K.H
Ahmad Dahlan adalah seorang pendiri organisasi Islam Muhammadiyah,
salah satu organisasi Islam terbesar yang ada di Indonesia. Beliau
yang bernama asli Muhammad Darwis, lahir pada tanggal 1 agustus 1868
di Yogyakarta dari pasangan Kyai Ketib Amin H. Abu Bakar (seorang
ketib/khatib Masjid Agung Yogyakarta) dan Siti Aminah (putri seorang
penghulu kraton). Satu-satunya anak laki-laki dari 6 bersaudara.
Silsilah dari keturunan ayahnya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim
(Sunan Gresik) yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW.Kampung
Kauman Yogyakarta sebelum kedatangan kolonial Belanda merupakan
kampung yang relijius. Kata Kauman sendiri berasal dari kata 'Qaiim'
yang artinya 'penegak', kepanjangan dari 'Qaiim ad-diin' yang artinya
'penegak agama'. Struktur kepengurusan Mesjid Gedhe yang dibuat oleh
Sri Sultan Hamengkubuwono I terdiri dari para Kaum yang berjumlah 40
orang. terdiri dari Ketib/Khatib, Modin/Muadzin, Marbot/Rabbat
(penanggung jawab bilik-bilik mesjid) dan dikepalai oleh seorang
Penghulu Hakim.
Sri
Sultan juga bergelar 'Sayidin Panatagama' yang artinya 'tokoh dari
penata agama'. Disetiap Kawedanan (setara kabupaten) kepengurusan
mesjid dipimpin oleh seorang 'Naib' atau Wakil Penghulu Hakim yang
membawahi 11 Kaum, sedangkan mesjid desa dipimpin oleh Modin yang
membawahi 4 Kaum. Penghulu Hakim merupakan kepala urusan agama Islam
disetiap Kawedanan yang mencakup urusan 'ubudiyah (ibadah), muamalah
(jual beli), munakahah (perkawinan). Untuk urusan jinayah (perkara
pidana), Penghulu bekerja sama dengan Jaksa (selain masalah hibah dan
wakaf), sehingga posisi Penghulu sebagai Hakim, jadi sering disebut
Penghulu Hakim. Sedangkan Ketib/Khatib tugasnya adalah khotbah atau
berceramah, tugasnya adalah mengisi khotbah Jum'at dan menyiarkan
agama Islam keseluruh pelosok negeri Ngayogyakarto. Terlihat bahwa
para pemuka agama tidak hanya mengurusi urusan agama, tapi juga
sosial masyarakat pada saat itu. Para tokoh agama di desa-desa biasa
disebut Kyai Anom, kadang memiliki tempat pengajian sendiri yang
disebut Pesantren. Sementara santrinya ada 2 macam. Pertama 'santri
kalong' yaitu santri yang berdomisili dalam satu desa atau kotanya
sendiri bisa pulang pergi, kedua yang disebut 'santri mondok', santri
yang menetap di pondokan yang sudah disediakan oleh Kyai, sehingga
disebut Pondok Pesantren. Pimpinan dari Pondok Pesantren itu sendiri
disebut dengan Kyai Sepuh. Penggunaan huruf Pegon (huruf arab untuk
menuliskan bahasa jawa) juga lazim pada saat para santri mencatat
penjelasam kitab-kitab dari para Kyai.
