Sunday, May 12, 2019

'Home Grown Player' how England 'protect' their local football players & the Awakening of English National Team

Do you like football or soccer? Yes me too. I like observing football rather than playing it. There are something interesting in these 2019 UEFA Champions League (UCL) and UEFA Europa League (UEL) final matches. It would be all English final or English derby finals because Liverpool is going to meet Tottenham Hotspurs at UCL and Chelsea is going to meet Arsenal at UEL. Maybe we are not surprised if we see English clubs playing in the final match at the highest football championship, but the different is now they have more young English local players in their own English club. And it also effected their National team. We can see at Fifa World Cup 2018 in Russia, The Three Lions squad reached the semi final with their young players. How can it happened? Meanwhile we know that England National Team was not so good around 2008 (even they did not qualified to Euro Austria-Switzerland final round) until 2016.

I think it's because of 'home grown' regulation. Football Federation of England or The Football Association (FA) adapted this regulation from UEFA which has imposed this system since at 2008-2009. Each club which is compete in a league should register at least 8 home grown players. Some people say that home grown is similar to English nationality player and non-home grown is foreign player. The fact is not. Home grown player is a player who is at least 21 years old and already spent 3 season within English League or he is an alumni from football academy. Cesc Fabregas who is Spanish, belong to this Home Grown category because he had been playing for Arsenal since he was 16 years old at 2003 until 21 years old at 2005. The team whether they want it or not should allocate 8 home grown players and again it will encourage English local player in quota. Because in fact maybe more than English players in a local English football academy rather that foreign players it self in ages between 16-21. For this final stage, Chelsea has 3 English local players in their starting eleven, Tottenham and Liverpool 4 players. Only Arsenal has only 1 player.

FA did not state directly to limit foreign players in every club, but they made s strategy by using 'Home Grown' players term and obliged each team to have at least 8 home grown players. The implication of this regulation also appeared in FIFA World Cup 2018 in Russia where England could reach the fourth place at the semi final stage with their young players. Honestly I am not fan of England National Team. I prefer especially The Netherlands National Team because Netherlands is like a gateway for Indonesian in Europe seeing that historical ties in the past. There were notable Indonesian decent player in Dutch National Team when they got runner up at FIFA World Cup 2010 in South Africa such as Giovanni van Bronckhorst and John Heitinga. But I have to be objective and I'm sure it as an awakening of England National Team and they can speak a lot and louder at Euro 2020 or even in FIFA World Cup 2022 in Qatar. Or maybe they will repeat a victory after 36 years ago at 1986 and get their second World Cup trophy at 2022? Let's see together!

England National Squad at FIFA World CUP 2018 (source: independent.co.uk)


Saturday, May 11, 2019

Pelatihan Menulis Bersama Tony Rosyid



Sabtu, 4 Mei 2019 gue menyempatkan diri ikut pelatihan menulis yang diselenggarakan d Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Republik Indonesia lantai IX. Acara yang berjudul "Abadikan Hidup Dengan Menulis" bersama Tony Rosyid ini digagas oleh Yayasan Berkah Cendekia Asy Syifa. Itung-itung 2 hari sebelum, bulan puasa Ramadhan yang jatuh pada hari Senin, 6 Mei 2019, ya lumayan gue dateng buat isi waktu. Toh juga gue sebenernya cukup seneng nulis, dibuktikan dengan adanya blog ini. Walaupun masih jarang nulisnya kali aja bisa jadi pemicu buat rajin nulis setelah hadir di acara itu.

Selama ini kalau ke Perpusnas gue pake busway karena mikir males macet pake motor, tapi hari itu tiba-tiba gue lagi pengen pake motor. Akhirnya gue berangkat kesana bareng cewek gue naik motor sekalian pengen tahu gampang ga parkir motor di Perpusnas. Ternyata parkir motor nya gampang, tempat luas ada d Basement 1. Sementara Basement 2 buat parkir pengunjung yang bawa mobil. Waktu masuk, petugas akan kasih kartu parkir dan parkir disini tidak dikenakan biaya sama sekali.

Acara dimulai dari pukul 09.00 sampai dengan 12.30. Tapi berhubung malemnya gue abis lembur sampai jam 10 malam di kantor eh di pabrik deng (gue ga punya kantor karena kerjanya di pabrik haha), jadi gue sampai sana agak terlambat. Acara udah mulai sekitar setengah jam yang lalu. Peserta diharapkan bawa laptop tapi sayangnya di ruangan itu cuma sebagian peserta aja yang kebagian meja dan colokan buat laptop. Alhasil beberapa orang termasuk gue ga sempet gelar laptop. Beruntung gue udah jaga-jaga buat bawa note book buat corat-coret.

