Buku ini diambil dari skripsi si penulis Fadly Rahman, dijurusan Sejarah Universitas Padjajaran. Rijsstafel secara harafiah artinya meja nasi adalah budaya 'makan nasi' orang-orang Belanda semasa di Hindia Belanda (Indonesia) dengan segambreng lauk pauk di satu meja bundar yg disajikan bahkan sampai puluhan pelayan Pribumi hanya untuk empat orang. Awalnya budaya Rijsttafel ini adalah akulturasi antara kebudayaan Belanda (setelah di Hindia/Indonesia) dari segi kebiasaannya dan budaya Nusantara/Indonesia dari segi komposisi makanan utamanya.
Di akhir abad ke-19, semakin banyak orang Belanda yang datang kesini untuk bekerja sebagai pegawai di pemerintahan Kolonial Belanda. Kebanyakan tidak membawa serta istri mereka. Hnya para Pejabat Tinggi saja seperti Residen atau Asisten Residen yang diizinkan membawa istrinya dari Negeri Belanda. Hal tersebut membuat para pegawai rendahan lainnya mengambil perempuan Pribumi untuk dijadikan istri (yang tidak nikahi secara resmi) dan dikenal ndengan sebutan Nyai. Peran para Nyai inilah yang kemudian memperkenalkan masakan-masakan Nusantara dalam keseharian orang-orang Belanda.
Orang-orang Belanda yang semula enggan menyantap makanan Nusantara, mau tidak mau menyesuaikan diri dengan keadaan disini. Sulitnya mencari bahan makanan Eropa, membuat mereka akhirnya mau menyantap makanan Nusantara namun dengan kebiasaan/cara makan yang berbeda. Sehingga munculah budaya Rijsttafel ini. Seiring perkembangannya, selain menu makanan Indonesia, terjadi akulturasi juga dengan makanan-makanan Eropa khususnya Belanda (smoor/semur, frikadel/perkedel, soep/sup, dll) & Tionghoa. Sempat jadi ikon pariwisata diwaktu itu, hotel-hotel bintang 4 seperti Hotel Des Indes Jakarta & Savoy Homann Bandung menyajikan Rijsstafel sebagai salah satu paket untuk menarik wisatawan mancanegara.
Rijsstafel menjadi simbol kedudukan sosial antara Belanda dan Pribumi. Lambat laun banyak Bangsawan/Ningrat Pribumi dan kalangan pengusaha Tionghoa yang mengikuti kebiasaan makan orang-orang Belanda untuk menunjukan status sosial mereka. Memang Rijsttafel sarat dengan simbol kolonialisme, tapi ga bisa dipungkiri kalau Rijsttafel adalah salah satu budaya makan yang pertama kali mengemas kebiasaan makan secara modern di Nusantara. Sebelumnya kebiasaan makan orang-orang hanya duduk bersila di lantai dan dengan tangan kosong tanpa menggunakan peralatan makan seperti sendok, garpu dan pisau. Sementara bagi Belanda, Rijsttafel mengangkat derajat kuliner mereka di mata dunia karena Belanda tidak punya tradisi budaya kuliner yang 'adiluhung'/haute cuisine seperti Perancis atau Italia. Makanan Belanda kalah jauh dari segi cita rasa. Setelah Indonesia merdeka, konsep Rijsttafel yang tadinya menampilkan puluhan Pribumi sebagai pelayan, diganti dengan konsep Prasmanan tanpa pelayan.
No comments:
Post a Comment