Semua
ulama diberikan gaji dari pihak kesultanan berupa Tanah Lungguh yang
terdiri dari pekarangan dan persawahan. Kyai Anom dan Sepuh mendapat
imbalan dari masyarakat sebagai Amil zakat dan dipercaya untuk
mengelola wakaf. Penghulu dan Naib diberikan imbalan berupa 'srakah'
(iuran pernikahan) dan amil zakat, sedangkan para Modin mendapat
bagian dari srakah dan 'palagara' (imbalan atas undangan hajatan dari
penduduk desa). Namun, nantinya Kolonialisme Belanda lambat laun
mengubah fungsi-fungsi tersebut sehingga mengerdilkan peran Penghulu
Hakim hanya pada urusan agama terutamanya pernikahan, hingga seperti
Penghulu yang kita kenal sekarang ini. Hasil dari srakah, zakat dan
wakaf tidak lagi untuk membiayai pendidikan namun hanya untuk
kepentingan internal pemangku mesjid. Belanda juga semakin
serampangan dalam menunjuk orang untuk mengisi posisi dalam Mahkamah
Islam Tinggi, sehingga lama-lama dipegang oleh orang-orang yang tidak
ahli dalam bidang agama. Belanda menciptalan pembentukan sistem
peradilan baru tahun 1931 dengan menunjuk seorang Residen Kerajaan
Hindia Belanda untuk Kasultanan Yogyakarta sebagai Ketua Pengadilan
Perdata sampai dibentuk juga Pengadilan Gubernemen (Landraad). Selain
itu Mahkamah Kabirah sebagai mahkamah tinggi urusan agama Islam
dibatasi juga hanya mengurusi masalah nikah, talak, cerai dan Ketib
yang tadinya banyak melakukan pengajaran agama hanya dibolehkan
menjadi khatib dalam sholat jumat.
Darwis
menunaikan ibadah haji pada tahun 1883 sekaligus menimba ilmu agama
di tanah Hijaz (Mekkah) yang pada saat itu Muftinya (tokoh sentral)
adalah Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan yang merupakan mufti madzhab
Syafi'i. Pada masa itu di Mekkah ada juga beberapa ulama masyhur asal
Indonesia yang diakui kelimuannya, diantaranya Syeikh Imam Nawawi
Al-Bantani yang diberi gelar kehormatan Sayyid al Ulama Hijaz (karena
keilmuannya dibidang fikih, akidah, tasawuf telah teruji oleh ulama
senior Sayyid Ahmad Dimyati), Muhammad Khalil bin Kyai Abdul Lathif
dari Bangkalan dan Kyai Haji Saleh Darat yang lahir di Kedung
Cemlung, Jepara.
Dari
Imam Nawawi Al Bantani, Darwis mengambil ilmu dalam bidang moderasi
antara fikih dan tasawuf yang tertuang dalam karya Imam Nawawi
berjudul Salaalim al- Fudhaala. Contohnya dalam pandangan ilmu alam
lahir dan batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses
ta'alum (berguru) dan tadarus (belajar) sehingga mencapai derajat
'alim. Sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melalui proses dzikir,
muraqabah dan musyahadah sehingga tercapai derajat 'arif. Seorang
'abid (yang beribadah kepada Allah) diharapkan tidak hanya menjadi
'alim dengan pengetahuan ilmu lahir yang luas, tapi juga harus
menjadi 'arif memahami rahasia spiritual ilmu batin. Karya tersebut
memberikan pengaruh yang baik dalam memberikan pondasi nilai etis
dalam bermasyarakat dan beragama di masyarakat luas khususnya pada
masyarakat Jawa.
Ilmu
falak (ilmu yang mempelajari benda langit) yang dipelajari oleh
Darwis terinspirasi dari Syeikh Muhammad Saleh bin Umar as Samarani
(putera dari K.H saleh Darat). Beliau sangat tertarik dengan ilmu ini
karena lebih eksak dan rasional dan bisa langsung dipraktekan. Sesuai
dengan karakternya yang 'amaliyah wa 'amal 'ilmuiyah (ilmu untuk
dipraktekan dan praktek berdasarkan ilmu).
