nampaknya belum masuk ke Indonesia. Di AS, obat ini sudah disetujui FDA sejak tahun 2016 dengan merk Eucrisa.

2. Inhibitor/penghambat calcineurin topikal yang dikombinasi dengan kortikosteroid & dupilumab (injeksi anti-inflamasi).

3. Fototerapi (penyinaran intensitas tinggi biasanya untuk bayi yang kena penyakit kuning); cyclosporine (immunosupresan/penekan sistem imun); kortikosteroid oral atau topikal yang poten; methotrexate (kemoterapi/obat kanker) & azathioprine (immunosupresan/penekan sistem imun).

sumber gambar: Alodokter

Pasien dengan DA terkadang tidak patuh terhadap terapi karena beban perawatan yang cukup berat. Tingginya beban ini tidak hanya dirasakan oleh pasien dewasa, tapi juga dirasakan oleh orang tua dari pasien anak yang menderita penyakit ini (dengan tingkat keparahan sedang sampai parah) karena memakan waktu 3 jam setiap harinya untuk perawatan harian.  Diawal terapi, kepatuhan pasien bisa mencapai 90% namun turun hingga 30% di minggu ke-8.


Berikut informasi-informasi klinis yang relevan untuk mendorong/mendukung pasien DA:

1. Mengatasi steroidphobia:
Kebanyakan penyedia pelayanan kesehatan dan pasien percaya bahwa steroid menyebabkan ketergantungan setelah digunakan sekali dan gunakan steroid seminimal mungkin bahkan untuk keadaan yang sudah parah.

2. Menganjurkan mandi setiap hari:
Rendam kulit dalam air hangat selama 10 menit untuk menghidrasi kulit, menghilangkan kulit yang mengeras, iritan & alergen. Perendaman ini juga meningkatkan penetrasi obat topikal pada kulit dan secara potensial bisa mengurangi bakteri.

Pembersih yang digunakan harus 'mild', surfaktan dengan basis non-sabun & deterjen sintetis dengan pH netral sampai rendah

Penggunaan pemutih yang diencerkan (semacam desinfektan)
1/4 sampai 1/2 cc 5% pemutih rumah tangga dituangkan ke (40 galon air) satu bak mandi penuh. Tepat untuk pasien dengan gejala klinis infeksi bakteri sekunder, tapi harus dihindari jika kulit sangat kering dan sakit.

Penggunaan minyak mandi setelah berendam 15-20 menit untuk mempertahankan kelembaban pada kulit.

3. Menjelaskan secara pasti dosis penggunaan salep topikal:
Area kulit seluas telapak tangan termasuk jari setara dengan 1% luas permukaan kulit diseluruh tubuh, membutuhkan sebanyak 0,25 gram sediaan topikal atau setengah ujung jari.

4. Penekanan akan pentingnya pelembab:
Pasien harus menggunakan pelembab segera setelah berendam.

5. Pemilihan penggunaan anti-histamin sedatif untuk jangka pendek atau berselang:
Penggunaan anti-histamin seatif ini hanya untuk menolong pasien yang kehilangan jam tidur akibat gatal, tapi tidak bisa menggantikan fungsi dari selep kulit topikal.

6. Menjelaskan erapi wet-warp untuk pasien DA dengan tingkat keparahan sedang sampai berat:
Pasien berendam di air hangat, gunakan emolien, gunakan 'wet-dressing' dan tutup dengan 'dry-dressing' selama 24 jam.

Pasien akan membutuhkan banyak obat OTC dan obat resep. Baik apoteker maupun teknisi/asisten apoteker harus mampu menjelaskan klasifikasi dari produk-produk sediaan semisolid (krim, gel, salep dan pasta) dan merekomendasikan agen yang lebih bersifat occlusive untuk kulit kering.

Cara paling efektif mengurangi inflamasi kulit yang berkaitan dengan DA adalah dengan menggunakan salep kortikosteroid topikal pada kulit untuk menghambat siklus DA. Inhibitor kalsineurin topikal seperti tacrolimus & pipecuronium mengobati lesi secara efektif terutama disekitar mata. secara umum pasien akan melihat respon dalam 2 minggu. Beberapa dermatologis juga menggunakan salep tacrolimus untuk terapi perawatan. DA dengan tingkat keparahan parah tindak responsif dengan pengobatan ini. Pasien mungkin membutuhkan immunomodulator atau immunosupresan. Antagonis reseptor-alfa interleukin IL-4 disetujui FDA bagi pasien DA dengan tingkat keparahan sedang sampai parah untuk pasien 12 tahun atau lebih. Beberapa pasien merasakan perkembangan dan sepertiganya melaporkan pengobatan yang mencapai target.


Sumber:

https://www.pharmacytimes.com/publications/issue/2020/May2020/atopic-dermatitis-responds-to-strategic-steps-in-therapy

Friday, May 22, 2020

Obat-Obatan dengan Peringatan Keras (High-Alert) Membutuhkan Penanganan Khusus (part-2)

Gw kesambet lagi malem ini, jadi mau nulis seputar farmasi lanjutan dari tulisan yang pertama.

