Bumi Manusia merupakan film garapan
sutradara Hanung Bramantyo dan diprofuksi oleh Falcon Pictures ini diangkat
dari novel sastra fiksi karya besar dari Pramoedya Ananta Toer. Film ini masih
seputar tentang zaman kolonial, tentang bagaimana nasib bangsa Indonesia di
Hindia Belanda yang dalam film ini sering sekali disebut sebagai pribumi
(ingat, bicara pribumi dalam konteks era penjajahan bukan berarti rasis!) yang
pada saat itu mulai mengenal pendidikan sebagai bagian dari Politik Etis balas
budi Belanda setelah tanam paksa dicabut. Kaum pribumi priyai pada saat itu
jawa khususnya baru mengenal apa itu istilah modern, kemajuan dan teknologi.
Terbius bujuk rayu pengetahuan dan pemikiran Eropa. Sampai terlena lupa
jatidirinya sendiri sebagai pribumi. Bangsa yang berada di bawah Belanda dan
Indo yang menjadi tamu di negeri moyangnya sendiri. Tapi dibentuk untuk
mengagumi bangsa, pendidikan dan gaya hidup Eropa. Pemeran utamanya adalah
Iqbaal Ramadhan sebagai Minke seorang pribumi priyayi anak dari Bupati
Bodjonegoro di Jawa Timur dan Mawar de Jongh sebagai Annelis Mellema seorang
campuran (Indo) dari bapak Belanda dan ibu pribumi rakyat jelata bernama
Ontosoroh/Sanikem. Film ini hampir sebagian besar menggunakan bahasa Belanda
jadi ada terjemahan hampir disepanjang film. Semua pemeran banyak menampilkan
adegan percakapan dalam bahasa Belanda. Gue sebagai orang yang cukup tertarik
dengan dunia linguistik termasuk bahasa Belanda (karena suka sama sejarah di
Indonesia khususnya) menilai, bahasa Belanda para pemain di film itu lumayan
bagus juga kedengerannya cukup fasih, aksennya dapet. Selebihnya dialog film
menggunakan bahasa Jawa, Melayu/Indonesia, ada bahasa Madura dari Darsam kusir
keluarga Mellema dan juga ada sedikit bahasa Perancis dari Jean Marais, seorang
pelukis asal Perancis yang menjadi sahabat Minke dan selalu ada pertama kali
saat dia sedang berada dalam masalah. Banyak petuah-petuahnya yang selalu
diingat oleh Minke seperti ‘Cinta itu indah, juga kebinasaan yang mungkin
membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya’, ‘Belajarlah berlaku
adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan’. Ok, langsung aja masuk ke
ceritanya.
Minke yang bernama asli Raden Mas
Tirto Adhie bersekolah di HBS (Hogere Burger School) Surabaya, sekolah
setingkat sekolah menengah di zaman kolonial Belanda untuk anak-anak Belanda
totok (murni kedua orang tuanya Belanda), Indo (campuran, seperti yang
dijelaskan tadi, meskipun si ibu yang pribumi biasanya menyandang stigma negatif
dimasyarakat sebagai ‘gundhik’ atau wanita simpanan dengan panggilan Nyai
karena si pria Belanda tidak menikahinya secara resmi dimata hukum dan masih
memiliki istri sahnya di negeri Belanda), anak pribumi yang diangkat anak oleh
pendeta atau pastur Belanda dan yang terakhir, sekolah ini untuk pribumi yang
masih keturunan priyayi ningrat dimana orang tuanya adalah pejabat seperti
bupati misalnya. Seragam sekolahnya pun dibedakan. Belanda totok dan Indo
memakai setelan jas dan celana panjang seperti kebanyakan pakaian orang-orang
Belanda waktu itu, sementara pribumi mengenakan pakaian jawa berupa blangkon
dan bawahan kain batik. Nama Minke sendiri didapatkan Tiro ketika ia masih
bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) semacam sekolah tingkat dasar
yang juga khusus bagi kalangan tertentu. Suatu hari dia tidak membawa buku dan
gurunya menanyakan ‘waar is jej boek?’ dimana bukumu?. Tirto ketakutan, tapi
teman perempuan disampingnya malah menyubit lengannya sehingga dia berteriak
keras. Si guru Belanda yang kagetpun refleks berkata Monkey dalam Bahasa
Inggris yang artinya monyet. Sehingga teman-temannya sampai sekarang
memanggilnya Minke. Memang pada saat itu Belanda sangat merendahkan orang
pribumi dengan ejekan monyet bahkan mereka yang masih keturunan ningrat tidak
luput dari hinaan tersebut. ELS dan HBS ini kalo di dunia nyata dulu sekolahnya
Bung Karno. Sang proklamator sekolah ELS di Mojokerto kemudian melanjutkan ke
HBS di Surabaya.