Disetiap
pilar-pilar Masjidil Haram, ada halaqah pelajaran. Dipilar lain,
Darwis menemui seorang Syeikh yang masih muda berumur 25 tahun,
beliau adalah Syeikh Ahmad Khatib al Minangkabawi. Ulama ulung di
bidang eksakta, baik matematika, geometri, trigonometri yang sangat
menunjang dalam penerapan ilmu falak. Karya Syeikh Khatib yang sangat
mumpuni di bidang falak berjudul Al Jauhar al naqiyah fi al A'mali al
jaibiyah (1885) semakin membuat Darwis kagum. Ada 3 pilar dalam ilmu
tersebut yaitu ar-ruyah (melihat), ar-rashd (mengamati) dan al-hisab
(menghitung). Ketiganya berfungsi untuk menentukan awal Ramadhan dan
Syawal, perjalanan matahari untuk menentukan waktu salat, gerhana
matahari & bulan. Sebagai ahli falak, Syeikh Ahmad Khatib juga
menjelaskan mengenai geometri dan trigonometri yang berfungsi untuk
menentukan arah kiblat, mengetahu rotasi bumi dan membuat kompas
untuk kapal yang sedang berlayar. Kajian dalam bidang ini dituangkan
dalam kitab berjudul Raudhah al Hussab fi A' mali 'ilm al Hisab
(Taman Pakar Hitung dalam Observasi Ilmu Hitung) yang selesai ditulis
tahun 1889.
Selama
di Mekkah, Darwis juga belajar ilmu qira'ah (membaca al-qur'an)
kepada Syeikh Muqri yang dikenal dengan nama Sayyid Bakri Syatha.
Disinilah Darwis bertemu dengan seorang anak kyai dari Jawa Timur.
Dialah Hasyim Asy'ari yang nantinya juga mendirikan salah satu
organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama. Haysim
dan Darwis tinggal dalam satu bilik sehingga mereka akrab dan saling
memahami. Sayyid Bakri Syatha kemudian memberikan nama Ahmad Dahlan
kepada Darwis. Sepulangnya di tanah air, Darwis mengubah namanya
menjadi Ahmad Dahlan.
Haji Ahmad Dahlan menikah dengan Siti Walidah, puteri dari Penghulu Hakim
Kraton Kyai Haji Fadhil. Mereka dikaruniai 7 anak. Bersama
istrinyalah beliau menghadapi rintangan dalam berdakwah. Saat kembali
ke Kampung Kauman, Ahmad Dahlan bekerja dengan membantu perdagangan
tekstil milik iparnya Haji Saleh. Ada perbedaan antara beliau dengan
iparnya yang memang sudah lama menekuni bisnis, sedangkan ia sendiri
menganggap berdagang hanya sebagai wasilah atau perantara jalan untuk
mengadakan dakwah. Sebab selama berdagang banyak menemui orang-orang
baru dan membuatnya lebih mengerti kehidupan keagamaan dari
masyarakat sekitar.
Sepeninggal
mendiang bapaknya, Haji Ahmad Dahlan diangkat menjadi Ketib Amin oleh
Penghulu Kyai Haji Khalil Kamaludiningrat, priyayi yang dituakan dan
terhormat di Kampung Kauman dan seluruh Yogyakarta. Jabatan Ketib Amin
juga merangkap sebagai anggota Raad agama islam yang menjadi rujukan
keraton. Pengangkatan itu juga sekaligus menjadikan beliau sebagai
Pegawai Negeri namun tidak mengubah sikapnya dalam bersikap kepada
orang banyak. Kegiatan belajar-mengajar warisan dari bapaknya tetap
dilanjutkan.
Hal
pertama yang mengganjal setelah menjadi Ketib Amin adalah persoalan
tentang petungan/perhitungan bulan puasa yang pada saat itu oleh pihak
keraton masih memakai metode hisab aboge -yang sudah diterapkan sejak
zaman Sultan Ageng- yang lebih mirip dengan hisab urfi.
Permasalahannya adalah dengan menggunakan metode aboge, bulan
ramadhan akan selalu menjadi 30 hari permanen setiap tahunnya.
