Sunday, May 3, 2020

Sinopsis dan Review Film Bumi Manusia (2019)





Bumi Manusia merupakan film garapan sutradara Hanung Bramantyo dan diprofuksi oleh Falcon Pictures ini diangkat dari novel sastra fiksi karya besar dari Pramoedya Ananta Toer. Film ini masih seputar tentang zaman kolonial, tentang bagaimana nasib bangsa Indonesia di Hindia Belanda yang dalam film ini sering sekali disebut sebagai pribumi (ingat, bicara pribumi dalam konteks era penjajahan bukan berarti rasis!) yang pada saat itu mulai mengenal pendidikan sebagai bagian dari Politik Etis balas budi Belanda setelah tanam paksa dicabut. Kaum pribumi priyai pada saat itu jawa khususnya baru mengenal apa itu istilah modern, kemajuan dan teknologi. Terbius bujuk rayu pengetahuan dan pemikiran Eropa. Sampai terlena lupa jatidirinya sendiri sebagai pribumi. Bangsa yang berada di bawah Belanda dan Indo yang menjadi tamu di negeri moyangnya sendiri. Tapi dibentuk untuk mengagumi bangsa, pendidikan dan gaya hidup Eropa. Pemeran utamanya adalah Iqbaal Ramadhan sebagai Minke seorang pribumi priyayi anak dari Bupati Bodjonegoro di Jawa Timur dan Mawar de Jongh sebagai Annelis Mellema seorang campuran (Indo) dari bapak Belanda dan ibu pribumi rakyat jelata bernama Ontosoroh/Sanikem. Film ini hampir sebagian besar menggunakan bahasa Belanda jadi ada terjemahan hampir disepanjang film. Semua pemeran banyak menampilkan adegan percakapan dalam bahasa Belanda. Gue sebagai orang yang cukup tertarik dengan dunia linguistik termasuk bahasa Belanda (karena suka sama sejarah di Indonesia khususnya) menilai, bahasa Belanda para pemain di film itu lumayan bagus juga kedengerannya cukup fasih, aksennya dapet. Selebihnya dialog film menggunakan bahasa Jawa, Melayu/Indonesia, ada bahasa Madura dari Darsam kusir keluarga Mellema dan juga ada sedikit bahasa Perancis dari Jean Marais, seorang pelukis asal Perancis yang menjadi sahabat Minke dan selalu ada pertama kali saat dia sedang berada dalam masalah. Banyak petuah-petuahnya yang selalu diingat oleh Minke seperti ‘Cinta itu indah, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya’, ‘Belajarlah berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan’. Ok, langsung aja masuk ke ceritanya.

Minke yang bernama asli Raden Mas Tirto Adhie bersekolah di HBS (Hogere Burger School) Surabaya, sekolah setingkat sekolah menengah di zaman kolonial Belanda untuk anak-anak Belanda totok (murni kedua orang tuanya Belanda), Indo (campuran, seperti yang dijelaskan tadi, meskipun si ibu yang pribumi biasanya menyandang stigma negatif dimasyarakat sebagai ‘gundhik’ atau wanita simpanan dengan panggilan Nyai karena si pria Belanda tidak menikahinya secara resmi dimata hukum dan masih memiliki istri sahnya di negeri Belanda), anak pribumi yang diangkat anak oleh pendeta atau pastur Belanda dan yang terakhir, sekolah ini untuk pribumi yang masih keturunan priyayi ningrat dimana orang tuanya adalah pejabat seperti bupati misalnya. Seragam sekolahnya pun dibedakan. Belanda totok dan Indo memakai setelan jas dan celana panjang seperti kebanyakan pakaian orang-orang Belanda waktu itu, sementara pribumi mengenakan pakaian jawa berupa blangkon dan bawahan kain batik. Nama Minke sendiri didapatkan Tiro ketika ia masih bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) semacam sekolah tingkat dasar yang juga khusus bagi kalangan tertentu. Suatu hari dia tidak membawa buku dan gurunya menanyakan ‘waar is jej boek?’ dimana bukumu?. Tirto ketakutan, tapi teman perempuan disampingnya malah menyubit lengannya sehingga dia berteriak keras. Si guru Belanda yang kagetpun refleks berkata Monkey dalam Bahasa Inggris yang artinya monyet. Sehingga teman-temannya sampai sekarang memanggilnya Minke. Memang pada saat itu Belanda sangat merendahkan orang pribumi dengan ejekan monyet bahkan mereka yang masih keturunan ningrat tidak luput dari hinaan tersebut. ELS dan HBS ini kalo di dunia nyata dulu sekolahnya Bung Karno. Sang proklamator sekolah ELS di Mojokerto kemudian melanjutkan ke HBS di Surabaya.