Larutan Oral Methotrexate

Larutan methorexate oral di Amerika Serikat (AS) dimaksudkan untuk penggunaan pediatrik (anak-anak). Obat ini sendiri diindikasikan untuk pasien anal-anak dengan penyakit kanker darah Leukimia Limfoblastik Akut (LLA) sebagai bagian dari regimen kemoterapi. Selain itu juga diinikasikan untuk mengobati penyakit Arthritis Idiopatik Poliartikular yang memiliki respon mencukupi atau intoleran terhadap terapi lini pertama termasuk terhadap agen non-steroidal anti inflamasi (NSAID). Tiap milimeter larutan mengandung 2,5 mg methotrexate. Obat ini sudah beredar dan memiliki izin resmi di Indonesia sejak tahun 2015 (data dari BPOM).

Hal yang menjadi perhatian adalah bahwa pihak yang bertanggung jawab dalam administrasi obat pasien (yang masih anak-anak) di rumah adalah orang tua mereka sendiri menggunakan sendok teh untuk menakar dosis obat tersebut. Sediaan yang diberikan adalah berupa larutan sebanyak 120 mL dalam botol. Pengambilan 1 mL dosis obat dari botol tersebut secara manual menggunakan sendok teh merupakan hal yang menakutkan/beresiko. 

Praktisi kesehatan dalam hal ini apoteker harus memastikan ketika pasien menerima obat, harus disertai dengan alat penakar dosis yang memadai/layak, seperti misalnya suntikan oral yang mengukur dalam satuan metrik, sehingga bisa didapatkan dosis larutan yang akurat. Jika perlu saat konseling, apoteker menggunakan metode teach-back untuk meminta si orang tua pasien menunjukan bagaimana cara mereka mengukur dosis menggunakan suntikan oral tersebut.

Dilihat dari sudut pandang keselamatan pasien, cara terbaik memberikan obat ini kepada pasien adalah dalam bentuk pre-filled syringe/suntikan yang sudah berisi dosis sekali pakai. Namun apoteker di komunitas belum siap untuk hal ini (4 suntikan untuk penggunaan selama 1 bulan atau perminggunya 1 dosis). Hal ini mengingat methotrexate sebagai agen kemoterapi dan tergolong dalam obat indeks terapi sempit yang artinya berbahaya jika dosisnya tidak diberikan secara tepat. Apoteker bertanggung jawab untuk memastikan bagaimana pasien meng-handle sediaan farmasi ini dan informasi-informasi apa saja yang harus disampaikan kepada pasien.


Wednesday, May 20, 2020

Obat-Obatan dengan Peringatan Keras (High-Alert) Membutuhkan Penanganan Khusus

Oke ga tau kesambet apa, malem ini dikala hujan rintik-rintik tiba-tiba gw pengin nulis hal tentang farmasi wkwk. Sesuatu yang jarang saya lakukan bisa dibilang hampir tidak pernah.

Insulin Aspart

Kalian mungkin pernah menggunakan jasa penebusan/pembelian obat dari resep dokter secara online entah melalui aplikasi Halodoc, Good Doctor, K24klik atau yang lainnya. Untungnya, di Indonesia semua obat yang diresepkan oleh dokter tertulis secara detil sesua brandmerk atau nama dagang sehingga apoteker lebih mudah untuk menyiapkan permintaan obat yang tertulis diresep. Waktu masih kuliah gw pernah denger beberapa kali dari dosen kalau di AS dan United Kingdom (UK), dokter dan apoteker duduk bersama berunding mengenai pemilihan obat yang tepat untuk diresepkan ke pasien atau seminimal-minimalnya dokter hanya melakukan diagnosa terkait penyakit dan selebihnya pemilihan obat ditentukan sepenuhnya oleh apoteker.

Nah, di AS ketika dokter mau meresepakan insulin pen yang berisi insulin aspart 100 units/mL untuk pasien diabetes tipe 2 (khususnya melalui aplikasi online), hal ini berpotensi menimbulkan medication error. Kenapa? Sebab di AS sendiri obat dengan zat aktif insulins aspart dijual dengan merk Fiasp® dan NovoLog® yang keduanya diproduksi oleh perusahaan farmasi asal Denmark, Novo Nordisk. Cilakanya, antara kedua merk tersebut memiliki zat tambahan yang berbeda. Fiasp mengandung niacinamide yang mana akan memberikan onset (waktu yang diperlukan obat untuk bereaksi di dalam tubuh manusia) menjadi lebih cepat, sehingga Fiasp bisa diadministrasikan saat makan atau 20 menit selama makan. Sementara NovoLog tidak mengandung niacinamide sehingga membutuhkan waktu onset yang lebih lama untuk bereaksi, sehingga NovoLog harus diadministrasikan 5-10 menit sebelum makan.





Meskipun dokter meresepkan Fiasp, tapi yang akan muncul diaplikasi hanya tertulis insulin aspart dan kemudian apoteker akan mendispensing (menyerahkan obat) NovoLog kepada pasien. Fiasp akan menjadi berbahaya jika diminum 5-10 menit sebelum makan, sebab onsetnya cepat tapi pasien tidak segera makan. Hal ini akan menyebabkan keadaan hipoglikemi (kadar gula darah turun secara ekstrem) yang bisa mengakibatkan keringat dingin, jantung berdebar, tremor, kejang bahkan sampai penurunan kesadaran. Fiasp dan NovoLog tergolong obat yang baru mendapat izin edar dari Food and Drug Administration (FDA) di AS tahun 2018, sedangkan di Indonesia sendiri, baru Fiasp yang mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di tahun 2019.

Oke gitu aja. Thank You!


Sumber :