Menurutnya, penanggalan bulan puasa sebaiknya menggunaan metode
falakiyah dengan memperhitungkan keberadaan bulan dan memperhatikan
wakti ijtima. Akhirnya gagasan tersebut disetujui oleh Sri Sultan.
Pada peringatan Grebeg Ruwah atau Nisfu Sya'ban, Sri Sultan
mengumumkan penetapan bulan puasa sesuai dengan pandangan K.H Ahmad
Dahlan. Sri Sultan tetap mentitahkan kepadanya bahwa perhitungan
aboge tetap dipakai untuk menentukan waktu kegiatan keagamaan yang
lain seperti Grebeg Maulid. Haji Ahmad Dahlan tidak masalah, sebab
menurutnya kegiatan tersebut lebih untuk tujuan syiar bukan syar'i
(syariat).
Hal
kedua yang mengganjal bagi haji Ahmad Dahlan adalah mengenai mesjid
yang tidak secara tepat menghadap ke kiblat. Kebanyakan masjid pada
waktu itu menghadap lurus ke barat atau bahkan ada yang menghadap ke
arah barat daya sebab jalan di depan mesjid membujur dari timur ke
barat laut. Pembangunan mesjid pada saat itu juga lebih menitik
beratkan pada tipologi Pembangunan Wilayah bukan pada ketentuan agama.
Hal inilah yang membuat mesjid di Pulau Jawa dan Yogyakarta khususnya
tidak menghadap ke kiblat. Tetap ada mesjid yang menghadap ke arah
kiblat dengan benar diantaranya adalah mesjid-mesjid kuno seperti
Mesjid agung Demak, Mesjid Ngampel Surabaya, Mesjid Panembahan
Senopati & Mesjid Pasar Gedhe Yogyakarta. Namun ini bukan perkara
mudah karena rawan menimbulkan gesekan karena dianggap bertentangan
dengan kebiasan umum yang berlaku pada waktu itu. Pada peringatan
Grebeg Asyura, Haji Ahmad Dahlan mengumumkan untuk memperluas langgar
yang biasa dipakai dalam rangka untuk menampung kapasitas jumlah
jamaah yang makin banyak. Selain memperluas langgar, bangunannya juga
akan ditunjukan langsung ke arah kiblat. Akhirnya para hadirin pun
setuju dan banyak diantaranya yang mendermakan sebagian uangnya untuk
pembangunan langgar.
Pasca
pendirian langgar yang menghadap ke kiblat dan diadakannya
munadzarah/majlis ilmu antar ulama, di Mesjid gedhe ada yang
menggariskan kapur melingtang dari utara ke selatan (tujuannya untuk
menunjukan arah kiblat yang tepat). Kyai Penghulu marah besar dengan
berita tersebut. Perbuatan tersebut diyakini akibat dari perundingan
yang diadakan oleh Haji Ahmad Dahlan. Akibatnya Langgar Kauman yang
sudah susah payah dibangun olehnya dirobohkan. Peristiwa ini sempat
membuat Haji Ahmad Dahlan ingin pergi meninggalkan Yogyakarta akibat
kecewa terhadap perbuatan masyarakat yang merbohkan langgar tersebut.
Haji
Ahmad Dahlan kemudian lebih banyak mengadakan aktivitas pengajaran
agama di rumahnya. Ia lebih banyak mengambil hikmah dari kejadian
tersebut dengan mengajar Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali.
Suatu saat Sultan HB VII ingin menghajikan (badal) pendahulunya
yakni Sultan HB VI kepadanya. Berangkatlah beliau bersama anak
lelakinya yang masih kecil bernama Siraj. Kondisi di Mekkah pada saat
itu sangat terasa gaung Pan-Islamisme yang diusung oleh Sultan Abdul
Hamid II sebagai respon dari Jamaluddin al-Afghani. Ada juga
pemikiran dari Muhammad Abduh yang sering dibaca oleh Haji Ahmad
Dahlan dari berbagai surat kabar. Namun ada juga pemikiran Muhammad
bin Abdul Wahab (Wahabisme) dari Najed yang ditolak oleh Mekkah di
bawah kepemimpinan Uman Pasya Wali Kekhalifahan Usmani.
Disatu
sisi, Haji Ahmad Dahlan tertarik dengan motto para pembaru tersebut
'Kembali kepada Alquran dan Sunnah'. Ini merupakan cakrawala baru
baginya. Ia nyaman dengan ide pembaruan tersebut, pikirannya menjadi
lebih terbuka dan tidak terkungkung pada nilai-nilai logis dalam
hidup ini. Menurutnya Islam adalah agama yang simple dan praktis.
Mekkah pada saat itu banyak juga praktek mistisme yang dilakukan
penduduknya, misal jamaah haji yang menciumi rumah peninggalan Rasul
di gang wangi dan peziarah di Ma'la yang bersusah payah menunggu
kuburan para sahabat dengan amalan yang diklaim dari wali. Malah ada
juga proyek penipuan yang dilakukan oleh oknum untuk mengeruk harta
benda jamaah haji dengan berpura-pura mengaku sebagai Syeikh Abdul
Qadir Jaelani atau dengan bentuk dan cara lain yang berbeda. Hal
itulah yang kemudian mengantarkannya lagi kepada Syeikh Ahmad Khatib
Al Minangkabawi yang merupakan seorang ahli falak dengan rasionalitas
saintis dan juga tidak menyukai ajaran mistis tanpa arah seperti itu.
Sepulangnya
dari Mekkah yang kedua kalinya. Haji Ahmad Dahlan mendirikan
'kombong'/asrama pesantren di samping rumahnya. Pemikirannya kini
lebih mengarah pada ide pemaharuan Islam. Diajarkannya kitab-kitab
karya Muhammad Abduh seperti Tafsir Al Manar, Risalah Attauhid,
sedangkan di bidang etika diajarkan kitab Zad Maad karya Ibnu Qayyim
dan Midaayah al Mujtahid karya Ibnu Taimiyah. Sayup semangat
nasionalisme juga Haji Ahmad Dahlan gaungkan seperti yang dilakukan
Muhammad Abduh.
Semakin
hari Haji Ahmad Dahlan semakin sibuk di pesantren miliknya.
Perjuangannya dilandasi semangat patriotisme dan nasionalisme untuk
mengembalikan 'izzah atau keluhuran kaum muslimin. Pada tahun 1907
santer terdengar kabar akan didirikannya organisasi pemuda
intelektual bernama Budi Oetomo (resmi didirikan tahun 1908) dari kalangan mahasiswa kedokteran
yang belajar di STOVIA. Haji Ahmad Dahlan meminta penjelasan dari
salah satu pengurus bernama Joyosumarto perihal organisasi tersebut.
Sebab baginya, dunia tentang nasionalisme dan modernitas adalah
sesuatu yang baru dan belum pernah disentuh. Selain itu dia juga
merasa lingkungan santri Kampung Kauman memerlukan pembaharuan demi
mengangkat harkat dan martabat kaum santri setelah sekian lama
tebelenggu rasa rendah diri yang sudah terlanjur menjalar di
pesantren. Dua dunia antara agama dan modernitas memunculkan anggapan
tersendiri dari masing-masing kelompok. Kalangan kaum pelajar ala
Belanda menganggap dunia kaum sarungan terbelakang, sedangkan kaum
santri menganggap kaum terpelajar adalah penghamba kafir Belanda.