Minke punya seorang teman bernama Suurhof seorang Indo yang sangat terobsesi dengan Eropa bahkan tidak mengakui bahwa di dalam dirinya  terdapat darah pribumi. Di bagian awal film, ada adegan dimana Suurhof ingin mengajak Minke untuk pergi keliling kota. Saat masuk ke dalam kamar Minke, Suurhof menemukan novel Max Havelaar ada di atas kasur. Nantinya menjelang puncak konflik film, Minke menggunakan nama pena Max Tonellar, ceritanya dia terinspirasi dengan Multatuli alias Eduard Douwes Dekker yang menulis novel Max Havelaar untuk mengkritik penindasasn penjajah kolonial Belanda terhadap Bangsa Indonesia. Saat pergi berjalan-jalan di tengah kota itu, Suurhof mengajak Minke untuk menemaninya ke rumah Annelis Mellema di Wonokromo, seorang gadis Indo yang sebenarnya ditaksir oleh Suurhof tapi dia tidak mengakuinya dengan dalih dia hanya menyukai gadis berdarah Belanda murni dan hanya ingin pergi berburu dengan Robert Mellema, kakak Annelis. Robert memiliki sifat yang sebelas-duabelas dengan Suurhof yaitu sangat terobsesi dengan Eropa dan memandang rendah pribumi. Bahkan Robert sama sekali tidak menghormati Ontosoroh ibunya sendiri karena berasal dari kalangan pribumi. Disitulah menjadi awal pertemuan Minke dan Annelis dan kemudian mereka saling jatuh hati. Minke pun akhirnya ‘tidur’ bersama Annelis. Ontosoroh yang mengetahui kejadian itu biasa saja. Sebab, dia melihat antara Minke dan Annelis ada cinta yang tulus. Berbeda dengan yang terjadi antara dirinya dengan Herman Mellema. Dimana, Ontosoroh ‘dijual’ oleh ayahnya sendiri untuk magang/bekerja di rumah Herman dan kemudian dijadikan ‘gundhik’. Namun setelahnya, Ontosoroh belajar banyak hal dari Herman, mereka sempat bahagia. Hingga diapun sanggup mengurus jalannya perusahaan susu milik suaminya itu. Hanya satu yang tidak pernah didapatkan, yaitu dinikahi secara sah.

Minke yang sedang kasmaran dengan Annelis lupa mengabari orang tunya tentang sekolahnya dan bahkan lupa bahwa bapaknya sebentar lagi akan dilantik menjadi Bupati. Hingga akhirnya dia dipaksa pulang ke Bodjonegoro. Bapaknya marah-marah setelah kakak Minke membuka kopernya dan mengetahui buku harian Minke dimana dia banyak menulis tentang Nyai. Minke pun dianggap sudah sangat Eropa sekali dan lupa akan Jawanya. Disitu dia minta maaf kepada ibunya bahwa dia tidak seperti yang disangka. Dunianya bukanlah Eropa, melainkan duniannya adalah ‘bumi manusia berserta permasalahannya’. Akhirnya bapaknya memintanya untuk menjadi penerjemah dari bahasa Jawa Kromo ke bahasa Belanda. Dalam ‘pidato pelantikan’ itu si Bupati mengagung-agungkan bangsa Eropa dengan mengatakan kaum pribumi menjadi terangkat derajatnya karena kehadiran mereka di Nusantara. Minke yang menjadi penerjemah tidak begitu saja menerjemahkan bulat-bulat apa yang dikatakan oleh bapaknya. Dia malah mengatakan bahwa derajad Nusantara sudah tinggi terbukti dengan sumber daya alamnya yang berhasil menarik perhatian dan kedatangan bangsa-bangsa Eropa kesini. Sehingga sesungguhnya pribumi sama tinggi dan setara derajatnya dengan bangsa kulit putih. Para hadirin termasuk Asisten Residen juga memberikan applause kepada Minke. Kemudian mengundangnya untuk ke rumahnya, dimana anak perempuan si Asisten Residen yang pastinya seorang Belanda totok jatuh hati juga kepada Minke.