Minke
punya seorang teman bernama Suurhof seorang Indo yang sangat terobsesi dengan
Eropa bahkan tidak mengakui bahwa di dalam dirinya terdapat darah pribumi. Di bagian awal film,
ada adegan dimana Suurhof ingin mengajak Minke untuk pergi keliling kota. Saat
masuk ke dalam kamar Minke, Suurhof menemukan novel Max Havelaar ada di atas
kasur. Nantinya menjelang puncak konflik film, Minke menggunakan nama pena Max
Tonellar, ceritanya dia terinspirasi dengan Multatuli alias Eduard Douwes
Dekker yang menulis novel Max Havelaar untuk mengkritik penindasasn penjajah
kolonial Belanda terhadap Bangsa Indonesia. Saat pergi berjalan-jalan di tengah
kota itu, Suurhof mengajak Minke untuk menemaninya ke rumah Annelis Mellema di
Wonokromo, seorang gadis Indo yang sebenarnya ditaksir oleh Suurhof tapi dia
tidak mengakuinya dengan dalih dia hanya menyukai gadis berdarah Belanda murni
dan hanya ingin pergi berburu dengan Robert Mellema, kakak Annelis. Robert
memiliki sifat yang sebelas-duabelas dengan Suurhof yaitu sangat terobsesi
dengan Eropa dan memandang rendah pribumi. Bahkan Robert sama sekali tidak
menghormati Ontosoroh ibunya sendiri karena berasal dari kalangan pribumi.
Disitulah menjadi awal pertemuan Minke dan Annelis dan kemudian mereka saling
jatuh hati. Minke pun akhirnya ‘tidur’ bersama Annelis. Ontosoroh yang
mengetahui kejadian itu biasa saja. Sebab, dia melihat antara Minke dan Annelis
ada cinta yang tulus. Berbeda dengan yang terjadi antara dirinya dengan Herman
Mellema. Dimana, Ontosoroh ‘dijual’ oleh ayahnya sendiri untuk magang/bekerja
di rumah Herman dan kemudian dijadikan ‘gundhik’. Namun setelahnya, Ontosoroh
belajar banyak hal dari Herman, mereka sempat bahagia. Hingga diapun sanggup
mengurus jalannya perusahaan susu milik suaminya itu. Hanya satu yang tidak
pernah didapatkan, yaitu dinikahi secara sah.
Minke
yang sedang kasmaran dengan Annelis lupa mengabari orang tunya tentang
sekolahnya dan bahkan lupa bahwa bapaknya sebentar lagi akan dilantik menjadi
Bupati. Hingga akhirnya dia dipaksa pulang ke Bodjonegoro. Bapaknya marah-marah
setelah kakak Minke membuka kopernya dan mengetahui buku harian Minke dimana
dia banyak menulis tentang Nyai. Minke pun dianggap sudah sangat Eropa sekali
dan lupa akan Jawanya. Disitu dia minta maaf kepada ibunya bahwa dia tidak
seperti yang disangka. Dunianya bukanlah Eropa, melainkan duniannya adalah
‘bumi manusia berserta permasalahannya’. Akhirnya bapaknya memintanya untuk
menjadi penerjemah dari bahasa Jawa Kromo ke bahasa Belanda. Dalam ‘pidato
pelantikan’ itu si Bupati mengagung-agungkan bangsa Eropa dengan mengatakan
kaum pribumi menjadi terangkat derajatnya karena kehadiran mereka di Nusantara.
Minke yang menjadi penerjemah tidak begitu saja menerjemahkan bulat-bulat apa
yang dikatakan oleh bapaknya. Dia malah mengatakan bahwa derajad Nusantara
sudah tinggi terbukti dengan sumber daya alamnya yang berhasil menarik
perhatian dan kedatangan bangsa-bangsa Eropa kesini. Sehingga sesungguhnya
pribumi sama tinggi dan setara derajatnya dengan bangsa kulit putih. Para
hadirin termasuk Asisten Residen juga memberikan applause kepada Minke.
Kemudian mengundangnya untuk ke rumahnya, dimana anak perempuan si Asisten
Residen yang pastinya seorang Belanda totok jatuh hati juga kepada Minke.
