Kamis 15 Agustus 2019, gue ikut lagi
kegiatannya Komunitas Historia Indonesia (KHI). Kali ini karena mendekati
peringatan hari kemerdekaan Indonesia, temanya juga seputar 17an yaitu
mengunjungi rumah tempat ‘diculiknya’ Bung Karno dan Bung Hatta yang terkenal
dalam peristiwa Rengasdengklok. Acara dimulai dari jam 7 pagi, berkumpul di
Museum Joang 45. Ternyata acara ini acara dari Unit Pengelola Museum
Kesejarahan Jakarta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta. KHI menjadi
bagian dari jalannya acara itu. Sebagian besar pesertanya adalah dari guru-guru
SMP dan SMA se-Jakarta, khususnya para guru sejarah.
Setelah registrasi, tepat pukul 08.00
rombongan yang terdiri dari 5 bis (4 bis besar dan 1 bis kecil), berangkat
menuju Rengasdengklok melalui jalan tol. Perjalanan ditempuh dalam waktu 2 jam.
Gue berada di bis 1 bersama sebagian teman-teman dari KHI dan sisanya lagi ada
di bis 2. Beruntung bagi yang berada di bis 1 karena Kang Asep Kambali, pendiri
KHI yang sekaligus menjadi narasumber pada hari itu, ada di bis 1. Jadi selama
perjalanan, ia banyak bercerita seputar Peristiwa Rengasdengklok dan Perang
Dunia (PD) 2 khususnya terkait kekalahan Jepang. Pukul 10.00 rombongan tiba di
lokasi. Tempatnya masih cukup ‘terpencil’, keluar dari tol, masuk ke jalan
utama kemudian masih harus melewati jalan-jalan yang lebih ‘pelosok’ lagi. Bis
pun hanya bisa parkir sekitar 200 meter dari lokasi. Turun dari bis, peserta
berjalan kaki menuju rumah yang bersejarah itu. Ditengah jalan menuju ke rumah,
terdapat Tugu Kebulatan Tekad dipinggiran sungai Citarum. Ternyata, lokasi
rumah bersejarah tersebut aslinya berada dipinggir sungai Citarum (belakang
Tugu Kebulatan Tekad) namun karena air sunga sering meluap, akhirnya rumah itu
dipindahkan ke lokasi yang sekarang. Jadi, meskipun lokasinya sudah berpindah,
tapi semua bahan-bahan yang digunakan untuk rumah tersebut masih asli sampai
sekarang. Bagian teras, ruang tengah dan kamar di sebelah kanan dan kiri masih
asli mempertahankan bentuk aslinya saat peristiwa Rengasdengklok. Sementara
tepat dibelakangnya, bentuknya sudah seperti rumah biasa dan rumah itu sampai
detik ini masih ditempati oleh keluarga Djiauw Kie Siong generasi ketiga atau
cucunya. Padahal harusnya negara yang bertanggung jawab dan mengurus rumah itu
karena nilai sejarahnya yang tinggi terkait peristiwa seputar kemerdekaan dan
biaya yang tidak sedikit untuk merawat rumah (bagian depan) agar tetap terjaga
keotentikannya dan menjadi cagar budaya. Saat sesi Tanya jawab, ada seorang
peserta yang juga seorang guru sejarah bertanya, “Apa ada alasan khusus
mengenai dipilihnya rumah ini saat peristiwa itu?”. Kang Asep menjawab,
peristiwa itu sifatnya sangat teknis dan sulit ditemukan jawaban pastinya namun
kemungkinan besar selain lokasinya ‘tersembunyi’, relatif aman dari pantauan
Jepang, juga karena pada saat itu rumah-rumah orang Tionghoa juga tidak
dicurigai oleh pemerintah kolonial entah itu Belanda atau pun Jepang.
Entah kenapa, dari dulu gue paling
suka sejarah yang berkisar seputar PD 2. Karena dari peristiwa PD 2 sangat
berkaitan erat juga dengan kemerdekaan Indonesia itu sendiri. Dan ‘efek’ dari
PD 2 itu sendiri menurut gue masih bisa kita lihat atau kita rasakan samapai
dengan saait ini. Berikut gue akan jabarin analisis gue seputar ‘efek’ pasca PD
2 yang masih terlihat sampai saat ini. Hal yang paling ketara, tapi mungkin banyak
dari kalian yang ga sadar adalah bahasa Inggris. Kok bisa? Iya, bahasa inggris
yang ‘umum’ dan lebih banyak digunakan di seluruh dunia dan diajarkan di
sekolah-sekolah adalah bahasa Inggrisnya ‘versi’ Amerika alias American accent.