Keluarga Annelis sebenarnya sangat tidak harmonis. Hal itu dimulai saat ayahnya, Herman Mellema yang merupakan seorang Belanda pemilik perusahaan susu ‘Mellema-Melk’, didatangi oleh Maurits Mellema yang datang jauh dari negeri Belanda. Ia adalah anaknya bersama dengan wanita Belanda bernama Amelia Mellema-Hammers yang saat itu masih tinggal di Belanda dan belum dicerai secara sah. Maurits mengatakan kepada Herman bahwa dia adalah seorang pengecut karena sudah meninggalkan ibunya dan malah menuduh ibunya telah berselingkuh. Ibunya juga harus pontang-panting membesarkannya setelah ditinggal pergi Herman. Di adegan ini, Herman mengatakan bahwa dia ingin cerai, tapi silahkan Amelia yang datang menggugat kepengadilan karena jika Herma yang mengguat lebih dulu, makan Amelia akan kehilangan haknya atas perusahaan susunya di Negeri Belanda (Padahal nanti di akhir film pasca kasus pembunuhan Robert Mellema sudah selesai, tiba-tiba Putusan Pengadilan dari Amsterdam mengatakan bahwa Amelia sudah menggugat cerai dan Herman mengabulkannya). Disitu Ontosoroh coba melerai. Terlihat Ontosoroh berbicara dalam bahasa Belanda kepada Maurits, tapi Maurits membalas dalam bahasa Jawa/Indonesia. Ternyata orang-orang Belanda di zaman itu tidak mau menggunakan bahasa Belanda kepada pribumi sekalipun si pribumi itu bisa bicara bahasa Belanda. Mereka lebih memilih berkomunikasi dengan bahasa Jawa atau Melayu (Indonesia). Ada adegan lain juga di akhir film saat dipengadilan juga seperti itu, hakim melarang Ontosoroh yang menjawab pertanyaan dalam bahasa Belanda dan membentaknya untuk hanya menjawab ‘pakai bahasamu’.

Semenjak kedatangan Maurits, Herman menjadi berubah, dia sering mabuk-mabukan dan pergi ke rumah pelacuran yang dimiliki oleh seorang Tionghoa bernama Ah Tjong. Kalau dulu gue pernah denger dari sejarawan Asep Hambali waktu acara menginap di Museum Bahari, dia bilang prostitusi dibawa masuk ke Indonesia memang oleh warga Tionghoa yang datang dari Tiongkok, sehingga di film ini juga digambarkan pemiliki rumah pemilik rumah pelacuran itu adalah Ah Tjong, meskipun wanita pekerja seksnya digambarkan berasal dari Jepang. Keadaan itumembuat Anneis tertekan secara psikologis. Bahkan saat Minke pertama kali ‘tidur’ dengan Annelis ternyata dia menyadari bahwa dia bukanlah laki-laki pertama yang melakukannya. Melainkan si Robert kakak kandung Annelis sendiri yang telah memperkosanya. Hal itu semakin membuat psikologis Annelis semakin tertekan ditengah kondisi keluarganya yang sudah tidak harmonis. Dokter Martinet yang sudah lama menjadi dokter keluarga Mellema mengetahui hal itu dan meminta Minke untuk menikahi Annelis karena hanya dia yang bisa meringankan beban Annelis yang sudah begitu berat.

Ditempat pelacuran ini jugalah Herman Mellema ditemukan tewas diracun dan Robert Mellema ternyata juga ada disitu dan kemudian hilang. Saat tewasnya Herman, Ontosoroh, Annelis dan Minke berada di lokasi kejadian karena sebenarnya mereka sedang megejar Gendut Sipit yang sedang memata-matai Minke untuk membunuhnya atas perintah dari Robert. Saat persidangan itulah, tulisan-tulisan Minke dengan nama pena Max Tonelaar mulai dimuat di SN/VD dengan bantuan seorang Belanda bernama Maarten Nijman yang bersimpati kepadanya. Orang Belanda itu juga meminta tolong kepada seorang Indo bernama Kommers (yang diperankan Christian Sugiono) untuk menerjemahkan artikel-artikel ke dalam bahasa Melayu supaya bisa dimengerti oleh masyarakat luas. Nijman melihat, meskipun Nyai seorang pribumi, tapi dia tetap butuh perlindungan hukum. Dari situlah kesadaran masyakarat di Hindia Belanda terbuka tentang hukum yang selama ini tidak adil. Konflik pembunuhan mengerucut menjadi antara Eropa vs Pribumi. Singkat cerita, mereka terbebas dari tuduhan pengadilan karena ada salah satu pelacur bernama Meiko yang secara terbuka mengatakan bahwa memang dia yang membunuh Herman dengan racun yang diberikan oleh Ah Tjong (tidak jelas apa motifnya).