Keluarga
Annelis sebenarnya sangat tidak harmonis. Hal itu dimulai saat ayahnya, Herman
Mellema yang merupakan seorang Belanda pemilik perusahaan susu ‘Mellema-Melk’,
didatangi oleh Maurits Mellema yang datang jauh dari negeri Belanda. Ia adalah
anaknya bersama dengan wanita Belanda bernama Amelia Mellema-Hammers yang saat
itu masih tinggal di Belanda dan belum dicerai secara sah. Maurits mengatakan
kepada Herman bahwa dia adalah seorang pengecut karena sudah meninggalkan
ibunya dan malah menuduh ibunya telah berselingkuh. Ibunya juga harus
pontang-panting membesarkannya setelah ditinggal pergi Herman. Di adegan ini,
Herman mengatakan bahwa dia ingin cerai, tapi silahkan Amelia yang datang
menggugat kepengadilan karena jika Herma yang mengguat lebih dulu, makan Amelia
akan kehilangan haknya atas perusahaan susunya di Negeri Belanda (Padahal nanti
di akhir film pasca kasus pembunuhan Robert Mellema sudah selesai, tiba-tiba
Putusan Pengadilan dari Amsterdam mengatakan bahwa Amelia sudah menggugat cerai
dan Herman mengabulkannya). Disitu Ontosoroh coba melerai. Terlihat Ontosoroh
berbicara dalam bahasa Belanda kepada Maurits, tapi Maurits membalas dalam
bahasa Jawa/Indonesia. Ternyata orang-orang Belanda di zaman itu tidak mau
menggunakan bahasa Belanda kepada pribumi sekalipun si pribumi itu bisa bicara
bahasa Belanda. Mereka lebih memilih berkomunikasi dengan bahasa Jawa atau
Melayu (Indonesia). Ada adegan lain juga di akhir film saat dipengadilan juga
seperti itu, hakim melarang Ontosoroh yang menjawab pertanyaan dalam bahasa
Belanda dan membentaknya untuk hanya menjawab ‘pakai bahasamu’.
Semenjak
kedatangan Maurits, Herman menjadi berubah, dia sering mabuk-mabukan dan pergi
ke rumah pelacuran yang dimiliki oleh seorang Tionghoa bernama Ah Tjong. Kalau
dulu gue pernah denger dari sejarawan Asep Hambali waktu acara menginap di
Museum Bahari, dia bilang prostitusi dibawa masuk ke Indonesia memang oleh
warga Tionghoa yang datang dari Tiongkok, sehingga di film ini juga digambarkan
pemiliki rumah pemilik rumah pelacuran itu adalah Ah Tjong, meskipun wanita
pekerja seksnya digambarkan berasal dari Jepang. Keadaan itumembuat Anneis
tertekan secara psikologis. Bahkan saat Minke pertama kali ‘tidur’ dengan
Annelis ternyata dia menyadari bahwa dia bukanlah laki-laki pertama yang
melakukannya. Melainkan si Robert kakak kandung Annelis sendiri yang telah memperkosanya. Hal itu
semakin membuat psikologis Annelis semakin tertekan ditengah kondisi
keluarganya yang sudah tidak harmonis. Dokter Martinet yang sudah lama menjadi
dokter keluarga Mellema mengetahui hal itu dan meminta Minke untuk menikahi
Annelis karena hanya dia yang bisa meringankan beban Annelis yang sudah begitu
berat.
Ditempat
pelacuran ini jugalah Herman Mellema ditemukan tewas diracun dan Robert Mellema
ternyata juga ada disitu dan kemudian hilang. Saat tewasnya Herman, Ontosoroh,
Annelis dan Minke berada di lokasi kejadian karena sebenarnya mereka sedang
megejar Gendut Sipit yang sedang memata-matai Minke untuk membunuhnya atas
perintah dari Robert. Saat persidangan itulah, tulisan-tulisan Minke dengan
nama pena Max Tonelaar mulai dimuat di SN/VD dengan bantuan seorang Belanda
bernama Maarten Nijman yang bersimpati kepadanya. Orang Belanda itu juga
meminta tolong kepada seorang Indo bernama Kommers (yang diperankan Christian
Sugiono) untuk menerjemahkan artikel-artikel ke dalam bahasa Melayu supaya bisa
dimengerti oleh masyarakat luas. Nijman melihat, meskipun Nyai seorang pribumi,
tapi dia tetap butuh perlindungan hukum. Dari situlah kesadaran masyakarat di
Hindia Belanda terbuka tentang hukum yang selama ini tidak adil. Konflik
pembunuhan mengerucut menjadi antara Eropa vs Pribumi. Singkat cerita, mereka
terbebas dari tuduhan pengadilan karena ada salah satu pelacur bernama Meiko
yang secara terbuka mengatakan bahwa memang dia yang membunuh Herman dengan
racun yang diberikan oleh Ah Tjong (tidak jelas apa motifnya).