Ini ga lepas dari PD 2. Kenapa bisa gitu? Karena pasca PD 2, bisa dibilang
Amerika Serikat (AS) keluar sebagai ‘pemenang yang sesungguhnya’. Kata-kata seperti apologize, organize lebih familiar dibanding apologise, organise; meter, center, theater dibanding metre, centre, theatre; analog, dialog dibanding analogue, dialogue; color dibanding colour; anemia dibanding anaemia; nurned, dreamd dibanding burnt, dreamt; permen lebih sering disebut candy dibanding sweet; pantai beach dibanding seaside; pom bensin gas station dibanding petrol station; dll masih banyak lagi yang ga bisa gue sebut satu persatu karena ini bukan belajar bahasa Inggris haha. Semua kata-kata yang gue sebut di awal sebelum pembandingnya adalah American English. Mungkin
secara resmi atau secara formal memang pihak sekutu (AS, Inggris, Perancis)
yang menang. Tapi seseungguhnya Inggris dan Perancis (khususnya), mereka
mengalami banyak kehancuran secara fisik dan ekonomi yang hebat akibat diserang
oleh Jerman yang berbatasan langsung dengan wilayah mereka. Sementara AS karena
letaknya yang jauh dari Jerman, kondisi fisik negara mereka tidak hancur dan
ekonomi mereka relatif terselamatkan. Tampilah AS sebagai satu-satunya juara
pasca peristiwa itu. Dan perkembangan teknologi yang semakin pesat di AS pasca
PD 2, juga semakin menjadikan bahasa Inggris American Accent lebih umum atau
familiar bagi orang-orang yang mempelajari bahasa Inggris di seluruh dunia.
Perkembangan teknologi ini juga yang terwujud atau tertuang dalam efek CGI
film-film Holywood yang super keren dan sangat popular dikalangan pecinta film
khususnya anak-anak muda.
Hasil dari PD 2 adalah kekalahan dari
negara-negara blok Fasis (Jerman, Italia dan Jepang) bisa dilihat sampai
sekarang, Jepang jadi tidak diperbolehkan untuk memiliki tentara karena
ditakutkan terkait ambisi mereka untuk kembali menguasai dunia, khususnya Asia.
Mungkin dari situ timbul pertanyaan, kenapa Cuma Jepang yang dilarang punya
tentara, sementara Jerman dan Italia masih diperbolehkan punya tentara? Gue
pernah diskusi di grup Facebook KAGAMA (Keluarga Alumni Gadjah Mada). Ada 2
orang alumni yang sekarang tinggal di Jerman dan Austria. Jadi jawabannya
adalah karena diakhir-akhir PD 2, Italia menyerah dan menyatakan bergabung ke blok
Sekutu, sementara di Jerman, AS punya kepentingan. Ingat pasca PD 2, Jerman
menjadi tempat perseteruan ‘Perang Dingin’ antara AS dan Uni Soviet, simbol 2
ideologi besar di dunia pada saat itu. Jerman terbagi menjadi Jerman Barat
& Berlin Barat yang berideologi Kapitalis di bawah kontrol Sekutu dan
Jerman Timur dan Berlin Timur yang berideologi Komunis di bawah kontrol Uni
Soviet (pemenang dari blok Komunis), meskipun pada akhirnya di tahun 1990
Jerman Barat dan Jerman Timur bersatu. Ada salah satu lagu dari Scorpions band
asal Jerman yang legendaries berjudul ‘Wind of Change’, itu menceritakan
tentang reunifikasi Jerman. Sementara Jepang benar-benar seorang diri dan tidak
ada kepentingan sekutu disana. Jadilah Jepang dilarang punya tentara,
istilahnya hanya Pasukan Bela Diri (Self Defense Force). Dan akibat dari
kekalahan di PD 2 itu, blok Fasis jadi banyak kehilangan negara jajahannya.
‘Dibagi-bagi’ kepada blok Sekutu dan Komunis.
‘Output’ lain yang masih tersisa dari
warisan PD 2 adalah, terpecahnya semenanjung Korea menjadi 2 Korea, Korea Utara
(Korut) dan Korea Selatan (Korsel). Meskipun Perang Dingin telah usai, Korut
menjadi satu-satunya negara komunis yang paling tertutup di dunia. Dan Korsel,
kini tampil menjadi salah satu Macan Asia, negara maju di dunia berkat
‘bimbingan’ kapitalisme AS. Memang ada banyak factor dalam kemajuan sebuah
negara, tapi ga bisa dielakan, majunya Korsel banyak dipengaruhi karena adanya
kepentingan AS di semenanjung Korea. Sebab pasca PD 2, AS melihat ideologi
Komunis menjadi satu-satunya musuh dan ancaman bagi mereka. Jadi AS akan
berusaha sekuat tenaga untuk memperkuat Korsel.
Ini kenapa analisa gue panjang banget
dibanding cerita tentang napak tilas
kemerdekaan yang gue ikutin? Haha. Oke lanjut ke pembicaraan sesuai judul di
atas.
Kang Asep Kambali, pendiri Komunitas Historia Indonesia, menjadi narasumber dan banyak menjelaskan seputar peristiwa Rengasdengklok selama diperjalanan. |
Sepanjang perjalanan, Kang Asep
banyak menceritakan seputar PD 2 khususnya sekitar kejadian-kejadian menjelang
tanggal 17 Agustus 1945. Diantaranya saat Sekutu menjatuhkan bom atom bernama
‘Little Boy’ di Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan ‘Fat Boy’ di Nagasaki
tanggal 9 Agustus. Bom atom itu meledak pada ketinggian sekitar 100 meter di
atas permukaan tanah, bersuhu lebih dari 2 juta derajat celcius dan akan
meluluh lantahkan semua yang ditemuinya. Satu-satunya cara untuk bisa
berlindung dari ledakan bom atom itu adalah dengan cara berlindung di bawah
tanah. Dari situ, dia juga bilang bahwa hampir diseluruh rumah di Amerika
Serikat itu mempunyai Bunker bawah tanah (dia bilang sumbernya dari sumber:
National Geographic). Hal itu dilakukan jika sewaktu-waktu Korut menyerang AS,
maka seluruh warga AS bisa berlindung ke dalam Bunker yang ada di bawah tanah
itu. Dan di dalam Bunker itu sudah disediakan makanan yang tahan lama, yang
memiliki waktu expired cukup lama bisa puluhan tahun! Dan jumlah stok makanan
itu cukup untuk jangka waktu sekitar 3 bulan. Bunker juga ada yang didesai
untuk penggunaan secara kolektif, kapasitasnya bisa untuk ratusan bahkan ribuan
orang. Dia bilang, salah satu alasan pemindahan Ibu Kota dari Jakarta adalah
karena di sekitar istana, belum ada fasilitas seperti itu. Pendapat gue sendiri
adalah menurut gue hal itu tidak menjadi masalah karena sejatinya Indonesia
tidak dalam keadaan perang dan negara kita juga selalu menganut asas ‘Bebas
Aktif’ dalam politik Luar Negeri. Sejak dulu juga Indonesia melalui Bung Karno
sudah menginisiasi Gerakan Non Blok, berbeda dengan misalnya Korsel dan Korut
atau memang Amerika sendiri sebagai garda terdepan dalam ideologi kapitalis,
tentu akan merasa terancam apabila ana negara komunis yang punya senjata
nuklir. Jadi urgensi terkait Bunker tidaklah mendesak bagi Indonesia.
Kemudian kita masuk ke cerita seputar
kejadian Rengasdengklok.