Cerita filmnya belum berhenti disitu. Meskipun pembunuhnya sudah diketahui dan mereka bertiga bebas dari tuduhan pembunuhan, Maurits yang sama sekali tidak menginjakan kaki di tanah Jawa, ingin mengambil alih semua aset perusahaan susu milik Herman beserta hak asuh Annelis yang masih di bawah umur. Putusan Pengadilan di Amsterdam secara tiba-tiba mengatakan bahwa Amelia sudah menggugat cerai dan Herman mengabulkannya, sehingga atas dasar itu Amelia dan Maurits adalah ahli waris yang sah dari mendiang Herman. Minke dan Ontosoroh merasa ini dimanipulasi dan sangat tidak adil. Mereka bertekad untuk bersuara dan melawan hukum yang tidak adil itu. Saat itu Minke dan Annelis sebenarnya sudah menjadi suami istri, mereka berusaha mengajukan berkas dokumen pernikahan dari Mahkamah Agama, tapi ternyata putusan Mahkamah Agama untuk pribumi dianggap omong kosong dan tidak berlaku dimata Pengadilan Kolonial Belanda. Annelis tetap harus diangkut pulang ke negeri Belanda. Saking kesalnya, Mingke sampai meneriakan kata monyet kepada para hakim Belanda tersebut. Bahkan nantinya antara Minke dan Ontosoroh sama sekali tidak bisa menemani mereka kesana bahkan tidak bisa hanya untuk mengantarkan ke pelabuhan. Akhirnya Minke meminta tolong kepada Jan Dapperste/Pandji Darman seorang pribumi tapi sudah diangkat anak oleh seorang pendeta Belanda sehingga memenuhi syarat untuk menemani Annelis sampai ke Belanda. Pandji Darma sendiri menceburkan diri ke laut saat kedua orang tuanya hendak membawanya ke Belanda (versi novel ke Dutch West Indies atau Suriname, jajahan Belanda di benua Amerika). Akhir cerita, Minke dan Annelis harus terpisah karena perlakuan hukum kolonial yang sangat tidak adil kepada pribumi. Diakhiri dengan adegan Minke dan Ontosorh menangis berpelukan sambil berdiri. Meskipun kalah, tapi mereka merasa kalah secara terhormat. The End...

Bumi Manusia ini endingnya mirip dengan Max Havelaar dimana bangsa Indonesia atau pun mereka yang bersimpati kepada bangsa ini masih belum bisa menang. Kalah oleh hukum kolonial yang begitu beringas dan tidak berperikemanusiaan. Bedanya jika dilihat dari setting waktunya, Hax Havelaar mengambil waktu yang lebih dulu saat masa-masa tanam paksa atau cultuur stelsel) sekitar tahun 1810) dimana kesadaran kritik terhadap penjajahan itu masih muncul dari kalangan Belanda itu sendiri, sedangkan novel atau film Bumi manusia mengambil setting waktu saat masa Politik Etis balas budi (sekitar tahun 1900an awal) sehingga mulai muncul tokoh-tokoh dari orang pribumi khususnya kalangan ningrat yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan (walaupun kesempatannya tetap lebih kecil dibanding anak-anak Belanda atau campuran) dan pada akhirnya memiliki kesadaran atas nasib bangsanya sendiri.


Catatan tambahan:
Film ini secara keseluruhan bagus, mulai dari pemilihan pemain dimana untuk karakter Indo bener-bener dicari pemain yang punya keturunan Belanda atau Jerman. Sama seperti film Hollywood misal Aladdin, latarnya di Timur Tengah, pemain-pemainnya sendiri banyak yang keturunan Arab, Iran dan India. Bahkan kadang untuk film animasi aja yang Cuma dubbing kadang pengisi suaranya juga menyesuaikan asal dari film itu kayak misal film kartun Coco dari Disney tentang ofrenda, hari kematian budaya latin meksiko yang jadi warisan dunia, pengisi suaranya artis-artis yang punya darah Hispanic (keturunan Spanyol). Breadwinner juga gitu, tentang kehidupan rakyat Afghanistan di bawah Taliban, pengisi suaranya artis-artis Kanada yang masih punya darah keturunan Afghanistan. Tidak lain dan tidak bukan hal itu dilakukan untuk member soul tersendiri dalam film tersebut. Hal yang biasa dalam film. Kemudian acting pemain udah ga diragukan lagi, property, bahasa di dalam film itu dapet semua. Berhasil membawa penonton seolah balik ke zaman kolonial dulu, tapi karakter Iqbaal Ramadhan ex Coboy Junior ini imagenya udah terlanjur kuat sebagai Dilan di film dengan judul yang sama yaitu, Dilan sebagai bad boy yang bergaya hidup ngepop. Sangat berbanding terbalik dengan karakter Raden Mas Tirto Adhie alias Minke di dalam film Bumi Manusia ini yang mana digambarkan serius, intelek dan jauh dari kesan bad boy itu tadi.



Karakter-karakter dalam film untuk lebih jelasnya:

No comments:

Post a Comment