Cerita
filmnya belum berhenti disitu. Meskipun pembunuhnya sudah diketahui dan mereka
bertiga bebas dari tuduhan pembunuhan, Maurits yang sama sekali tidak
menginjakan kaki di tanah Jawa, ingin mengambil alih semua aset perusahaan susu
milik Herman beserta hak asuh Annelis yang masih di bawah umur. Putusan
Pengadilan di Amsterdam secara tiba-tiba mengatakan bahwa Amelia sudah
menggugat cerai dan Herman mengabulkannya, sehingga atas dasar itu Amelia dan
Maurits adalah ahli waris yang sah dari mendiang Herman. Minke dan Ontosoroh
merasa ini dimanipulasi dan sangat tidak adil. Mereka bertekad untuk bersuara
dan melawan hukum yang tidak adil itu. Saat itu Minke dan Annelis sebenarnya
sudah menjadi suami istri, mereka berusaha mengajukan berkas dokumen pernikahan
dari Mahkamah Agama, tapi ternyata putusan Mahkamah Agama untuk pribumi
dianggap omong kosong dan tidak berlaku dimata Pengadilan Kolonial Belanda.
Annelis tetap harus diangkut pulang ke negeri Belanda. Saking kesalnya, Mingke
sampai meneriakan kata monyet kepada para hakim Belanda tersebut. Bahkan
nantinya antara Minke dan Ontosoroh sama sekali tidak bisa menemani mereka
kesana bahkan tidak bisa hanya untuk mengantarkan ke pelabuhan. Akhirnya Minke
meminta tolong kepada Jan Dapperste/Pandji Darman seorang pribumi tapi sudah
diangkat anak oleh seorang pendeta Belanda sehingga memenuhi syarat untuk
menemani Annelis sampai ke Belanda. Pandji Darma sendiri menceburkan diri ke
laut saat kedua orang tuanya hendak membawanya ke Belanda (versi novel ke Dutch
West Indies atau Suriname, jajahan Belanda di benua Amerika). Akhir cerita,
Minke dan Annelis harus terpisah karena perlakuan hukum kolonial yang sangat
tidak adil kepada pribumi. Diakhiri dengan adegan Minke dan Ontosorh menangis
berpelukan sambil berdiri. Meskipun kalah, tapi mereka merasa kalah secara
terhormat. The End...
Bumi
Manusia ini endingnya mirip dengan Max Havelaar dimana bangsa Indonesia atau
pun mereka yang bersimpati kepada bangsa ini masih belum bisa menang. Kalah
oleh hukum kolonial yang begitu beringas dan tidak berperikemanusiaan. Bedanya
jika dilihat dari setting waktunya, Hax Havelaar mengambil waktu yang lebih
dulu saat masa-masa tanam paksa atau cultuur stelsel) sekitar tahun 1810)
dimana kesadaran kritik terhadap penjajahan itu masih muncul dari kalangan
Belanda itu sendiri, sedangkan novel atau film Bumi manusia mengambil setting
waktu saat masa Politik Etis balas budi (sekitar tahun 1900an awal) sehingga
mulai muncul tokoh-tokoh dari orang pribumi khususnya kalangan ningrat yang memiliki
kesempatan mengenyam pendidikan (walaupun kesempatannya tetap lebih kecil
dibanding anak-anak Belanda atau campuran) dan pada akhirnya memiliki kesadaran
atas nasib bangsanya sendiri.
Catatan
tambahan:
Film
ini secara keseluruhan bagus, mulai dari pemilihan pemain dimana untuk karakter
Indo bener-bener dicari pemain yang punya keturunan Belanda atau Jerman. Sama
seperti film Hollywood misal Aladdin, latarnya di Timur Tengah,
pemain-pemainnya sendiri banyak yang keturunan Arab, Iran dan India. Bahkan
kadang untuk film animasi aja yang Cuma dubbing kadang pengisi suaranya juga
menyesuaikan asal dari film itu kayak misal film kartun Coco dari Disney
tentang ofrenda, hari kematian budaya latin meksiko yang jadi warisan dunia,
pengisi suaranya artis-artis yang punya darah Hispanic (keturunan Spanyol).
Breadwinner juga gitu, tentang kehidupan rakyat Afghanistan di bawah Taliban,
pengisi suaranya artis-artis Kanada yang masih punya darah keturunan
Afghanistan. Tidak lain dan tidak bukan hal itu dilakukan untuk member soul
tersendiri dalam film tersebut. Hal yang biasa dalam film. Kemudian acting
pemain udah ga diragukan lagi, property, bahasa di dalam film itu dapet semua.
Berhasil membawa penonton seolah balik ke zaman kolonial dulu, tapi karakter Iqbaal
Ramadhan ex Coboy Junior ini imagenya udah terlanjur kuat sebagai Dilan di film
dengan judul yang sama yaitu, Dilan sebagai bad boy yang bergaya hidup ngepop.
Sangat berbanding terbalik dengan karakter Raden Mas Tirto Adhie alias Minke di
dalam film Bumi Manusia ini yang mana digambarkan serius, intelek dan jauh dari
kesan bad boy itu tadi.
Karakter-karakter dalam film untuk lebih jelasnya:
No comments:
Post a Comment