Sunday, August 18, 2019

Napak Tilas Proklamasi ke Rengasdengklok

Kamis 15 Agustus 2019, gue ikut lagi kegiatannya Komunitas Historia Indonesia (KHI). Kali ini karena mendekati peringatan hari kemerdekaan Indonesia, temanya juga seputar 17an yaitu mengunjungi rumah tempat ‘diculiknya’ Bung Karno dan Bung Hatta yang terkenal dalam peristiwa Rengasdengklok. Acara dimulai dari jam 7 pagi, berkumpul di Museum Joang 45. Ternyata acara ini acara dari Unit Pengelola Museum Kesejarahan Jakarta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta. KHI menjadi bagian dari jalannya acara itu. Sebagian besar pesertanya adalah dari guru-guru SMP dan SMA se-Jakarta, khususnya para guru sejarah.

Setelah registrasi, tepat pukul 08.00 rombongan yang terdiri dari 5 bis (4 bis besar dan 1 bis kecil), berangkat menuju Rengasdengklok melalui jalan tol. Perjalanan ditempuh dalam waktu 2 jam. Gue berada di bis 1 bersama sebagian teman-teman dari KHI dan sisanya lagi ada di bis 2. Beruntung bagi yang berada di bis 1 karena Kang Asep Kambali, pendiri KHI yang sekaligus menjadi narasumber pada hari itu, ada di bis 1. Jadi selama perjalanan, ia banyak bercerita seputar Peristiwa Rengasdengklok dan Perang Dunia (PD) 2 khususnya terkait kekalahan Jepang. Pukul 10.00 rombongan tiba di lokasi. Tempatnya masih cukup ‘terpencil’, keluar dari tol, masuk ke jalan utama kemudian masih harus melewati jalan-jalan yang lebih ‘pelosok’ lagi. Bis pun hanya bisa parkir sekitar 200 meter dari lokasi. Turun dari bis, peserta berjalan kaki menuju rumah yang bersejarah itu. Ditengah jalan menuju ke rumah, terdapat Tugu Kebulatan Tekad dipinggiran sungai Citarum. Ternyata, lokasi rumah bersejarah tersebut aslinya berada dipinggir sungai Citarum (belakang Tugu Kebulatan Tekad) namun karena air sunga sering meluap, akhirnya rumah itu dipindahkan ke lokasi yang sekarang. Jadi, meskipun lokasinya sudah berpindah, tapi semua bahan-bahan yang digunakan untuk rumah tersebut masih asli sampai sekarang. Bagian teras, ruang tengah dan kamar di sebelah kanan dan kiri masih asli mempertahankan bentuk aslinya saat peristiwa Rengasdengklok. Sementara tepat dibelakangnya, bentuknya sudah seperti rumah biasa dan rumah itu sampai detik ini masih ditempati oleh keluarga Djiauw Kie Siong generasi ketiga atau cucunya. Padahal harusnya negara yang bertanggung jawab dan mengurus rumah itu karena nilai sejarahnya yang tinggi terkait peristiwa seputar kemerdekaan dan biaya yang tidak sedikit untuk merawat rumah (bagian depan) agar tetap terjaga keotentikannya dan menjadi cagar budaya. Saat sesi Tanya jawab, ada seorang peserta yang juga seorang guru sejarah bertanya, “Apa ada alasan khusus mengenai dipilihnya rumah ini saat peristiwa itu?”. Kang Asep menjawab, peristiwa itu sifatnya sangat teknis dan sulit ditemukan jawaban pastinya namun kemungkinan besar selain lokasinya ‘tersembunyi’, relatif aman dari pantauan Jepang, juga karena pada saat itu rumah-rumah orang Tionghoa juga tidak dicurigai oleh pemerintah kolonial entah itu Belanda atau pun Jepang.

