Saturday, May 11, 2019

Resensi Film Ali & Nino di Europe on Screen 2019

Yap. Kali ini gue akan coba menulis resensi film lagi yang berjudul Ali & Nino. Film ini gue tonton saat pemutaran film-film pada festival Europe on Screen 2019 bulan April lalu. Seperti yang pernah gue jelas sebelumnya, rangkaian festival ini diadakan ditiap-tiap pusat kebudayaan negara-negara eropa yang tersebar di Jakarta dalam rangka peringatan Europe Day pada tanggal 9 Mei. Tapi mungkin berhubung tahun ini tanggal 6 Mei sudah masuk bulan suci Ramadhan, jadi pelaksanaan festival ini dimajukan tanggal 18 April - 31 Mei.

Tanggal 19 Mei 2019 tepatnya 2 hari setelah Pemilu Naional & Pemilu Presiden gue dateng ke acara ini. Saking niatnya, jauh-jauh hari sebelum mau nonton, gue udah ngelist film-film yang bakal tayang di hari sabtu, minggu dan hari libur yang sekiranya bisa gue tonton beserta ratingnya di IMDB. Maklum, sehari-hari kerja di kawasan pabrk yang jaraknya sekitar 30-40 km dari Jakarta. Jadi ga bakal bisa nonton kalo hari kerja. Selesai Sholat Jumat, akhirnya gue putuskan buat 'movie marathon' di Erasmus Huis mula dari pemutaran film jam 17.00 till drop haha.

Gue berangkat jam 15.00 naik motor dari rumah. Oh iya informasi juga buat kalian yang mau ke Erasmus Huis entah untuk urus visa ke Belanda (Erasmus ini Pusat Kebudayaan Belanda sekaligus Kedutaan Besar Belanda), Les Bahasa Belanda ataupun sekedar menikmati acara-acara dsitu, lokasi ini sebenarnya cukup mudah dijagkau dengan menggunakan moda transportasi umum busway. Buat yang bawa motor sendiri, kalau masih hari kerja, ditrotoar depan Erasmus peris bisa parkir motor, ada yang jaga, bayarnya nya terserah. Kalau hari minggu, berhubung parkiran depan Erasmusnya ga ada yang jaga, jadi parkirnya di kantong parkir deket Balai Kartini. Agak jauh sih sekitar sekian ratus meter dari situ. Buat yang bawa mobil, kayaknya harus langsung parkir di Balai Kartini karena mobil-mobil yang boleh masuk ke Erasmus cuma mobil-mobil dari staff Kedutaan Belandanya.

Sekitar hampir 1 jam perjalanan, gue sampai disana. Berhubung gue belum sholat Ashar, gue sholat dulu. Ada Musholla buat sholat di Erasmus. Bisa dibilang, Pusat Kebudayaan Belanda ini sangat ramah buat yang muslim. Beda dengan IFI (Pusat Kebudayaan Perancis), IIC (Pusat Kebudayaan Italia) atau @America (Pusat Kebudayaan Amerika) yang tidak menyediakan Musholla atau tempat khusus sholat bagi pengunjung. Waktu ke IC pernah sholatnya di ruang kelas yang lagi kosong. Ya, mungkin karena faktor Belanda dari dulu udah ada di Indonesia selama 350 tahun kali, jadi welcome sama Islam. Setelah sholat, gue antri untuk dapet tiket film. Europe on Screen kali ini pake sistem member. Jadi di awal, kita bakal dapet semacam kartu yang ada nomornya dan kartu ini wajib dibawa setiap kita mau nonton film. Film pertama yang gue tonton judulnya In Blue.


Selesai film itu, gue langsung keluar buat antri film lagi. Berhubung waktunya nanggung antrian udah mau dibuka, akhirnya gue antri film dulu baru sholat maghrib. Film kedua yang gue tonton judulnya Ali & Nino. Film ini dangkat dari novel legendaris dengan judul yang sama karya penulis Azerbaijan, Kurban Sa'id dan mengambil lokasi shooting juga di Azerbaijan. Awalnya gue mengira ini pure film Azerbaijan, apalagi sebelum pemutaran film ini, perwakilan Kedutaan Azerbaijan sampai datang buat kasih sepatah dua kata sambutan dan sekilas tentang cerita Ali & Nino. Tapi dialog dalam film ini dilakukan dalam bahasa Inggris. Setelah pulang gue browsing, ternyata film ini adalah film Inggris, disutradarai oleh Asif Kapadia juga asal Inggris. Serta aktor dan aktrisnya berasal dari berbagai negara. 
Perwakilan Kedutaan Azerbaijan kasih sambutan sebelum pemutaran film Ali & Nino.

Film ini menceritakan tentang kisah perjalan cinta dua sejoli yang berbeda agama. Ali Khan Shirvansir (diperankan oleh aktor Israel-Arab Adam Bakri) seorang Muslim Syi'ah yang masih seorang bangsawan, jatuh cinta kepada Nino Kapiani (diperankan oleh aktris asal Spanyol Maria Valverde) seorang wanita Kristen Ortodoks Georgia. Ali menyukai Nino, ia meminta bantuan temannya yang bernama Malik Nakhararyan (diperankan oleh Riccardo Scamarcio asal Italia) seorang bangsawan Kristen Ortodoks Armenia untuk membantu mempertemukan kedua keluarga untuk menyetujui pernikahan mereka berdua. Sebab awalnya kedua keluarga menentang hubungan beda agama tersebut. Sesuatu yang masih tabu pada kala itu. Malik berusaha menemui Nino dengan cara mengajaknya menonton opera untuk kemudian bertemu Ali setelahnya. Namun, ternyata Malik juga menyimpan perasaan kepada Nino. Dia malah menculik dan membawa kabur Nino dengan menggunakan mobilnya. Ada beberapa pengawal Istana Shirvansir yang melihat dan melaporkan kepada Ali. Ali pun mengejar mereka dengan kuda. Singkat cerita Ali berhasil mengejar Malik dan membunuhnya setelah mereka berkelahi satu sama lain..

