Saturday, August 25, 2018

Mentari di Ufuk Timur


         Ok, saatnya nulis lagi setelah beberapa bulan ini ga pernah nulis. Kali ini gue mau nulis tentang sebuah film yang gue tonton di Kineforum, kompleks Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Sesuai judul tulisan ini, film ini berjudul Mentari di Ufuk Timur. Film ini diputar dalam rangkaian acara East Cinema yang diselenggarakan oleh IKJ. Acara ini bertema tentang diputarnya karya-karya film dari wilayah Indonesia bagian timur seperti Papua dan Makassar, serta juga film dari Timur Tengah (Middle East) seperti Palestina, Irak dll.
       Film yang gue tonton ini diangkat dari kisah nyata terinspirasi dari kehidupan sang sutradara, berlatar dan setting di Papua tepatnya di Kabupaten Muting Merauke sekitar tahun 1997. Kisah ini mengenai anak-anak penduduk kampung setempat yang sulit melanjutkan sekolah ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) karena mereka harus melanjutkan sekolah di Kota Merauke yang jaraknya jauh, sementara mereka terkendala biaya apabila harus hidup jauh dari rumah. Akhirnya beberapa sesepuh kampung yaitu Pak Bachtiar (Mathias Muchus) orang Bugis yang sudah lama tinggal di Muting), Kasimirus Mahuze (Edo Kondologit) dan Pak Wambrauw (Daud Hollenger) seorang PNS dan Kepala Sekolah SMP setempat berinisiatif untuk mengajukan proposal pendirian SMA Negeri ke Pemerintah.
       Mereka bertiga pun akhirnya menemui Penjabat Pemerintah setempat dan disetujui untuk didirikan SMA Negeri di Muting apabila syaratnya terpenuhi yaitu minimal ada 8 orang murid. Pak Bachtiar ditunjuk sebagai Ketua dalam pencarian itu dikarenakan ia berhasil menyekolahkan anaknya yang pertama Irham Acho (sutradar film ini) sampai ke tingkat perguruan tinggi, selain itu ia juga dianggap sebagai orang yang paling dihargai dan memahami kampung tersebut karena sudah puluhan tahun tinggal di Muting. Mereka bertiga setuju dan berusaha untuk memenuhi kuota tersebut dalam waktu 2 minggu. Pak Bachtiar mepunyai seorang anak yang bernama Ikbal (Saddam Bassalamah) dan Pak Kasimirus juga punya seorang anak bernama Zefnat (Richard Hollenger), berarti mereka harus mencari 6 orang murid lagi. Pencarian tersebut juga dibantu oleh seorang guru SMP yang berasal dari jawa bernama Dewi Ambarwati (Nadine Chandrawinata). Jika mereka gagal memenuhi syarat yang diajukan, maka bangunan sekolah SMA tidak akan dibangun di Muting. Namun, akan dibangun di Bupul yang letaknya masih terlampau cukup jauh dari Muting karena tempat tersebut merupakan daerah yang dekat dengan kawasan transmigrasi sehingga diharapkan ada banyak murid yang mau sekolah.
       Pak Bachtiar, Pak Kasimirus dan Ibu Dewi berkeliling kampung berusaha untuk meyakinkan dan mengajak orang tua setempat supaya mengizinkan anaknya lanjut sekolah. Singkat cerita, bukan hal mudah untuk menemukan 6 orang murid dikampung tersebut. Hal ini dikarenakan penduduki setempat merasa melanjutkan pendidikan bukanlah menjadi suatu prioritas karena terkendala biaya terutamanya. Sebagian anak-anak ada yang sudah menjadi tulang punggung keluarga entah karena ayahnya sudah meninggal atau memang merasa kehidupan disana sangat sulit. Alhasil mereka engga melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA. Di bagian akhir film, akhirnya setelah bersusah payah mereka berhasil mengumpulkan 8 murid SMA.
       Ada beberapa hal menarik dalam film ini, yang pertama mengenai adegan percakapan Pak Kasimirus dengan seorang anak di tepi sebuah kali yang dia ajak untuk sekolah, “Kita (Papua) adalah orang-orang yang pertama melihat mentari di ufuk timur negeri ini, tapi tempat ini menjadi tempat yang paling tertinggal di negeri ini”. Sungguh sebuah kalimat yang sangat dalam sekaligus menyindir. Film ini juga menampilkan adegan-adegan yang terkait kearifan lokal setempat, seperti misalnya ketika Ibu Dewi yang sedang mencari murid hendak melintasi sebuah rumah yang sedang berkabung maka si pemiliki rumah akan memasang sebuah patok kayu berwarna merah di depan rumah. Dia diperingatkan oleh seorang anak kecil untuk tidak berjalan melewati patok tersebut karena kalau dilanggar akan terkena denda.
       Pemutaran film ini dihadiri oleh Sutradara dan beberapa pemeran dalam film tersebut seperti istri Pak Bachtiar, Ikbal dan Pak Wambrauw, tapi sayangnya pemain utama seperti Mathias Muchus, Edo Kondologit dan Nadine Chandrawinata tidak hadir. Setelah pemutaran film, diadakan bincang-bincang mengenai film tersebut. Ya seperti yang sudah dijelaskan tadi, film ini diangkat dari kisah nyata sang sutradara. Juga diceritakan mengenai pembuatan film tersebut. Teryata dalam proses shooting film, Mathias Muchus sempat hampir dipanah oleh salah seorang warga Suku Marind karena disangka mau ngambil tanah. Akhirnya setelah dijelaskan, warga minta denda sebesar 10 juta rupiah! Untungnya ada Pak Bachtiar yang sudah dianggap sesepuh kampung dan akhirnya denda cuma 1 juta. Si Saddam Bassalamah pemeran Ikbal yang pada saat itu masih seumuran anak SMP, menghabiskan waktu berminggu-minggu terlebih dahulu untuk berbaur dan bermain dengan anak-anak Suku Marind supaya dia bisa menirukan logat setempat dengan fasih.
       Film ini tadinya mau diputar di bioskop di bulan Juli tahun 2014 tapi setelah gue baca-baca blognya si sutrada, ga tau kenapa ini film batal tayang. Sayang banget padahal menurut gue film ini sangat bagus dari sisi cerita dan bisa menginspirasi. Akhirnya menurut si sutrada, film tersebut akhirnya di tayangkan pertama kali di Papua kayak di Uncen dan beberapa kota-kota lain. Dan pertama kalinya juga film ini di putar luar Papua saat acara East Cinema di Jakarta itu.

No comments:

Post a Comment