Entah kenapa, dari dulu gue paling suka sejarah yang berkisar seputar PD 2. Karena dari peristiwa PD 2 sangat berkaitan erat juga dengan kemerdekaan Indonesia itu sendiri. Dan ‘efek’ dari PD 2 itu sendiri menurut gue masih bisa kita lihat atau kita rasakan samapai dengan saait ini. Berikut gue akan jabarin analisis gue seputar ‘efek’ pasca PD 2 yang masih terlihat sampai saat ini.  Hal yang paling ketara, tapi mungkin banyak dari kalian yang ga sadar adalah bahasa Inggris. Kok bisa? Iya, bahasa inggris yang ‘umum’ dan lebih banyak digunakan di seluruh dunia dan diajarkan di sekolah-sekolah adalah bahasa Inggrisnya ‘versi’ Amerika alias American accent. Ini ga lepas dari PD 2. Kenapa bisa gitu? Karena pasca PD 2, bisa dibilang Amerika Serikat (AS) keluar sebagai ‘pemenang yang sesungguhnya’. Kata-kata seperti apologize, organize lebih familiar dibanding apologise, organise; meter, center, theater dibanding metre, centre, theatre; analog, dialog dibanding analogue, dialogue; color dibanding colour; anemia dibanding anaemia; nurned, dreamd dibanding burnt, dreamt; permen lebih sering disebut candy dibanding sweet; pantai beach dibanding seaside; pom bensin gas station dibanding petrol station; dll masih banyak lagi yang ga bisa gue sebut satu persatu karena ini bukan belajar bahasa Inggris haha. Semua kata-kata yang gue sebut di awal sebelum pembandingnya adalah American English. Mungkin secara resmi atau secara formal memang pihak sekutu (AS, Inggris, Perancis) yang menang. Tapi seseungguhnya Inggris dan Perancis (khususnya), mereka mengalami banyak kehancuran secara fisik dan ekonomi yang hebat akibat diserang oleh Jerman yang berbatasan langsung dengan wilayah mereka. Sementara AS karena letaknya yang jauh dari Jerman, kondisi fisik negara mereka tidak hancur dan ekonomi mereka relatif terselamatkan. Tampilah AS sebagai satu-satunya juara pasca peristiwa itu. Dan perkembangan teknologi yang semakin pesat di AS pasca PD 2, juga semakin menjadikan bahasa Inggris American Accent lebih umum atau familiar bagi orang-orang yang mempelajari bahasa Inggris di seluruh dunia. Perkembangan teknologi ini juga yang terwujud atau tertuang dalam efek CGI film-film Holywood yang super keren dan sangat popular dikalangan pecinta film khususnya anak-anak muda.

Hasil dari PD 2 adalah kekalahan dari negara-negara blok Fasis (Jerman, Italia dan Jepang) bisa dilihat sampai sekarang, Jepang jadi tidak diperbolehkan untuk memiliki tentara karena ditakutkan terkait ambisi mereka untuk kembali menguasai dunia, khususnya Asia. Mungkin dari situ timbul pertanyaan, kenapa Cuma Jepang yang dilarang punya tentara, sementara Jerman dan Italia masih diperbolehkan punya tentara? Gue pernah diskusi di grup Facebook KAGAMA (Keluarga Alumni Gadjah Mada). Ada 2 orang alumni yang sekarang tinggal di Jerman dan Austria. Jadi jawabannya adalah karena diakhir-akhir PD 2, Italia menyerah dan menyatakan bergabung ke blok Sekutu, sementara di Jerman, AS punya kepentingan. Ingat pasca PD 2, Jerman menjadi tempat perseteruan ‘Perang Dingin’ antara AS dan Uni Soviet, simbol 2 ideologi besar di dunia pada saat itu. Jerman terbagi menjadi Jerman Barat & Berlin Barat yang berideologi Kapitalis di bawah kontrol Sekutu dan Jerman Timur dan Berlin Timur yang berideologi Komunis di bawah kontrol Uni Soviet (pemenang dari blok Komunis), meskipun pada akhirnya di tahun 1990 Jerman Barat dan Jerman Timur bersatu. Ada salah satu lagu dari Scorpions band asal Jerman yang legendaries berjudul ‘Wind of Change’, itu menceritakan tentang reunifikasi Jerman. Sementara Jepang benar-benar seorang diri dan tidak ada kepentingan sekutu disana. Jadilah Jepang dilarang punya tentara, istilahnya hanya Pasukan Bela Diri (Self Defense Force). Dan akibat dari kekalahan di PD 2 itu, blok Fasis jadi banyak kehilangan negara jajahannya. ‘Dibagi-bagi’ kepada blok Sekutu dan Komunis.