Tony Rosyid adalah seorang dosen di UIN Jakarta, aktvis dan pengamat politik dan juga penulis. Dia sering menulis artikel-artikel di media terutama seputar isu-isu politik terkini. Sebelumnya gue ga membahas mengenai artikel dia yang viral di media massa karena gue berusaha untuk membebaskan blog ini dari tulisan-tulisan politik. Gue hanya akan membahas seputar filosofi dan tips-tips menulis yang diberikan.

Dia bilang menulis itu sudah seperti candu baginya. Dimanapun dan kapanpun selalu menulis. Dia lebih sering memberikan tulisannya yang bertemakan politik ke media. Sebab menurutnya hal ini lebih aman karena ada kode etik sehinggan tidak mudah untuk dipidanakan. tidak bersedia apabila hanya ada satu media yang memuat tulisannya, meskipun di bayar mahal. Ia ingin tulisannya bisa menjadi milik publik. Melalui menulis juga, dalam waktu dekat ia akan berkeliling Amerika, Eropa karena ada orang yang akan mensponsori perjalanan itu dalam rangka suatu tujuan penulisan. Terus gue mikir, wah kalau kita udah passion pada suatu bidang apapun itu niscaya ada jalan yang tak terduga.

Masuk ke isi materi yang disampaikan, beberapa manfaat menulis adalah:
-untuk mengurangi stres
-menyimpan ide
-mengabadikan peristiwa
-melanggengkan diri
        Banyak orang yang sudah tiada di dunia ini namun pemikiran-pemikirannya seolah abadi masih          ada hingga detik ini karena mereka menulis buku semasa hidupnya.

Ada beberapa keuntungan 'bicara dengan tulisan' dibandingkan dengan berbicara secara langsung/orasi:
-bisa dimanapun & kapanpun
  "penulis adalah manusia yang paling bebas di dunia"
-jangkauan audiensnya luas
-lebih efisien dari sisi waktu
-lebih mudah dikontrol dan dievaluasi
       sebuah tulisan bisa dibaca berulang-ulang untuk kemudian dikoreksi bagian mana yang perlu               diperbaiki, Berbeda dengan bicara langsung yang terkadang seseorang bisa keceplosan dan
       menjadi masalah dikemudian hari.
-mudah disebarkan secara akurat
-relatif lebih mudah menjaga keihklasan

Menulislah seperti orang yang lagi ngobrol, sampaikan sesuatu yang tadinya rumit menjadi sederhana.

Untuk penulis awam, tidak usah banyak memikirkan konten. Banyak membaca untuk memperluas cakrawala. Rajin menulis, berarti harus rajin membaca dan membuka diri. Kecuali untuk menulis buku, artikel jurnal memang dibutuhkan dasar teori yang kuat.

"Penulis sejati tidak hanya ingin menulis, tapi harus menulis"
"I write to live and I live to write"
 Beberapa jenis tulisan:
A. Informatif: media
Misal tabrakan antara motor dan mobil. Ada yang menarik disini. Setiap ada kejadian tabrakan antara motor dengan mobil. Pasti semua pengendara motor lain di jalan raya akan berhenti, menolong dan membela si pengendara motor sementara pengemudi mobil akan disalahkan atau bahkan menjadi bulan-bulanan. Namun apabila yang terjadi adalah tabrakan antara mobil dengan mobil, maka hampir dipastikan pengendara lain tidak akan peduli dan tetap memacu kendaraannya. Apa yang melatar belakangin hal ini? Ketimpangan sosial. Ya hal ini bisa terjadi akibat ketimpangan sosial antara pengendara motor dan pengemudi mobil. Ketimpangan sosial akan melahirkan kecemburuan sosial dan pada akhirnya timbul kemarahan sosial.

Dalam menulis suatu tulisan, ambilah 1 angle (sudut pandang) Tulisan perlu proses untuk 'menjadi mahal'.

B. Provokatif
Contohnya Nietze menulis; Tuhan telah mati.
Sebagai muslim Pak Tony memiliki latar belakang NU tapi pernah suat saat dia tidak cocok dengan sekelompok orang dan ia berkelakar 'lebih baik saya murtad tapi masuk surga, daripada saya tidak murtad tapi masuk neraka' haha.

C, Menyejukan
Contohnya Prof. Dididn Khafifudin, Nazarudin Umar.

D. Mencerdaskan


Suasana saat pelathan menulis


Dewasa ini, banyak hal sedikit-sedikit dikaitkan dengan UU ITE, hoax dll. Sebanyak apapun fakta yang kita sampaikan dalam tulisan, jika memang ada yang tidak suka, tulisan itu tetap akan dibilang hoax. Sehingga kita perlu berhati-hati dengan cara:
-jangan memaki-maki, menuduh personal
-jangan menulis fakta kalau memang tidak punya fakta
-jangan sebut nama, tapi sebutkanlah ciri-ciri yang tidak terlalu spesifik
-jika ingin menyampaikan sesuatu yang sedang hangat atau ramai diperbincangkan dimasyarakat, tulislah dengan kata-kata 'kabarnya', 'rumornya', 'perlu diklarifikasi'. Untuk yang satu ini artinya kita tidak sedang menuduh atau menyebarkan berita hoax. Kita hanya ingin menyampakan bahwa 'ini lho orang-orang lagi pada ngomongon ini'

Setiap penulis pasti pernah mengalami 'deadlock'. Kalau sudah begini, tinggalin dulu aktivitas tulis-menulis karen percuma juga sudah stuck masih dipaksakan.