Peserta napak tilas disambut dengan penampilan teatrikal setibanya di lokasi. |
Tampak depan pendopo teras rumah bersejarah saksi bisu menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI. |
Foto sang pemilih rumah pada waktu itu, Djiauw Kie Siong, seorang keturunan Tionghoa. |
Tampak pintu kamar yang ditempati Bung Karno, Fatmawati dan Guntur saat peristiwa 'penculikan' ke Rengasdengklok. |
Pintu kamar yang ditempati Bung Hatta. |
Kang Asep Kambali (kacamata kaos kerah merah) dan Bapak Yanto Djuhari (batik biru) cucu dari pemilik rumah. |
Bersama Komunitas Historia Indonesia. |
Tapi sayangnya gue ga ikut ke Tugu Proklamasi karena acaranya molor dan udah kesorean. |
Sementara di Jakarta, para tokoh lain mencari keberadaan Bung Karno dan Bung Hatta. Akhirnya setelah Ahmad Subardjo menyatakan diri sebagai penjamin, barulah para golongan muda memberitahu dimana Bung Karno dan Bung Hatta. Ahmad Subardjo pun menyusul ke Rengasdengklok untuk menemui mereka dan akhirnya tanggal 16 Agustus pukul 11 malam, Bung Karno dan Bung Hatta kembali lagi di Jakarta. Selama diperjalanan pulang, mereka melihat kepulan api dari kejauhan. Salah satu pemuda bilang ke Bung Karno, “Lihat Bung, kondisi Jakarta sudah bergejolak.” Bung Karno tidak percaya dan menyuruh mobil yang mereka tumpangi untuk mendekati sumber api tersebut. Ternyata benar, api itu hanya berasal dari seorang petani yang sedang membakar jerami sisa-sisa hasil panen. Baru lah di rumah Laksamana Maeda yang sekarang menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi, dekat Taman Suropati, naskah proklamasi digagas dan di tulis. Diam-diam, Laksamana Maeda ini ‘simpati’ terhadap perjuangan Indonesia namun mungkin karena posisinya sebagai Laksamana Angkatan Laut Jepang, hal itu tidak dinyatakan secara terang-terangan. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam perumusan naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda diantaranya Bung Karno, Bung Hatta, Ahmad Subardjo, Sayuti Melik, B.M Diah dll. Perumusan dan penulisan selesai sampai dengan jam sahur 3 dini hari esoknya, pada saat itu juga bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Sementara untuk lokasi pembacaan proklamasi sampai dengan waktu imsak, masih belum ditentukan antara di Rumah Bung Karno atau di Lapangan Ikada (sekarang lapangan Banteng). Massa sudah banyak yang berkumpul dilapangan Ikada, sementara pemuda tetap berjaga-jaga disekitar rumah Bung Karno. Dan kemudian tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi, di rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur Yang sekarang menjadi Tugu Proklamasi, dibacakan proklamasi yang artinya pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Bung Karno yang menggetarkan dunia. Kondisi Bung Karno pada saat itu sedang tidak sehat dan demam tinggi.
Jika saya mendengar intepretasi
sejarah versi yang dijelaskan oleh Kang Asep Kambali, dari peristiwa
Rengasdengklok itu bahwa disini pemuda
memiliki peran penting yaitu merahasiakan lokasi pembacaan proklamasi yang
sesungguhnya dan menyiapkan strategi cadangan atau ‘plan B’ dengan
mengkoordinir massa supaya berkumpul di lapangan Ikada. Supaya apabila terjadi
gejolak, Bung Karno dan Bung Hatta tetap aman di rumahnya. Namun memang karena
‘ulah’ dari golongan pemuda tersebut, proklamasi kemerdekaan malah jadi
terlambat satu hari, seharusnya proklamasi bisa dilaksanakan tanggal 16 Agustus
1945. Dan nilai-nilai positif yang bisa diambil adalah golongan muda tetap
menjaga sopan santunnya dengan tidak mendahului golongan tua. Setelah gue ikut
kegiatan itu dan besoknya ngobrol-ngobrol sama bapak gue yang dulunya seorang
aktivis GMNI dan memahami betul sejarah dan pemikiran Bung Karno, argumen
terkait tindakan golongan muda itu ditolak mentah-mentah wkwk. Menurut
intepretasi sejarah versi lainnya dari bapak, sebenarnya tindakan pemuda itu
dengan membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok bukanlah tindakan
yang heroik melainkan hanya omong kosong dan gegabah. Mereka mendesak Bung
Karno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan dengan alasan Jepang sudah kalah
perang dan rakyat sudah tidak sabar. Bung Karno berpikir jauh ke depan, Jepang
memang sudah secara resmi kalah dengan diumumkannya kekalahan tanpa syarat oleh
kaisar Jepang pada waktu itu Hirohito namun sejatinya Jepang hanya kalah secara
moril. Khususnya di Indonesia, tentara Jepang persenjataan dan amunisinya masih
sangat kuat. Sehingga Bung Karno yang saat itu memang dekat dengan Jepang tidak
ingin tergesa-gesa. Dan sebenarnya penentuan tempat proklamasi memang sudah
ditentukan di Rumah Bung Karno. Pemuda tidak berperan dalam membuat scenario
lainnya (dengan memobilisasi massa di lapangan Ikada), sebab sejak awal mereka
tidak memperhitungkan kekuatan tentara Jepang yang masih sangat kuat di
Indonesia.
Disitu akhirnya gue paham, fakta
sejarah mungkin cuma satu, fakta sejarah bisa sama, tapi intepretasi sejara
bisa berbeda-beda. Tergantung kita berada dipihak yang mana. Setidaknya dari
masing-masing intepretasi sejarah itu, kita bisa ambil contoh-contoh yang
positif.
Thank you!
No comments:
Post a Comment