‘Output’ lain yang masih tersisa dari warisan PD 2 adalah, terpecahnya semenanjung Korea menjadi 2 Korea, Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel). Meskipun Perang Dingin telah usai, Korut menjadi satu-satunya negara komunis yang paling tertutup di dunia. Dan Korsel, kini tampil menjadi salah satu Macan Asia, negara maju di dunia berkat ‘bimbingan’ kapitalisme AS. Memang ada banyak factor dalam kemajuan sebuah negara, tapi ga bisa dielakan, majunya Korsel banyak dipengaruhi karena adanya kepentingan AS di semenanjung Korea. Sebab pasca PD 2, AS melihat ideologi Komunis menjadi satu-satunya musuh dan ancaman bagi mereka. Jadi AS akan berusaha sekuat tenaga untuk memperkuat Korsel.

Ini kenapa analisa gue panjang banget dibanding cerita  tentang napak tilas kemerdekaan yang gue ikutin? Haha. Oke lanjut ke pembicaraan sesuai judul di atas.


Kang Asep Kambali, pendiri Komunitas Historia Indonesia, menjadi narasumber dan banyak menjelaskan seputar peristiwa Rengasdengklok selama diperjalanan.


Sepanjang perjalanan, Kang Asep banyak menceritakan seputar PD 2 khususnya sekitar kejadian-kejadian menjelang tanggal 17 Agustus 1945. Diantaranya saat Sekutu menjatuhkan bom atom bernama ‘Little Boy’ di Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan ‘Fat Boy’ di Nagasaki tanggal 9 Agustus. Bom atom itu meledak pada ketinggian sekitar 100 meter di atas permukaan tanah, bersuhu lebih dari 2 juta derajat celcius dan akan meluluh lantahkan semua yang ditemuinya. Satu-satunya cara untuk bisa berlindung dari ledakan bom atom itu adalah dengan cara berlindung di bawah tanah. Dari situ, dia juga bilang bahwa hampir diseluruh rumah di Amerika Serikat itu mempunyai Bunker bawah tanah (dia bilang sumbernya dari sumber: National Geographic). Hal itu dilakukan jika sewaktu-waktu Korut menyerang AS, maka seluruh warga AS bisa berlindung ke dalam Bunker yang ada di bawah tanah itu. Dan di dalam Bunker itu sudah disediakan makanan yang tahan lama, yang memiliki waktu expired cukup lama bisa puluhan tahun! Dan jumlah stok makanan itu cukup untuk jangka waktu sekitar 3 bulan. Bunker juga ada yang didesai untuk penggunaan secara kolektif, kapasitasnya bisa untuk ratusan bahkan ribuan orang. Dia bilang, salah satu alasan pemindahan Ibu Kota dari Jakarta adalah karena di sekitar istana, belum ada fasilitas seperti itu. Pendapat gue sendiri adalah menurut gue hal itu tidak menjadi masalah karena sejatinya Indonesia tidak dalam keadaan perang dan negara kita juga selalu menganut asas ‘Bebas Aktif’ dalam politik Luar Negeri. Sejak dulu juga Indonesia melalui Bung Karno sudah menginisiasi Gerakan Non Blok, berbeda dengan misalnya Korsel dan Korut atau memang Amerika sendiri sebagai garda terdepan dalam ideologi kapitalis, tentu akan merasa terancam apabila ana negara komunis yang punya senjata nuklir. Jadi urgensi terkait Bunker tidaklah mendesak bagi Indonesia.

Kemudian kita masuk ke cerita seputar kejadian Rengasdengklok.


Peserta napak tilas disambut dengan penampilan teatrikal setibanya di lokasi.

Tampak depan pendopo teras rumah bersejarah saksi bisu menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI.

Foto sang pemilih rumah pada waktu itu, Djiauw Kie Siong, seorang keturunan Tionghoa.

Tampak pintu kamar yang ditempati Bung Karno, Fatmawati dan Guntur saat peristiwa 'penculikan' ke Rengasdengklok.