Pemisahan
agama dalam kebudayaan keraton mengakibatkan penyebaran pemikiran
keagamaan kehilangan arah. Awal mula dilarangnya seorang sultan untuk
khotbah Jum'at menjadi awal hilangnya komunikasi keagamaan antara
rakyat dan raja. Ajaran Pangeran Mangkubumi tentang akhlak dan etika
menjadi bias, tercampur tak terarah dalam dunia mistisme. Etika Islam
yang sebelumnya sudah mendarah daging pada kebudayaan Jawa sedikit
demi sedikit tanpa disadari bergeser ke tatanan akidah. Sebenarnya di
dalam Islam juga ada mistisme yang hanya dalam ruang lingkup etika
dalam beragama, hal itu juga lambat laun bergeser ke ranah ritual
kepercayaan akidah. Suatu kemunduran yang menghalangi jalannya
perubahan.
Dua
sampai tiga kali Haji Ahmad Dahlan hadir di rapat pengurus Budi
Oetomo, sampai akhirnya beliau yakin untuk bergabung. Kini ia
memahami bahwa kaum terpelajar adalah orang-orang muslim yang utuh
dalam hal dunia. Sesuatu yang asing dalam benaknya. Interaksinya
dengan organisasi tersebut membuatnya menemukan suatu jalan yang bisa
mewujudkan cita-citanya. Dilain sisi, para anggota Budi Oetomo lain
juga mendapatkan pencerahan dari diskusi keagamaan yang dijelaskan
secara sederhana dan praktis dari Haji Ahmad Dahlan.
Diskusi
dan kajian keislaman yang dilakukan oleh Haji Ahmad Dahlan juga
dihadiri oleh para anggota yang menjadi guru di sekolah Goubernment
milik Belanda. Secara spontan Haji Ahmad Dahlan menginisiasi
diadakannya pelajaran agama di sekolah Kweekschool (Sekolah Raja)
bagi para siswa yang beragama Islam. Kemudian ide tersebut bisa
diterima oleh Hoofd Inspectuur sebagai otoritas tertinggi di
kepengurusan sekolah. Hal tersebut menjadi inspirasi bagi Haji Ahmad
Dahlan untuk mengembangkan pesantren miliknya. Ia memanggil tukang
kayu untuk membuat tiga set kursi dan meja. Pendopo depan disulap
menjadi sebuah ruang kelas. Lagi-lagi masyrakat kembali memandang
aneh Haji Ahmad Dahlan karena dianggap berlawanan dengan arus
kebiasaan pada saat itu. Kejadian masa lalu masih membekas dihatinya.
Awalnya
murid-murid sekolahnya itu hanya dihadiri oeh anak-anak dari keluarga
Haji Ahmad Dahlan sendiri yang berjumlah sembilan orang dan beliau
sendiri yang menjadi gurunya. Lama kelamaan jumlahnya bertambah.
Dibulan ketujuh, sekolah tersebut mendapat sumbangan guru dari
tamatan Kweekschool yang belum mendapat penempatan dari Goubernement.
Di sekolahnya, Haji Ahmad juga mengajarkan kesenian seperti lagu-lagu
Marhaban-marhaban, Jalil-jalil dan lagu-lagu burdah. Namun masyarakat
malah takut kalau haji Ahmad Dahlan sudah murtad, sekolahnya
menyeleweng dari ajaran Islam dan mengajar anak-anak untuk berpindah
agama.
Ada
saran dari calon guru Kweekschool supaya sekolah tersebut dijadikan
sebuah organisasi supaya keberlangsungannya bisa lebih terjamin,
tidak hanya bergantung kepada Haji Ahmad Dahlan seorang. Akhirnya
organisasi tersebut didirikan pada tanggal 18 November 1912 dinamakan
Muhammadiyah, diambil dari nabi panutan umat Islam. Penamahan ijah
-iyah- sebagai nisbah dimaksudkan barang siapa yang menjadi anggota
Muhammadiyah hendaknya dapat menyesuaikan diri pribadi Nabi Muhaamad
SAW. Pendirian organisasi tersebut sempat kembali mendapat
pertentangan dari M. Khalil Kamaludiningrat sebab dia salah membaca
surat permohonan Haji Ahmad Dahlan yang tertulis President organisasi
menjadi Resident. Pendirian Mohammadiyah pada nantinya akan
mempersempit jurang perpecahan antara muslimin dari kalangan santri
dan muslimin dan yang bukan santri.