"Ingat 3M: Menulis, Menulis & Menulis"
Untuk menjadi penulis yang baik, tulislah tulisan pada tema yang anda kuasai. Fokus saja disitu. Boleh menulis tema lain, tapi itu hanya sebagai selingan.

Tema apa yang anda lebih tertarik? Tulislah itu

Tulislah secara lebih spesfik. Misal anda menulis mengenai ekonomi. Apakah kemudian ekonomi makro atau ekonomi mikro.

Apa yang membedakan 'penulis serius' dengan 'penulis yang tidak serius' ? Analisisinya...
Dalam memberikan analisis, seorang penulis harus menyampaikan pendapatnya sendiri secara orisinil.

Tips dalam memberikan judul pada tulisan. Sebuah tulisan harus diberi judul. Berikut tips-tipsnya:
-simple
  Judul yang 'ribet' lebih cocok untuk novel
-mudah dimengerti
-menimbulkan rasa ingin tau (tidak normatif, tidak linear)
-tidak pejoratif (menghina)

Outline (Gars Besar):
-dalam kerangka tema
-sistematis, misalnya :pembentukan suatu organisasi dari awal menjadi besar kemudian menjadi                                              kecil lagi
                                    obat berbahaya untuk penyakit a,b,c kemudian solusinya
-representatif (dari tema secara umum)

Oke itu kurang lebih isi materi pelatihan menulis yang disampaikan oleh Tony Rosyid. Selanjutnya ada lagi yang menarik. Ditengah-tengah penyampaian materi, peserta diberikan waktu sekitar 10 menit untuk bebas menulis apa saja dan dipersilahkan membacanya. Gue memberanikan diri untuk membaca tulisan singkat gue mengenai pengalaman horor gue menginap di Museum Bahari Jakarta. Tidak disangka, tema horor yang gue sajikan berhasil menarik perhati peserta-peserta lain. Pak Tony mengomentari setiap tulisan yang baru dibaca. Untuk tulisan gue, dia bilang judul yang tepat adalah 'Demit penunggu museum'.

Bahkan Pak Tony Rosyid pun kemudan bercerita mengenai pengalaman horor yang pernah dialaminya. Ceritanya mengenai Ratu Laut Selatan Nyi Roro Kidul. Dia bilang saat mengalami kejadian itu, dia tidak percaya dengan adanya sosok Nyi Roro Kidul. Tapi suatu waktu dia sedang tidur beralaskan karpet di rumahnya. Tiba-tiba, dia ingin terbangun tapi matanya terpejam terus tidak bisa dibuka. Dia merasa seperti dibawa ketengah lautan luas, terombang-ambing disana dan perlahan turun ke dasar lautnya. Di bawah sana dia melihat sesosok ratu yang membelakanginya dan bertanya, 'kamu mau apa? kamu mau apa?'. Dalam kondisi ketakutan, Pak Tony pun menjawab, 'Ga, saya ga mau apa-apa. Saya ga mau apa-apa'. Perlahan dia pun merasa kembali terombang-ambing dari dasar lautan menuju ke permukaan laut dan akhirnya bisa membuka matanya lagi. Ia mengatakan hal yang dia takuti pada saat itu adalah takutnya dia ga bisa balik lagi karena ga bisa buka matanya waktu tidur. Ternyata, usut punya usut, Tony Rosyid ini memang mempunyai latar belakang pesantren. Kalau ga salah pesantrennya di Sarang, Rembang, milik K.H Maimun Zubair. Pantas dia pernah punya pengalaman 'mistis' yang langka kayak tadi.  Beliau juga menulis beberapa novel yang diterbitkan oleh Gramedia berjudul Santri di Persimpangan: Gejolak Hati Anak Pesantren, Anak Halilintar: Menguak Hitam Putihnya di Pondok Pesantren.

Di akhir acara, penyelenggara dari Yayasan Cendekia Asy-Syifa mengumumkan kepada peserta bahwa mereka akan meluncurkan sebuah kegiatan yang namanya 'Gerakan Bangun 1000 TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an) untuk pemulung dan dhuafa'. Panitia membagikan kaleng celengan yang bisa dibawa pulang untuk nantinya bisa diisikan uang donasi untuk kegiatan tersebut. Di bawah kaleng ada alamat dan nomor telepon Yayasan. Peserta diminta menhubungi nomor tersebut apabila ingin memberikan donasi dan panitia akan mengambil kaleng tersebut melalui jasa kirim menggunakan ojek online.


