Kesalahan-Kesalahan dalam Parenting (Terkait Pendidikan Anak)
Tulisan ini gw tulis berdasarkan pengalaman pribadi dan bukan bermaksud untuk menyalahkan kedua orang tua yang sudah merawat dan membesarkan gw selama ini. Namun, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sesungguhnya memiliki pelajaran dan hikmah yang dapat diambil. Harapannya adalah ke depannya segala sesuatu dapat menjadi lebih baik.
Ok, gw mulai dari apa minat gw selama ini. Sejak dari belajar di bangku sekolah, sebenarnya gw lebih tertarik kepada hal-hal seperti negara, bagaimana suatu bentuk dan sistem pemerintahan berjalan, sejarah bagaimana suatu peristiwa terjadi entah itu cerita tentang perang dunia, bagaimana suatu negara meraih kemerdekaannya, penemuan-penemuan penting dalam peradaban manusia seperti radio, telepon, kereta api, listrik dsb, juga tentang bagaimana suatu negara bisa menjadi maju teknologinya hingga kemakmurannya. Indikasi-indikasi tersebut sebenarnya cenderung ke ilmu-ilmu sosial. Sayangnya, orang tua gw termasuk salah satu model old school yang mana punya perspektif kalau ga masuk ke ilmu-ilmu eksak itu ga bagus. Mereka juga memberikan stereostype seperti anak-anak IPS (dan juga dulu ada bahasa) itu anak-anak yang malas. Padahal sebenarnya kemampuan gw di IPA mungkin rata-rata aja. Cuma karena dorongan dari mereka seperti itu, akhirnya gw masuk jurusan IPA. Meskipuin secara nilai, mata pelajaran sosial gw jauh lebih tinggi. Orang tua gw menyarankan masuk IPA tanpa melihat perbandingan nilai antara mata pelajaran IPA dan IPS. Sebelumnya gw juga pernah konsultasi ke guru BK terkait hal ini. Bahkan hinga saat pembagian rapor kenaikan dari kelas 10 ke 11, si guru BK masih menuliskan nama gw ke penjurusan IPA/IPS.
Waktu masih SMA, masuk jurusan IPA mungkin masih bisa gw ikuti karena belum terlalu dalam ilmunya. Ibaratnya semua pelajaran-pelajaran IPA yaitu fisika, kimia dan biologi masih dipelajari kulit-kulitnya saja. Walaupun sebenarnya waktu itu udah mulai kerasa kalau gw tidak bisa menikmati apa yang namanya praktikum terutama kimia dan biologi. Kalau fisika malah lebih enjoy. Gw menjalani sekolah di jurusan IPA tanpa terlalu memiliki curiosity, hanya sekedar gugur kewajiban belajar dan mendapat nilai di sekolah.
Tibalah saat penentuan memilih jurusan di tingkat universitas. Lagi-lagi orang tua gw kembali menyarankan suatu jurusan yang tanpa melihat bagaimana diri gw sebenarnya (minat dan bakat) dan bahkan tanpa memperhatikan secara detil nilai-nilai di rapor. Mereka menyarankan jurusan farmasi dengan alasan 'jurusan kesehatan' saingannya tidak seberat di jurusan-jurusan lain karena lulusannya belum banyak alias belum jenuh. Mereka memang 'memberikan perbandingan' antara farmasi dan jurusan-jurusan lain, tetapi yang disampaikan terlalu mengglorifikasi farmasi dan cenderung mengecilkan jurusan-jurusan lain. Ada beberapa informasi juga yang 'pukul rata' misalnya jangan masuk teknik karena kamu ga bisa gambar, belakangan setelah kuliah gw baru tau kalau teknik yang wajib bisa mengambar seni itu hanya arsitektur, sementara teknik lainnya mungkin hanya menggambar teknik yang menggunakan aplikasi. Mereka juga bilang kalau gw ga bisa matematika karena ga teliti. Ini memang benar gw sedikit ga teliti, tapi kalau mau dilihat nilai matematika dan fisika gw lebih tinggi dibanding kimia yang jadi dasar farmasi. Sebenarnya waktu megikuti ujian masuk perguruan tinggi dengan menggunakan nilai rapor itu (Jalur Undangan), gw udah pengen pindah ke jurusan sosial yang jadi minat gw selama ini, cuma sayangnya sekolah gw melarang anak IPA buat milih jurusan IPS biar kesempatannya merata sesuai penjurusan masing-masing. Masing-masing jurusan yang dipilih per-universitaspun, sekolah juga menyarankan hanya untuk 1 anak supaya bisa memaksimalkan peluang karena statistik di sekolah gw itu 1 jurusan di universitas tersebut hanya menerima 1 anak saja.