Sepak
terjang Haji Ahmad Dahlan bersama Muhammadiyah begitu rasional.
Beliau mengikis takhayaul, bid'ad dan kurafat/chufarat (disingkat sendiri oleh beliau menjadi TBC).
Sebagaimana para gurunya Ahmad Khatib Minangkabawi, serta pengaruh
dari Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, ia merasa jenuh dengan kebudayaan
yang berada di luar nalar kemanusiaan dan prinsip ketuhanan dalam
Islam. Telah terjadi pergeseran nilai, semenjak para raja dilarang
berhaji dan tidak boleh mengadakan pertemuan umum yang membahas agama
bahkan juga tidak boleh khotbah jumat.
Islam
adalah akidah dan syariah yang dihiasi dengan etika atau akhlak.
Namun jadi bahaya kalau akhlak yang seharusnya tercermin dalam sikap
menjadi sebuah teori ketuhanan. Haji Ahmad Dahlan sebenarnya tidak
ingin menyalahi wacana fikih yang mengatakan kalau ziarah kubur
adalah sunnah. Namun Haji Ahmad Dahlan pernah menyerukan bahwa ziarah
kubur adalah kufur, syirik dan haram sehingga menggemparkan
masyarakat. Hal tersebut sebenarnya adalah upaya beliau untuk
mengembalikan nilai dan syariah pada tempatnya. Jika seseorang
mengedepankan akidah, syariat dan etika/akhlak sebelum fikih,
maka ziarah kubur hanyalah wacana etika/akhlak supaya manusia menjadi
lebih baik lagi terhadap Allah maupun hamba-Nya dalam mengingat kematian
itu pasti datang. Namun kalau keadaanya terbalik akibat keyakinan
yang keliru, orang akan terjebak dalam takhayul sehingga ada
anggapan orang sholeh yang mati seakan menjelma menjadi Tuhan,
sehingga manusia yang masih hidup menyandarkan ketakutan dan harapan.
Itu adalah kekufuran dan kesyirikan yang tidak bisa ditolerir dalam Islam dan hukumnya haram.
Aksi
nyata Muhammadiyah seperti banyak terinspirasi dan merupakan bentuk
pengejawantahan Surat Al-Maun. Haji Ahmad Dahlan pernah mengajak
murid dan santrinya untuk berkelling Pasar Beringharjo, Malioboro dan
alun-alun Yogyakarta. Banyak pengemis disekitar tempat itu. Ia
memerintahkan murid dan santrinya untuk membawa fakir miskin itu ke
Mesjid Gedhe, kemudian membagikan sabun, sandang & pangan untuk
mereka. Surat Al-Maun seperti sudah membumi dalam diri Haji Ahmad
Dahlan. Suatu saat ia pernah bertemu dengan seorang fakir yang tidak
memiliki pakaian untuk sholat. Tanpa pikir panjang, Haji Ahmad Dahlan
mengajak fakir tersebut untuk memilih pakaian yang dia suka di lemari
pakaiannya.
Pada
tanggal 17 Juni 1920 diadakan Sidang Istimewa Anggota Muhammadiyah
yang dihadiri oleh 200 orang anggota dan simpatisan. Haji Ahmad
Dahlan memimpin acara dan melantik para anak muda yang sudah
menjalankan aksinya. Malam itu dipaparkan rencana dari para ketua
empat bidang yang ada di organisasi, yaitu pertama Hoofd Bestuur
Muhammadiyah Bidang Sekolah diketuai oleh H.M Hisyam, kedua Hoofd
Bestuur Muhammadiyah Bidang Tabligh diketuai oleh H.M Fakhrudin,
ketiga Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bidang Penolong Kesengsaraan Oemoem
diketuai oleh H.M Syoedja dan Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bidang Taman
Pustaka diketuai oleh H.M Mokhtar.