Kaleng celengan buat donasi Gerakan Bangun 1000 TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an)


Oke itu pengalaman gue ikut pelatihan menulis langsung bersama dengan seorang penulis hebat. Terma kasih. Semoga bermanfaat,

Resensi Film Ali & Nino di Europe on Screen 2019

Yap. Kali ini gue akan coba menulis resensi film lagi yang berjudul Ali & Nino. Film ini gue tonton saat pemutaran film-film pada festival Europe on Screen 2019 bulan April lalu. Seperti yang pernah gue jelas sebelumnya, rangkaian festival ini diadakan ditiap-tiap pusat kebudayaan negara-negara eropa yang tersebar di Jakarta dalam rangka peringatan Europe Day pada tanggal 9 Mei. Tapi mungkin berhubung tahun ini tanggal 6 Mei sudah masuk bulan suci Ramadhan, jadi pelaksanaan festival ini dimajukan tanggal 18 April - 31 Mei.

Tanggal 19 Mei 2019 tepatnya 2 hari setelah Pemilu Naional & Pemilu Presiden gue dateng ke acara ini. Saking niatnya, jauh-jauh hari sebelum mau nonton, gue udah ngelist film-film yang bakal tayang di hari sabtu, minggu dan hari libur yang sekiranya bisa gue tonton beserta ratingnya di IMDB. Maklum, sehari-hari kerja di kawasan pabrk yang jaraknya sekitar 30-40 km dari Jakarta. Jadi ga bakal bisa nonton kalo hari kerja. Selesai Sholat Jumat, akhirnya gue putuskan buat 'movie marathon' di Erasmus Huis mula dari pemutaran film jam 17.00 till drop haha.

Gue berangkat jam 15.00 naik motor dari rumah. Oh iya informasi juga buat kalian yang mau ke Erasmus Huis entah untuk urus visa ke Belanda (Erasmus ini Pusat Kebudayaan Belanda sekaligus Kedutaan Besar Belanda), Les Bahasa Belanda ataupun sekedar menikmati acara-acara dsitu, lokasi ini sebenarnya cukup mudah dijagkau dengan menggunakan moda transportasi umum busway. Buat yang bawa motor sendiri, kalau masih hari kerja, ditrotoar depan Erasmus peris bisa parkir motor, ada yang jaga, bayarnya nya terserah. Kalau hari minggu, berhubung parkiran depan Erasmusnya ga ada yang jaga, jadi parkirnya di kantong parkir deket Balai Kartini. Agak jauh sih sekitar sekian ratus meter dari situ. Buat yang bawa mobil, kayaknya harus langsung parkir di Balai Kartini karena mobil-mobil yang boleh masuk ke Erasmus cuma mobil-mobil dari staff Kedutaan Belandanya.

Sekitar hampir 1 jam perjalanan, gue sampai disana. Berhubung gue belum sholat Ashar, gue sholat dulu. Ada Musholla buat sholat di Erasmus. Bisa dibilang, Pusat Kebudayaan Belanda ini sangat ramah buat yang muslim. Beda dengan IFI (Pusat Kebudayaan Perancis), IIC (Pusat Kebudayaan Italia) atau @America (Pusat Kebudayaan Amerika) yang tidak menyediakan Musholla atau tempat khusus sholat bagi pengunjung. Waktu ke IC pernah sholatnya di ruang kelas yang lagi kosong. Ya, mungkin karena faktor Belanda dari dulu udah ada di Indonesia selama 350 tahun kali, jadi welcome sama Islam. Setelah sholat, gue antri untuk dapet tiket film. Europe on Screen kali ini pake sistem member. Jadi di awal, kita bakal dapet semacam kartu yang ada nomornya dan kartu ini wajib dibawa setiap kita mau nonton film. Film pertama yang gue tonton judulnya In Blue.


Selesai film itu, gue langsung keluar buat antri film lagi. Berhubung waktunya nanggung antrian udah mau dibuka, akhirnya gue antri film dulu baru sholat maghrib. Film kedua yang gue tonton judulnya Ali & Nino. Film ini dangkat dari novel legendaris dengan judul yang sama karya penulis Azerbaijan, Kurban Sa'id dan mengambil lokasi shooting juga di Azerbaijan. Awalnya gue mengira ini pure film Azerbaijan, apalagi sebelum pemutaran film ini, perwakilan Kedutaan Azerbaijan sampai datang buat kasih sepatah dua kata sambutan dan sekilas tentang cerita Ali & Nino. Tapi dialog dalam film ini dilakukan dalam bahasa Inggris. Setelah pulang gue browsing, ternyata film ini adalah film Inggris, disutradarai oleh Asif Kapadia juga asal Inggris. Serta aktor dan aktrisnya berasal dari berbagai negara. 
Perwakilan Kedutaan Azerbaijan kasih sambutan sebelum pemutaran film Ali & Nino.

Film ini menceritakan tentang kisah perjalan cinta dua sejoli yang berbeda agama. Ali Khan Shirvansir (diperankan oleh aktor Israel-Arab Adam Bakri) seorang Muslim Syi'ah yang masih seorang bangsawan, jatuh cinta kepada Nino Kapiani (diperankan oleh aktris asal Spanyol Maria Valverde) seorang wanita Kristen Ortodoks Georgia. Ali menyukai Nino, ia meminta bantuan temannya yang bernama Malik Nakhararyan (diperankan oleh Riccardo Scamarcio asal Italia) seorang bangsawan Kristen Ortodoks Armenia untuk membantu mempertemukan kedua keluarga untuk menyetujui pernikahan mereka berdua. Sebab awalnya kedua keluarga menentang hubungan beda agama tersebut. Sesuatu yang masih tabu pada kala itu. Malik berusaha menemui Nino dengan cara mengajaknya menonton opera untuk kemudian bertemu Ali setelahnya. Namun, ternyata Malik juga menyimpan perasaan kepada Nino. Dia malah menculik dan membawa kabur Nino dengan menggunakan mobilnya. Ada beberapa pengawal Istana Shirvansir yang melihat dan melaporkan kepada Ali. Ali pun mengejar mereka dengan kuda. Singkat cerita Ali berhasil mengejar Malik dan membunuhnya setelah mereka berkelahi satu sama lain..

Berita terbunuhnya Malik sampai kepada keluarga Nakhararyan yang juga masih merupakan bangsawan Armenia. Untuk menghindari serangan dari keluarga Nakhararyan, Ali yang masih lemah akibat terluka saat berkelahi dengan Malik, membawa Nino melarikan diri ke Dagestan. Disana akhirnya menikahi Nino secara sipil. Sekian lama, mereka tinggal di Pegunungan Dagestan. Namun mereka tidak bisa berlama-lama karena pada saat itu bertepatan dengan Revolusi Bolshevik Rusia sekitar tahun 1918. Rusia hendak menyerang daerah Transkaukasus tersebut. Akhirnya mereka kembali ke Azerbaijan dan kemudan Ali dan beberapa tokoh non-fiktif seperti Fatali Khan (Perdana Menteri pertama Azerbaijan Democratic Republic) sempat memproklamirkan diri sebagai negara merdeka. Ali sendiri ditunjuku menjadi Deputi Luar Negeri. Tidak lama setelah kemerdekaan, Nino pun melahirkan seorang anak perempuan. Namun situasi semakin mendesak, Tentara Revolusi Bolshevik semakin merangsek dan mengepun Azerbaijan. Ali menyuruh Nino dan anak perempuannya yang baru lahir untuk pergi ke tempat yang lebih aman yaitu Teheran Iran, dimana setelah sampai disana Nino sangat tidak nyaman dengan aturan-aturan ketat seperti dia harus berkerudung saat keluar dari istana, dan tidak boleh pergi sendirian, harus ditemani pelayan. Akhirnya Nino pun meminta untuk pergi ke Paris. Kota dimana Ali pernah menjanjikan kepadanya untuk berbulan madu.

Akhir film ini ditunjukan dengan adegan saat Ali dan beberapa pejuang-pejuang Azerbaijan berperang dengan pasukan Bolshevik. Ali dkk berusaha untuk memutus akses pasukan musuh dengan cara menghancurkan rel kereta api yang menjadi satu-satunya jalur dipegunungan  itu. Namun, akibat kalah jumlah, Ali dkk termasuk Fatali Khan akhirya tewas terkena peluru. Ali meninggalkan Nino dan anak perempuannya yang masih kecil. The End...

Ok. ada beberapa informasi menarik dari film ini. Yang pertama di awal film dituliskan kalau daerah Transkaukasus ini merupakan daerah penghasil sekitar 50% lebih supply minyak dunia untuk saat ini. Ga heran kalau sekarang trio negara Transkaukasus (Georgia, Armenia dan Azerbajan), terutamanya Azerbaijan yang namanya sekarang semakin gencar terdengar dipanggung dunia karena kemakmurannya dari minyak yang melimpah. Buat kalian yang suka Formula One pasti tau, Azerbijan sudah beberapa kali menggelar balapan F1 di sirkuir jalan raya Baku. Tahun 2016 di bawah bendera Grand Prix Eropa, kemudian 2017 sampai dengan sekrang 2019 di bawah bendera Grand Prix Azerbaijan. Dan di Sepak Bola, Final UEFA Europa League (kejuaraan sepak bola paling bergengsi kedua di Eropa setelah UEFA Champions League) akan diadakan di Olympic Stadium Baku, Azerbaijan. Jika bicara mengenai filmnya, disini Azerbaijan mencoba menunjukan diri mereka sebagai negara 'Muslim Sy'iah yang sekuler' berbeda dengan Iran yang walaupun sama-sama Syi'ah, Iran sangat menjunjung tinggi 'Syariat Islam'. Hal ini terlihat saat adegan ranjang yang cukup vulgar saat Ali dan Nino melakukan hubungan suami-istri justru pada saat sebelum mereka menikah. Atau saat Nino sedang berada di Teheran Iran dimana dia merasa sangat sangat tidak nyaman dengan aturan-aturan ketat istana yang mewajibkan perempuan berkerudung atau ditemani jika mau keluar istana. Sangat berbeda kalau kita nonton film-film Iran seperti misalnya A Separation (2011) atau yang lebih terkenal Children of Heaven (1997), film tentang sepatu yang sempet hits zaman old. Film-film Iran tidak ada adegan-adengan dewasa dan hampir tidak ada musik disepanjang filmnya. Walaupun di film Ali & Nino ada juga adegan Ali ga mau minum khamr. Ya kayak pilih-pilih gitu deh syariat Islamnya mau yang mana yang ditaati haha.

Ok, itu penilaian gue mengenai film Ali & Nino yang diambil dari cerita legendaris Azerbaijan dan juga pengalaman tahun kedua gue nonton festival film di Europe on Screen di Erasmus Huis Pusat Kebudayaan Belanda. Film ini cukup bagus punya rating 7.0 di IMDB. Recommended lah buat ditonton. Semoga bermanfaat.

Sunday, May 5, 2019

Satu Malam di Museum Bahari Jakarta ex. Gudang rempah-rempah VOC.



Ya menginap di museum tepatnya Museum Bahari adalah pengalaman pertama gue bareng Komunitas Historia Indonesia (KHI) pada hari  Sabtu tanggal 27 April 2019. Acara ini pertama kali diadakan pada tahun 2009 dan menurut sumber informasi, KHI adalah yang pertama mengadakan acara menginap di Museum seperti ini. Museum Louvre di Paris, Perancis & American Museum of Natural History di New York, Amerika baru mengadakan acara ini sekitar tahun 2010-2012 Ya, Indonesia menjadi yang pertama di dunia untuk acara ini! Berawal dari teman di kantor lama yang melihat gue nge-like post instagram KHI tentang acara ini beberapa hari sebelumnya, akhirnya temen gue ngajakin dan akhirnya gue terpaksa ikut karena sebenernya agak takut-takut. Bagi peserta yang ingin ikut dikenakan biaya sebesar 125 ribu rupiah. Biaya tersebut sudah termasuk biaya masuk museum, kebersihan, makan malam dengan 2 menu utama, snack dan lain-lain.

Hari yang ditunggu pun tiba. Sekitar jam 6 sore, gue tiba di daerah Jakarta Kota dengan menggunakan Busway. Berhubung temen gue belum dateng dan dia nak KRL, akhirnya gue jalan aja ke Stasiun Jakarta Kota sembari nungguin dia datang. Temen gue pun datang juga. Kita masing-masing menuju ke Musem Bahari yang terletak kurang lebih sekitar 1 kilometer dari situ dengan menggunakan ojol. Sampai di lokasi karena sudah maghrb, gue dan temen gue melaksanakan sholat maghrib terlebih dahulu di sebuah Mushola yang terletak di belakang menara Syah Bandar. Kemudian kami melakukan registrasi. Peserta diberikan sebuah pin bertuliskan ‘Menginap di Museum’ beserta pita berwarna (kuning, biru, merah, hijau) dan harus dipasang didada sebagai tanda pengenal. Pita-pita ini diberikan oleh pantia sesuai dengan urutan kedatangan peserta dan nantinya untuk pembagian kelompok saat keliling museum setelah lewat tengah malam.

Sebuah cafe di museum itu dijadikan tempat utama acara ini sekaligus tempat untuk tidur nanti. Peserta diwajibkan membawa sleeping bag/matras untuk alas tidur di lantai. Para peserta mengenakan pakaian serba hitam untuk menambah kesan mencekam. Hal ini sudah diumumkan sebelumnya oleh panitia. Emang dasar kebiasaan ga baca detil, gue malah pake kaos kerah warna merah haha. Beruntung gue pake jaket warna abu-abu gelap. Jadi jaket itu ga gue lepas sampe besok paginya acara selesai. Masuk ke ruangan itu, kami meletakan barang-barang dan kemudian menukarkan kupon makan malam. Ada 2 menu utama makanan, nasi ulam dan bakwan (bakso) malam. Berhubung gue ga laper banget. Akhirnya gue Cuma ambil nasi ulam, makanan khas Jakarta. Terlihat juga beberapak awak media lalu-lalalng untuk meliput acara ini.