Masuklah gw ke jurusan farmasi yang lebih membutuhkan kemampuan kimia dibanding matematika dan fisika di salah satu universitas negeri di Pulau Jawa. Akhirnya muncul apa yang tidak diharapkan, gw menjalani kuliah dengan sangat berat. Tanpa rasa penasaran terhadap ilmu tersebut dan hanya berdasarkan harapan yang sebenarnya semu bahwa jurusan tersebut menyediakan peluang lapangan kerja yang lebih besar serta persaingan yang lebih kecil dibanding jurusan lain karena jumlah lulusannya masih sedikit. Praktikum di awal-awal semester yang jauh lebih banyak waktunya dibanding perkuliahan di kelas membuat menjalani perkuliahan di farmasi menjadi sangat berat buat gw. Setelah gw ingat-ingat juga dari gw SMA praktikum kimia itu yang paling males gw ikutin karena bagi gw kimia itu lebih abstrak dibanding fisika. Kimia memang masih kategori ilmu eksak, tapi ada beberapa hal pengecualian. Ibarat bahasa, kimia itu lebih banyak kata kerja tidak beraturannya dibanding fisika. Alhasil nilai gw pas-pasan IPA baru mencapai 3 lebih sedikit di saat-saat terakhir di semester 7. Itupun dimana semester 7 sudah tidak ada praktikum sama sekali. Gw sengaja mengambil peminatan Farmasi Industri yang tidak ada praktikumnya sama sekali supaya bisa mengejar target IPA di atas 3. Hal itu terbukti menandakan bahwa kuliah tanpa praktikum, lebih membuat gw lebih fokus dan bisa mencapai hasil yang lebih baik. Namun, sayangnya selama gw kuliah, orang tua gw berpendapat gw males praktikum karena 'pengen santai-santai'. Padahal sebenarnya ketika kuliah tanpa banyak praktikum dan memiliki waktu luang lebih banyak, keadaan itu bisa dimanfaatkan dengan mengisi waktu dengan berorganisasi dan mengasah diri di kegiatan-kegiatan lain yang bermanfaat.
Selama gw kuliah di farmasi itu juga karena gw ga bisa menikmati, kesalahan gw adalah gw juga tidak terlalu banyak aktif di kegiatan organisasi dan sejenisnya. Selain karena memang gw sudah keteteran mengikuti jalannya perkuliahan, orang tua juga memiliki kendala finansial dan berharap gw bisa menyelesaikan kuliah tepat waktu untuk menghemat biaya. Padahal kuliah anak sarana kita untuk mengembangkan diri dan menggali potensi diri. Sangat disayangkan kalau kuliah hanya dilewatkan untuk belajar di dalam kelas. Faktanya juga, mereka -mereka yang setelah lulus dan bisa mengikuti program management trainee di perusahaan-perusahaan besar adalah mereka yang selama kulia sangat aktif dan memiliki pengalaman organisasi yang matang. Suatu hal yang tidak bisa gw capai selama kuliah karena berbagai hal-hal tadi. Faktanya juga, setelah gw lulus, jurusan farmasi-apoteker sudah mulai jenuh ditandai dengan diadakannya Uji Kompetensi Apoteker Indonesia (UKAI) yang apabila 2x gagal ujian, tidak bisa menjadi apoteker selamanya. Jangan berlindung dibalik kalimat 'kalau kuliah dijurusan tertentu, maka akan bersaing dengan lebih sedikit orang'. Kenyataannya segala sesuatu itu dinamis. Bisa jadi jurusan yang dulu memang masih dianggap sedikit lulusannya, di masa sekarang atau di masa depan sangat mungkin menjadi jenuh. Lagi juga, jika terlalu keteteran menjalani kuliahnya, kita malah tidak bisa menikmati dan mengasah diri yang nantinya akan membuat kita tidak memiliki nilai lebih dibanding lulusan yang lain, meskipun lulusan di jurusan tersebut termasuk 'masih sedikit'.