Bidang
Sekolah akan memajukan pendidikan dan pengajaran dengan membangun
Universiteit Moehammadijah untuk mencetak sarjana-sarjana Islan dan
Guru Besar guna kepentingan umat Islam. Bagian Tabligh hendak
membangun langgar dan mesjid untuk tempat pengajian dan ibadah umat
Islam setempat, mendirikan pondok modern untuk mencetak ulama-ulama
yang ulung, sehingga cahaya Islam bisa menerangi alam semesta. Bagian
Taman Pustaka akan berusaha menyiarkan Islam dengan selebaran
cuma-cuma atau majalah bulanan baik yang cuma-cuma atau berlangganan,
buku-buku Islam yang ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami serta
membangun Taman Bacaan yang selain menyediakaan buku agama juga
menyediakan buku-buku pengetahuan yang bermanfaat dan tidak
bertentangan dengan Islam. Terakhir bagian Penolong Kesengsaraan
Oemoem akan mendirikan rumah sakit, rumah miskin dan rumah yatim.
Penjelasan itu menghebohkan hadirin dan mengundang gelak tawa dari
sebagaian hadirin. Sebab pada saat itu pembangunan rumah sakit, rumah
miskin (semacam panti) dan rumah yatim adalah tugas Pemerintah.
Keempat bidang tersebut sampai saat ini bisa kita lihat hasilnya
dengan banyaknya sekolah-sekolah Muhammadiyah dari tingkat taman kanak-kanak, SD, SMP dan SMA & Universitas Muhammadiyah yang ada di Jakarta,
Yogyakarta, Malang, Surakarta dll; banyaknya mesjid-mesjid yang
dikelola di bawah naungan organisasi Muhammadiyah dan pondok-pondok pesantren; lembaga berita
Suara Muhammadiyah yang dari media cetak kini beralih ke media
online; banyaknya Rumah Sakit PKU (Pembina Kesejahteraan Umat) Muhammadiyah atau Rumah Sakit Islam
yang kesemuanya tersebar di seluruh penjuru tanah air.
Di
usia senjanya, Haji Ahmad Dahlan masih terus berjuang bersama
Muhammadiyah meskipun kesehatannya terganggu. Meskipun dokter sudah
membatasi kegiatannya untuk beristirahat, tetap saja ada pengurus
yang datang karena undangan dari Haji Ahmad Dahlan sendiri yang ingin
menanyakan kegiatan apa saja yang sudah dijalankan dan yang belum
dijalankan. Akhirnya beliau merasa harus mendelegasikan tugasnya di
Muhammadiyah kepada keponakan dari istrinya bernama Baqir yang pada
saat itu berada di Mekkah untuk pulang ke Tanah Air dan meneruskan
perjuangannya. Namun Baqir belum bisa menerima apa yang dipercayakan
kepadanya dan tetap bertahan di Mekkah. Pada malam Sabtu tanggal 23
februari 1923, Haji Ahmad Dahlan menghembuskan nafas terakhirnya pada
usia 54 tahun. Jenazah beliau dimakamkan di Karangkajen, Kota
Yogyakarta.
Demikian
ringkasan biografi dari K.H Ahmad Dahlan. Buku ini ditulis oleh Didik
L. Hariri. Buku setebal 187 halaman ini selain menceritakan latar
belakang, silsilah dan perjalanan hidup Haji Ahmad Dahlan secara
garis besar, tapi juga menceritakan secara cukup rinci dan jelas
tentang poin-poin penting perjuangan dakwah dari sang pendiri
Muhamaadiyah, bagaimana perspektif, corak dan kontribusi dari
organisasi Muhammadiyah itu sendiri terhadap bangsa ini.