Setelah makan malam sampai jam 8 malam, kemudian acara dilanjutkan dengan kuis dengan menggunakan web. Dimana peserta akan diberikan 10 pertanyaan seputar Museum Bahari. Pertanyaan tersebut berdasarkan buku panduan yang diberikan saat registrasi. Tiga peserta yang berhasil menjawab dengan benar dengan score terbanyak mendapat hadiah dari panitia berupa buku sejarah bergambar. Kemudian ada bincang-bincang dengan creator konten digital Danang Pelo di instagram. Dimana si 2 orang creator baru berumur sekitar 19 tahun. Bincang-bincang dipandu oleh Asep Kambali, Sejarawan sekaligus pendiri Komunitas Historia. Kemudian ada stand up comedy, tapi sayang kurang lucu materinya. Lucunya malah karena pengisi malah banyak dibully sama penonton haha.

Jam 9 malam adalah sesi dialog dengan sang Sejarawan. Banyak informasi-informasi menarik seputar sejarah yang diberikan. Ia juga menjadi seorang konsultan sejarah Bank Indonesia untuk memasukan tokoh pahlawan asal Papua Frans Kaisiepo ke mata uang rupiah. Hal ini dikarenakan saat ia berkunjung ke Papua, banyak orang disana menayakan, ‘kenapa kami harus tau pahlawan-pahlawan dari Sumatera, Jawa? Tapi apakah orang-orang Sumatera dan Jawa tau pahlawan kami?’. Hal inilah kemudian yang menggerakannya untuk memasukan pahlawan Papua ke dalam mata uang rupiah. Sebab sebelumnya belum pernah ada pahlawan asal papua yang gambarnya ditampilkan di mata uang rupiah. Ia juga masih mempunyai keinginan supaya nama pahlwan asal Papua diabadikan menjadi nama jalan di kota-kota lain di Indonesia karena kita lihat misalnya Jalan Jenderal Sudirman, pasti nama jalan itu jadi nama jalan protokol di banyak kota. Sehingga pahlawan asal Papua harus juga dimasukan menjadi nama jalan, supaya orang Papua merasa memiliki negara ini. Ia mengatakan, banyak konflik terjadi dimasyarakat karena kita tidak mengenal satu sama lain. Asep Kambali juga menyinggung soal lomba-lomba yang sering diadakan saat 17 agustusan. Ia mengatakan tidak setuju dengan lomba-lomba tersebut karena itu merupakan simbol penjajahan dimasa lalu. Lomba panjat pinang misalnya, dahulu orang –orang Belanda mengadakan acara sebagai hiburan ini untuk melihat rakyat yang terjajah saling injak, berebut dan kotor-kotoran karena lumpur hanya untuk mengambil keju ataupun roti (makanan sehari-hari orang Belanda) yang dilatakan di atas tiang pinang. Makan kerupuk, dulu rakyat saking susahnya karena terjajah, hanya makan kerupuk dan garam. Balap karung, pakaian yang dipakai oleh rakyar saat tanam paksa. Asep Kambali mengatakan alangkah baiknya kalau lomba-lomba itu diganti dengan lomba misalnya lomba mirip-miripan pahlawan karena banyak dari kita tidak mengenal 173 pahlawan nasional yang ada di Indonesia. Menurut saya, Komunitas Historia ini berhasil mengemas sejarah yang terkenal 'jadul dan kuno' menjadi menarik khususnya bagi anak-anak muda. Serta membangkitkan semangat nasionalisme dikalangan anak muda yang semakin kesini semakin luntur.

Jam menunjukan pukul 11.30 malam, sesi dialogpun usai. Panitia membagi kelompok berdasarkan warna pita dan membacakan tata tertib selama tur museum. Peserta juga diberikan gelang fosfor berwarna untuk memudahkan pengenalan karena tur museum akan dilakukan dalam keadaan gelap gulita hanya dengan penerangan senter. Sebelum menentukan kelompok mana yang jalan terlebih dahulu, pemandu museum dipersilahkan mengajukan pertanyaan, kelompok mana yang bisa menjawab dengan benar akan jalan lebih dulu. Pertanyaannya adalah komoditas rempah apa saja yang disimpan pada masa VOC di museum Bahari? Jawabannya adalah cengkeh, lada, kayumanis dan pala. Kelompok gue (kuning) berhasil menjawab dengan benar. Akhirnya kami jalan duluan.

Ruang pertama yang kami singgahi adalah Ruang Kapal-kapal Nusantara. Ada banyak kapal-kapal Nusantara di ruangan itu, yang menarik adalah kapal asal Kalimantan yang terbuat dari kayu ulin. Dimana dalam proses pembuatannya batang kayu ulin yang besar dibakar sampai melebar hinggi bisa menjadi kapal. Si Pemandu banyak bercerita juga tentang Museum ini yang didirikan sekitar tahun 1600. Kayu-kayunya masih asli dan kokoh sampai sekarang. Sayang tahun 2017 beberapa bagian museum sempat terbakar. Saat pemandu sedang menjelaskan, beberapa peserta mendengar suara perempuan bersenandung (bernyanyi tapi tanpa kata, hanya nanda). Suaranya sangat merdu dan lembut. Gue juga celingukan nyari-nyari dari mana sumber suara itu. Arahnya dari kanan gue tapi ga ada siapa-siapa disitu. Gue mulai merinding. Peserta yang mendengar mencoba tetap kalem. Dan setelah keluar ruangan, kami menanyakan kepada pemandu, memang di ruangan suatu sudut di ruangan itu ada sosok berupa non-noni Belanda sehingga sering ada suara-suara aneh dan bahkan dia menampakan diri. Gue pun tambah merinding. Waktu awal masuk ruangan itu emang yang gue rasain udah ga enak, kaki gue kayak berat pas lagi jalan.

Kemudian ruang dilantai 2 berisi patung-patung diorama yang menceritakan kadatangan bangsa eropa & bangsa Asia Timur (Cheng Ho) ke Nusantara. Masuk ruangan ini suasananya kayak pengap dan kepala gue agak pusing tapi keluar dari situ biasa lagi. Ada juga lukisan Malahayati, satu-satunya Panglima aramada perang dari Aceh. Konon beberapa wartawan yang datang ingin memotret lukisan berukuran besar itu tidak jadi memotret dan ketakutan karena melihat bola matanya bergerak. Ruangan terakhir adalah ruangan kapal-kapal papua. Dimana kapal-kapal itu setiap 3 bulan sekali dirawat khusus  dengan diolesi minyak oleh orang-otang yang didatangkan langsung dari Papua. Diruangan itu juga si Pemandu mengatakan, sebagai ‘pasarnya lelembut’ di museum ini. Dia bilang, ada sosok Mbah Item, pendekar Zaman Belanda dengan postur tinggi besar namun dibunuh oleh Belanda pada waktu tu. Orang-orang VOC yang datang menjajahNusantara memang terkenal sadis-sadis. Mereka tidak segan-segan membunuh setiap orang yang membangkang atau memberontak. Nama Batavia sendiri pada waktu itu diambil dari nama Bataviren, suku dari daerah pedalaman di Belanda yang mana orang-orangnya terkenal kejam dan sadis.

Yang terakhir ada Menara Syah Bandar. Menara itu mengalami kemiringan setiap tahunnya sehingga tidak boleh lagi dinaiki. Konon katanya, di bawah menara ini ada terowongan yang menggabungkan Lapangan Banteng (sekarang Monumen Pembebasan Papua Barat) dengan Pelabuhan Sunda Kelapa. Tujuan terowongan itu adalah untuk jalan pintas kabur orang-orang Belanda apabila terjadi serangan. Ada juga titik km 0 Kota Jakarta di salah satu ruangan dekat Menara Syah Bandar. Ya memang dulu sekali zaman VOC, pusat pemerintahan memang ada disini namun lama-kelamaan bergeser ke arah tengah kota Jakarta sekang ini di sekitar Monas.

Waktu sudah pukul 2 malam peserta kembali ke ruangan tempat berkumpul untuk tidur. Panitia mengumumkan bahwa acara sudah selesai dengan diputarnya film Max Havelaar karya sastra fenomenal karangan Douwes Dekker dengan nama pena Multatuli. Peserta dipersilahkan tdur atau nonton. Gue udah ngantuk banget jadi ga kuat nonton film itu. Ada beberapa peserta yang masih terangun nonton film itu. Lagi-lagi gue mengalami kejadian mistis saat tidur. Badan gue berasa ketindihan ga bisa gerak. Dan saat gue coba untuk melek, gue melihat ada sosok dengan muka kakek-kakek tepat di depan muka gue. Abis itu gue langsung bangun, kaget juga. Ga lama abis itu azan subuh berkumandang, gue dan temen gue siap-siap mengemas barang-barang dan sholat subuh untuk kemudian balik ke rumah. Peserta dipersilahkan tidur sampai jam 6 pagi dan paniata juga akan membubarkan diri jam segitu.


Foto di depan titik km 0 nya Jakarta


Ya itulah pengalaman pertama gue bareng Komunitas Historia Indonesia. Berikutnya akan ada beberapa acara lagi katanya seperti Tur Mesjid pada saat bulan Ramadhan dan ada nginep di museum lagi bulan Juni. Kali ini ga kalah horor, di Museum Fatahilah Jakarta Kota. Ini tempat pernah jadi lokasi uji nyali Masih Dunia Lain wkwk. Mudah-mudahan bisa ikut lagi ya.