Pintu kamar yang ditempati Bung Hatta.

Peristiwa Rengasdengklok terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945. Menurut yang gue denger dari Kang Asep Kambali, peristiwa ini di awali dengan diketahuinya berita kekalahan Jepang oleh para pemuda melalui siaran gelap. Mengetahui berita tersebut, pada tanggal 15 Agustus 1945 golongan pemuda (Sukarni, Wikana, Chairul Saleh dll) mendesak golongan tua golongan tua (Bung Karno dan Bung Hatta) untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Mereka juga berkeyakinan bahwa suasana Jakarta tidak akan aman sebab rakyat juga sudah sangat ingin mendengar proklamasi kemerdekaan Indonesia dideklarasikan. Namun Bung Karno dan Bung Hatta menolak, beralasan bahwa tanggal 16 memang sudah direncanakan adanya pertemuan untuk membahas kemerdekaan Indonesia. Golongan muda Wikana yang emosional ‘mengancam’ Bung Karno, kalau tidak segera diproklamasikan, maka besok akan terjadi pertumpahan darah. Bung Karno naik pitam mendengar ucapan itu, “Ini leherku seret aku kepojok sana dan gorok leherku sekarang juga!”. Usahanya tidak berhasil, golongan muda akhirnya berinisiatif membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke daerah yang lumayan jauh dari Jakarta dan agak terpencil, yaitu di Rengasdengklok yang terletak di Kabupaten Karawang dan berbatasan dengan Kabupaten Bekasi. Subuh pagi tanggal 16, mereka membawa Sang Dwi Tunggal menuju kesana dengan menggunakan mobil. Turut serta dalam rombongan itu Istri Bung Karno yaitu Fatmawati dan Guntur anaknya yang masih berumur kurang dari 1 tahun. Tujuan utama mereka seperti yang sudah sering dibaca dibuku-buku sejarah adalah agar mengamankan Bung Karno dan Bung Hatta dari pengaruh jepang. Alasan mereka memilih Rengasdengklok juga karena pada saat itu wilayah tersebut tidan dikuasai oleh tentara Jepang dan bisa memantau apabila ada pergerakan dari tentara Jepang. Disitu pula juga terdapat markas Pembela Tanah Air (PETA) yang sudah ditempati para pejuang Indonesia. Sesampainya disana mereka menempati sebuah rumah yang dimiliki oleh seorang petani bernama Djie Kiauw Siong, warga keturunan Tionghoa. Namun sesampainya disana, tidak ada hal berarti yang dilakukan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka hanya makan dan tidur seperti biasa. Bahkan yang ada adalah Bung Hatta ‘dikencingi’ oleh Guntur yang pada saat itu masih bayi.


Kang Asep Kambali (kacamata kaos kerah merah) dan Bapak Yanto Djuhari (batik biru) cucu dari pemilik rumah.

Bersama Komunitas Historia Indonesia.
Kalau ini foto satu hari sesudahnya tanggal 16 Agustus 2019, masih seputar napak tilas proklamasi longmarch dari Gedung Joang 45 ke Museum Perumusan Naskah Proklamasi dan berakhir dengan liat pemutaran film di Tugu Proklamasi.

Tapi sayangnya gue ga ikut ke Tugu Proklamasi karena acaranya molor dan udah kesorean.