Berita terbunuhnya Malik sampai kepada keluarga Nakhararyan yang juga masih merupakan bangsawan Armenia. Untuk menghindari serangan dari keluarga Nakhararyan, Ali yang masih lemah akibat terluka saat berkelahi dengan Malik, membawa Nino melarikan diri ke Dagestan. Disana akhirnya menikahi Nino secara sipil. Sekian lama, mereka tinggal di Pegunungan Dagestan. Namun mereka tidak bisa berlama-lama karena pada saat itu bertepatan dengan Revolusi Bolshevik Rusia sekitar tahun 1918. Rusia hendak menyerang daerah Transkaukasus tersebut. Akhirnya mereka kembali ke Azerbaijan dan kemudan Ali dan beberapa tokoh non-fiktif seperti Fatali Khan (Perdana Menteri pertama Azerbaijan Democratic Republic) sempat memproklamirkan diri sebagai negara merdeka. Ali sendiri ditunjuku menjadi Deputi Luar Negeri. Tidak lama setelah kemerdekaan, Nino pun melahirkan seorang anak perempuan. Namun situasi semakin mendesak, Tentara Revolusi Bolshevik semakin merangsek dan mengepun Azerbaijan. Ali menyuruh Nino dan anak perempuannya yang baru lahir untuk pergi ke tempat yang lebih aman yaitu Teheran Iran, dimana setelah sampai disana Nino sangat tidak nyaman dengan aturan-aturan ketat seperti dia harus berkerudung saat keluar dari istana, dan tidak boleh pergi sendirian, harus ditemani pelayan. Akhirnya Nino pun meminta untuk pergi ke Paris. Kota dimana Ali pernah menjanjikan kepadanya untuk berbulan madu.

Akhir film ini ditunjukan dengan adegan saat Ali dan beberapa pejuang-pejuang Azerbaijan berperang dengan pasukan Bolshevik. Ali dkk berusaha untuk memutus akses pasukan musuh dengan cara menghancurkan rel kereta api yang menjadi satu-satunya jalur dipegunungan  itu. Namun, akibat kalah jumlah, Ali dkk termasuk Fatali Khan akhirya tewas terkena peluru. Ali meninggalkan Nino dan anak perempuannya yang masih kecil. The End...

Ok. ada beberapa informasi menarik dari film ini. Yang pertama di awal film dituliskan kalau daerah Transkaukasus ini merupakan daerah penghasil sekitar 50% lebih supply minyak dunia untuk saat ini. Ga heran kalau sekarang trio negara Transkaukasus (Georgia, Armenia dan Azerbajan), terutamanya Azerbaijan yang namanya sekarang semakin gencar terdengar dipanggung dunia karena kemakmurannya dari minyak yang melimpah. Buat kalian yang suka Formula One pasti tau, Azerbijan sudah beberapa kali menggelar balapan F1 di sirkuir jalan raya Baku. Tahun 2016 di bawah bendera Grand Prix Eropa, kemudian 2017 sampai dengan sekrang 2019 di bawah bendera Grand Prix Azerbaijan. Dan di Sepak Bola, Final UEFA Europa League (kejuaraan sepak bola paling bergengsi kedua di Eropa setelah UEFA Champions League) akan diadakan di Olympic Stadium Baku, Azerbaijan. Jika bicara mengenai filmnya, disini Azerbaijan mencoba menunjukan diri mereka sebagai negara 'Muslim Sy'iah yang sekuler' berbeda dengan Iran yang walaupun sama-sama Syi'ah, Iran sangat menjunjung tinggi 'Syariat Islam'. Hal ini terlihat saat adegan ranjang yang cukup vulgar saat Ali dan Nino melakukan hubungan suami-istri justru pada saat sebelum mereka menikah. Atau saat Nino sedang berada di Teheran Iran dimana dia merasa sangat sangat tidak nyaman dengan aturan-aturan ketat istana yang mewajibkan perempuan berkerudung atau ditemani jika mau keluar istana. Sangat berbeda kalau kita nonton film-film Iran seperti misalnya A Separation (2011) atau yang lebih terkenal Children of Heaven (1997), film tentang sepatu yang sempet hits zaman old. Film-film Iran tidak ada adegan-adengan dewasa dan hampir tidak ada musik disepanjang filmnya. Walaupun di film Ali & Nino ada juga adegan Ali ga mau minum khamr. Ya kayak pilih-pilih gitu deh syariat Islamnya mau yang mana yang ditaati haha.

Ok, itu penilaian gue mengenai film Ali & Nino yang diambil dari cerita legendaris Azerbaijan dan juga pengalaman tahun kedua gue nonton festival film di Europe on Screen di Erasmus Huis Pusat Kebudayaan Belanda. Film ini cukup bagus punya rating 7.0 di IMDB. Recommended lah buat ditonton. Semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment