Ok, saatnya nulis
lagi setelah beberapa bulan ini ga pernah nulis. Kali ini gue mau nulis tentang
sebuah film yang gue tonton di Kineforum, kompleks Taman Ismail Marzuki,
Cikini, Jakarta Pusat. Sesuai judul tulisan ini, film ini berjudul Mentari di
Ufuk Timur. Film ini diputar dalam rangkaian acara East Cinema yang
diselenggarakan oleh IKJ. Acara ini bertema tentang diputarnya karya-karya film
dari wilayah Indonesia bagian timur seperti Papua dan Makassar, serta juga film
dari Timur Tengah (Middle East) seperti Palestina, Irak dll.
Film yang gue tonton ini diangkat dari
kisah nyata terinspirasi dari kehidupan sang sutradara, berlatar dan setting di
Papua tepatnya di Kabupaten Muting Merauke sekitar tahun 1997. Kisah ini
mengenai anak-anak penduduk kampung setempat yang sulit melanjutkan sekolah ke
jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) karena mereka
harus melanjutkan sekolah di Kota Merauke
yang jaraknya jauh, sementara mereka terkendala biaya apabila harus hidup jauh dari rumah.
Akhirnya beberapa sesepuh kampung yaitu Pak Bachtiar (Mathias Muchus) orang
Bugis yang sudah lama tinggal di Muting), Kasimirus Mahuze (Edo Kondologit) dan
Pak Wambrauw (Daud Hollenger) seorang PNS dan Kepala Sekolah SMP setempat
berinisiatif untuk mengajukan proposal pendirian SMA Negeri ke Pemerintah.
Mereka bertiga pun akhirnya menemui
Penjabat Pemerintah setempat dan disetujui untuk didirikan SMA Negeri di Muting
apabila syaratnya terpenuhi yaitu minimal ada 8 orang murid. Pak Bachtiar
ditunjuk sebagai Ketua dalam pencarian itu dikarenakan ia berhasil
menyekolahkan anaknya yang pertama Irham Acho (sutradar film ini) sampai ke
tingkat perguruan tinggi, selain itu ia juga dianggap sebagai orang yang paling
dihargai dan memahami kampung tersebut karena sudah puluhan tahun tinggal di
Muting. Mereka bertiga setuju dan berusaha untuk memenuhi kuota tersebut dalam
waktu 2 minggu. Pak Bachtiar mepunyai seorang anak yang bernama Ikbal (Saddam
Bassalamah) dan Pak Kasimirus juga punya seorang anak bernama Zefnat (Richard
Hollenger), berarti mereka harus mencari 6 orang murid lagi. Pencarian tersebut
juga dibantu oleh seorang guru SMP yang berasal dari jawa bernama Dewi
Ambarwati (Nadine Chandrawinata). Jika mereka gagal memenuhi syarat yang
diajukan, maka bangunan sekolah SMA tidak akan dibangun di Muting. Namun, akan
dibangun di Bupul
yang letaknya masih terlampau
cukup jauh dari Muting karena tempat tersebut merupakan daerah yang dekat
dengan kawasan transmigrasi sehingga diharapkan ada banyak murid yang mau
sekolah.
Pak Bachtiar, Pak Kasimirus dan Ibu Dewi
berkeliling kampung berusaha untuk meyakinkan dan mengajak orang tua setempat
supaya mengizinkan anaknya lanjut sekolah. Singkat cerita, bukan hal mudah
untuk menemukan 6 orang murid dikampung tersebut. Hal ini dikarenakan penduduki
setempat merasa melanjutkan pendidikan bukanlah menjadi suatu prioritas karena
terkendala biaya terutamanya. Sebagian anak-anak ada yang sudah menjadi tulang
punggung keluarga entah karena ayahnya sudah meninggal atau memang merasa kehidupan
disana sangat sulit. Alhasil mereka engga melanjutkan pendidikan ke tingkat
SMA. Di bagian akhir film, akhirnya setelah bersusah payah mereka berhasil
mengumpulkan 8 murid SMA.
Ada beberapa hal menarik dalam film ini,
yang pertama mengenai adegan percakapan Pak Kasimirus dengan seorang anak di
tepi sebuah kali yang dia ajak untuk sekolah, “Kita (Papua) adalah orang-orang
yang pertama melihat mentari di ufuk timur negeri ini, tapi tempat ini menjadi
tempat yang paling tertinggal di negeri ini”. Sungguh sebuah kalimat yang
sangat dalam sekaligus menyindir. Film ini juga menampilkan adegan-adegan yang
terkait kearifan lokal setempat, seperti misalnya ketika Ibu Dewi yang sedang
mencari murid hendak melintasi sebuah rumah yang sedang berkabung maka si pemiliki
rumah akan memasang sebuah patok kayu berwarna merah di depan rumah. Dia
diperingatkan oleh seorang anak kecil untuk tidak berjalan melewati patok
tersebut karena kalau dilanggar akan terkena denda.
Pemutaran film ini dihadiri oleh
Sutradara dan beberapa pemeran dalam film tersebut seperti istri Pak Bachtiar,
Ikbal dan Pak Wambrauw, tapi sayangnya pemain utama seperti Mathias Muchus, Edo
Kondologit dan Nadine Chandrawinata tidak hadir. Setelah pemutaran film,
diadakan bincang-bincang mengenai film tersebut. Ya seperti yang sudah
dijelaskan tadi, film ini diangkat dari kisah nyata sang sutradara. Juga
diceritakan mengenai pembuatan film tersebut. Teryata dalam proses shooting
film, Mathias Muchus sempat hampir dipanah oleh salah seorang warga Suku Marind
karena disangka mau ngambil tanah. Akhirnya setelah dijelaskan, warga minta
denda sebesar 10 juta rupiah! Untungnya ada Pak Bachtiar yang sudah dianggap
sesepuh kampung dan akhirnya denda cuma 1 juta. Si Saddam Bassalamah pemeran
Ikbal yang pada saat itu masih seumuran anak SMP, menghabiskan waktu
berminggu-minggu terlebih dahulu untuk berbaur dan bermain dengan anak-anak
Suku Marind supaya dia bisa menirukan logat setempat dengan fasih.
Film ini tadinya mau diputar di bioskop
di bulan Juli tahun 2014 tapi setelah gue baca-baca blognya si sutrada, ga tau
kenapa ini film batal tayang. Sayang banget padahal menurut gue film ini sangat
bagus dari sisi cerita dan bisa menginspirasi. Akhirnya menurut si sutrada,
film tersebut akhirnya di tayangkan pertama kali di Papua kayak di Uncen dan
beberapa kota-kota lain. Dan pertama kalinya juga film ini di putar luar Papua
saat acara East Cinema di Jakarta itu.
No comments:
Post a Comment