Sementara di Jakarta, para tokoh lain mencari keberadaan Bung Karno dan Bung Hatta. Akhirnya setelah Ahmad Subardjo menyatakan diri sebagai penjamin, barulah para golongan muda memberitahu dimana Bung Karno dan Bung Hatta. Ahmad Subardjo pun menyusul ke Rengasdengklok untuk menemui mereka dan akhirnya tanggal 16 Agustus pukul 11 malam, Bung Karno dan Bung Hatta kembali lagi di Jakarta. Selama diperjalanan pulang, mereka melihat kepulan api dari kejauhan. Salah satu pemuda bilang ke Bung Karno, “Lihat Bung, kondisi Jakarta sudah bergejolak.” Bung Karno tidak percaya dan menyuruh mobil yang mereka tumpangi untuk mendekati sumber api tersebut. Ternyata benar, api itu hanya berasal dari seorang petani yang sedang membakar jerami sisa-sisa hasil panen. Baru lah di rumah Laksamana Maeda yang sekarang menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi, dekat Taman Suropati, naskah proklamasi digagas dan di tulis. Diam-diam, Laksamana Maeda ini ‘simpati’ terhadap perjuangan Indonesia namun mungkin karena posisinya sebagai Laksamana Angkatan Laut Jepang, hal itu tidak dinyatakan secara terang-terangan. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam perumusan naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda diantaranya Bung Karno, Bung Hatta, Ahmad Subardjo, Sayuti Melik, B.M Diah dll. Perumusan dan penulisan selesai sampai dengan jam sahur 3 dini hari esoknya, pada saat itu juga bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Sementara untuk lokasi pembacaan proklamasi sampai dengan waktu imsak, masih belum ditentukan antara di Rumah Bung Karno atau di Lapangan Ikada (sekarang lapangan Banteng). Massa sudah banyak yang berkumpul dilapangan Ikada, sementara pemuda tetap berjaga-jaga disekitar rumah Bung Karno. Dan kemudian tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi, di rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur Yang sekarang menjadi Tugu Proklamasi, dibacakan proklamasi yang artinya pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Bung Karno yang menggetarkan dunia. Kondisi Bung Karno pada saat itu sedang tidak sehat dan demam tinggi.

Jika saya mendengar intepretasi sejarah versi yang dijelaskan oleh Kang Asep Kambali, dari peristiwa Rengasdengklok itu  bahwa disini pemuda memiliki peran penting yaitu merahasiakan lokasi pembacaan proklamasi yang sesungguhnya dan menyiapkan strategi cadangan atau ‘plan B’ dengan mengkoordinir massa supaya berkumpul di lapangan Ikada. Supaya apabila terjadi gejolak, Bung Karno dan Bung Hatta tetap aman di rumahnya. Namun memang karena ‘ulah’ dari golongan pemuda tersebut, proklamasi kemerdekaan malah jadi terlambat satu hari, seharusnya proklamasi bisa dilaksanakan tanggal 16 Agustus 1945. Dan nilai-nilai positif yang bisa diambil adalah golongan muda tetap menjaga sopan santunnya dengan tidak mendahului golongan tua. Setelah gue ikut kegiatan itu dan besoknya ngobrol-ngobrol sama bapak gue yang dulunya seorang aktivis GMNI dan memahami betul sejarah dan pemikiran Bung Karno, argumen terkait tindakan golongan muda itu ditolak mentah-mentah wkwk. Menurut intepretasi sejarah versi lainnya dari bapak, sebenarnya tindakan pemuda itu dengan membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok bukanlah tindakan yang heroik melainkan hanya omong kosong dan gegabah. Mereka mendesak Bung Karno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan dengan alasan Jepang sudah kalah perang dan rakyat sudah tidak sabar. Bung Karno berpikir jauh ke depan, Jepang memang sudah secara resmi kalah dengan diumumkannya kekalahan tanpa syarat oleh kaisar Jepang pada waktu itu Hirohito namun sejatinya Jepang hanya kalah secara moril. Khususnya di Indonesia, tentara Jepang persenjataan dan amunisinya masih sangat kuat. Sehingga Bung Karno yang saat itu memang dekat dengan Jepang tidak ingin tergesa-gesa. Dan sebenarnya penentuan tempat proklamasi memang sudah ditentukan di Rumah Bung Karno. Pemuda tidak berperan dalam membuat scenario lainnya (dengan memobilisasi massa di lapangan Ikada), sebab sejak awal mereka tidak memperhitungkan kekuatan tentara Jepang yang masih sangat kuat di Indonesia.

Disitu akhirnya gue paham, fakta sejarah mungkin cuma satu, fakta sejarah bisa sama, tapi intepretasi sejara bisa berbeda-beda. Tergantung kita berada dipihak yang mana. Setidaknya dari masing-masing intepretasi sejarah itu, kita bisa ambil contoh-contoh yang positif.
Thank you!

No comments:

Post a Comment