Terkait minat dan bakat sebenarnya memang ada 2 kutub ekstrem yang mana yang pertama memandang bahwa lebih baik pilih jurusan kuliah yang 'peluang kerjanya' lebih besar (meskipun tidak selalu benar) dan kedua pilih jurusan yang benar-benar sesuai minat. Alangkah baiknya memilih pertengahan diantara keduanya, sebab biar bagaimanapun terlalu berat menjalani kuliah malah akan membuat hasil menjadi tidak maksimal bahkan optimalpun tidak. Sementara yang satunya lagi, terlalu memilih yang sesuai keinginna, tapi lapangan kerja sesuai bidangnya sedikit juga tidak realistis. Mungkin poin yang kedua bisa dijadikan hobi saja.
Apapun itu, gw tidak menyesali apa gw alami dan lalui. Semua akan gw jadikan pelajaran buat anak gw nanti. Kesimpulannya adalah yang pertama sering-seringlah berdiskusi dengan anak. Dulu komunikasi dari orang tua gw ke gw bisa dibilang jelek. Tidak ada tradisi berdiskuis dalam mengambil suatu keputusan. Hal ini juga yang membuat gw merasa keputusan yang diambil bukan murni pilihan sendiri dan merasa setengah-setengah dalam tanggung-jawab atas keputusan yang diambil. Sebaiknya anak dilatih sedari kecil terkait hal-hal sederhana dalam budaya komunikasi berdiskusi & pengambilan keputusan seperti mau makan apa hari ini? Dan si anak setelah memilih apa yang menjadi pilihannya wajib bertanggung-jawab dengan menghabiskan makanan yang dia pesan atas pilihannya sendiri. Kedua, dalam konteks pendidikan apakah itu peminatan di tingkat menegah atas apalagi jurusan kuliah, lihatlah minat dan bakat si anak. Jangan jadikan anak sebagai ambisi masa lalu dari si orang tua. Bapak gw dulu pernah jadi marketing di salah satu perusahaan farmasi dan menurut pengalamannya orang-orang dengan background farmasi akan cepat naik di perusahaan farmasi dibanding yang bukan. Lihatlah bagaimana nilai si anak selama sekolah. Di mata pelajaran apa dia menonjol dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Sebab setelah menjalani perkuliahan yang berat nantinya, daya juang si anak salah satunya akan ditentukan dari bagaimana dia memandang hal tersebut, apakah sebagai hal yang membuatnya penasaran yang nantinya akan membuat dia terus berjuang secara maksimal untuk aktualisasi diri ataukah hanya sebagai beban dan sekedar gugur kewajiban. Ketiga, tugas orang tua bukan hanya di awal titik-titik krusial seperti saat pemilihan minat maupun jurusan melainkan juga mendampingi si anak baik itu dari sisi finansial maupun dukungan moril seperti menanyakan bagaimana kuliahnya dan apa rencana ke depannya yang akan diambil. Keempat, pendidikan formal melalui sekolah itu memang penting, tapi itu bukan satu-satunya. Banyak hal-hal di luar bangku ruang kelas yang juga akan bermanfaat nantinya misalnya dulu waktu SD gw pernah minta les bahasa arab, tapi jawaban orang tua gw, ga usah karena bahasa arab ga ada ujiannya di sekolah. Padahal hidup ini terlalu sempit kalau hanya menjadikan hasil ujian sebagai satu-satunya pegangangan. Salah satu hal yang menyadarkan gw adalah saat gw liat salah satu lowongan kerja sebagai apoteker di apotek di Arab Saudi yang mana salah satu syaratanya adalah bisa berbahasa arab yang ga didapat dari pelajaran formal di kelas. Hal-hal di luar kelas juga bahkan lebih berkontribusi terhadap kesuksesan seseorang seperti bagaimana orang tersebut berkomunikasi dengan orang lain, menyampaikan ide-idenya dan juga bagaimana kepemimpinannya yang bila dirinci lebih lanjut salah satu aspek kepemimpinan adalah cara mempengaruhi orang lain dengan kata lain bagaimana dia memberikan instruksi ke orang lain misalnya bawahannya yang mungkin umurnya lebih tua darinya dsb. Hal-hal tersebut seringnya malah memiliki impact atau pengaruh yang lebih besar dalam karir seseorang.
Comments
Post a Comment