Saturday, August 25, 2018

‘Timnas Yugoslavia’


         Ok selanjutnya gue akan langsung nulis tulisan kedua di hari yang sama ini mumpung mood dan waktu menulis ini lagi bagus haha. Sebenernya tulisan ini mau gue tulis sekitar pertengahan Juli lalu ga lama setelah Final Piala Dunia 2018 antara Perancis vs Kroasia. Ada yang tau kenapa? Ya, betul karena salah satu finalisnya adalah Kroasia, salah satu negara di Kawasan Balkan eropa Tenggara ex-Yugoslavia. Tulisan ini mencoba mengulas dari sisi pandang antropologi (meskipun gue bukan antropolog), sosial budaya dan mengambil pelajaran-pelajaran penting dari hal tersebut.
       Well, Ok kita mulai. Kroasia pada edisi Piala Dunia di Rusia tahun ini berhasil mencatatkan sejarah menjadi finalis untuk pertama kalinya. Bahkan melebihi prestasi Golden Ageera Slaven Bilic pendahulu mereka yang berhasil merebut tempat ketiga pada Piala Dunia tahun 1998 di Perancis. Bisa dikatakan, Kroasia merupakan negara pecahan Yugoslavia tersukses kiprahnya dalam Piala Dunia. Namun sayang, mereka harus tunduk dari Perancis di pertandingan final itu dengan skor 4-2.Kroasiasendiri tanpa Slovenia, Serbia, Montenegro, Kosovo, Bosnia-Herzegovina dan Makedonia (negara-negara pecahan Yugoslavia lain), sudah memiliki banyak pemain-pemain hebat yang bermain di liga-liga utama Eropa, seperti Luca Modric (Madrid), Mario Mandzukic (Juventus) dan lain-lain. Bisa dibayangkan gimana kalo Yugoslavia masih berdiri, pasti mereka bakalan punya timnas yang lebih kuat berisi materi-materi pemain yang hebat-hebat.
       Gue coba kutip dari berbagai sumber, kalo seandainya timnas Yugoslavia masih ada, mungkin Starting Eleven pemain-pemainnya seperti ini*:
1.  Jan Oblak (Slovenia, Kiper,Atletico Madrid).
2.  Dejan Lovren (Kroasia, Bek, Liverpool)
3.  Stefan Savic (Montenegro, Bek, Atletico Madrid)
4.  Aleksander Kolarov (Serbia, Bek, AS Roma)
5.  Sime Vrsaljko (Kroasia, Bek, Inter Milan)
6.  Luca Modric (Kroasia, Gelandang, Real Madrid)
7.  Ivan Rakitic (Kroasia, Gelandang, Barcelona)
8.  Ivan Perisic (Kroasia, Gelandang, Inter Milan)
9.  Miralem Pjanic (Bosnia-Herz, Gelandang, Juventus)
10. Duvan Tadic (Serbia, Penyerang, Ajax Amsterdam)
11. Edin Dzeko (Bosnia, Penyerang, AS Rom
*klub saat bulan Agustus 2018

Bisa dilihat nama-nama itu adalah nama-nama yang diperhitungkan dikancah sepak bola Eropa saat ini. Masih ada nama lain kayak Nemanja Matic (Serbia, Bek, Manchester United). Belum lagi dulu ada nama kayak Nemanja Vidic (Serbia).

       Yugoslavia (1918-2006) dulunya adalah negara multietnis dan multiagama terletak di Kawasan Balkan Tenggara Eropa yang bisa dibilang kawasan tersebut merupakan persilangan budaya berbagai bahasa, etnis Slavic dan juga tempat pertemuan agama-agama besar dunia seperti Islam, Katolik Ortodoks dan Katolik Roma. Sesuai dengan namanya, etnis dan bahasa yang ada di yugoslavia secara garis besar adalah Serbia, Kroasia, Montenegrin (Serbo-Kroasia, varian bahasa Serbia), Slovenia, Bosnia dan Makedonia. Kira-kira kalo dibuat tabel akan seperti ini:

Negara
Jumlah Penduduk ±
Etnis
Serbia
7 Juta
Serbia 83,3%; Bosnia 2%; Kroasia 0,8%
Kroasia
4 juta
Kroasia 90,4%; Serbia 4,4%
Slovenia
2 juta
Slovenia 83,06%; Serbia 1,98%; Kroasia 1,81%; Bosnia 1,1%
Bosnia & Herzegovina
3,8 juta
Bosnia 50,11%; Serbia 30,78%; Kroasia 15,43%
Montenegro
640 ribu
Montenegrin 45%; Serbia 28,7%; Bosnia 8,6%; Albania 4,9% Kroasia 1%; Makedonia 0,2%; Slovenia 0,1%.
Makedonia
2 juta
Makedonia 64,18%; Albania 25.17%; Turks 3,85%; Serbia 1,78; Bosnia 0.84%
Kosovo
1,9 juta
Albania 92%; Serbia 4%; Bosnia 2%
Tabel persebaran etnis di negara ex-Yugoslavia. Sumber: Wikipedia.

Sementara untuk persebaran agamanya, tabelnya kurang lebih seperti ini:
Negara
Mayoritas Agama
Serbia
Katolik Ortodoks 84,5%; Katolik Roma 6%; Islam 3%.
Kroasia
Katolik Roma 86,28%; Ortodoks 4,44%; Islam 1,47%.
Slovenia
Katolik Roma 57,8%; Islam 2,4%; Ortodoks 2,3%.
Bosnia & Herzegovina
Islam 51%; Ortodoks 31%, Katolik 15%.
Montenegro
Katolik Ortodoks 72,1% ; Islam 19%; Katolik Roma 3.4%.
Makedonia
Kristen Ortodoks 64,8%; Islam 33,3%.
Kosovo
Islam 95,6%; Ortodoks 5%; Katolik 3,69%.
Tabel persebaran agama di negara ex-Yugoslavia. Sumber: Wikipedia.

       Yugoslavia dikatakan pecah akibatadanya gesekankarena perbedaan antar etnis dan agama seperti di atas. Sehingga proses pecahnya Yugoslavia sering disebut sebagai Balkanisasi (merujuk dari wilayah Balkan). Masing-masing negara dianggap merepresentasikan etnis dan agama tertentu, misalnya Serbia dianggap Ortodoks, Kroasia dan Slovenia Katolik dan Bosnia Islam. Tapi kalo kita lihat dari presentase etnis dan agama dari tabel di atas, artinya, tidak mutlak Serbia itu ortodoks, dst. Malah kalo kita lihat Bosnia, etnis Bosnia dan Islamnya cuma setengah lebih dikit, sisanya ada etnis Serbia dan Kroasia serta agama Ortodoks dan Katolik. Bosnia juga masih terbagi jadi 2 entitas besar: Bosnia (mayoritas etnis Bosnia), Republiks Sprska (Mayoritas etnis Serbia). Di Serbia, ada mayoritas Katolik di Vojdovina. Begitu juga Montenegro dan Makedonia penduduknya dari beragam etnis dan agama. Di Montnegro malah tidak ada satu etnis pun yang presentasi nya mencapai mayoritas 50% lebih. Kosovo agak sedikit berbeda diantara yang lainnya, ia dihuni oleh mayoritas etnis Albania yang selama ini tinggal di wilayah Serbia.

       Kesimpulan apa yang bisa kita tark dari sejarah di atas? Menurut hemat penulis, Yugoslavia pecah tidak murni atau tidak mutlak karena perbedaan etnis, bahasa dan agama seperti yang selama ini di yakini oleh kebanyakan orang, karena faktanya masing-masing negara tidak ada yang secara mutlak merepresentasikan etnis atau agama tertentu. Di setiap negara bekas pecahan Yugoslavia tetap masih ditemukan berbagai etnis dan agama. Bukan tidak mungkin Yugoslavia pecah melainkan karena adanya adu domba dari pihak lain dengan menfaatkan celah-celah potensi gesekan dari kemajemukan disana.

       Kemudian pelajaran apa yang bisa kita petik dari hal tersebut? Negara kita Indonesia, juga terdiri dari berbagai etnis yang bahkan jumlahnya jauh lebih banyak dari Yugoslavia dan juga terdiri dari berbagai agama. Jadi, jangan sampai terjadi balkanisasi untuk memecah belah Indonesia terjadi di wilayah Nusantara ini. Keragaman penduduk seharusnya menjadi kekuatan bagi sebuah bangsa seperti Indonesia ini. Lihat lagi pengandaianList Starting Elevenpemain-pemain di atas andai Yugoslavia masih berdiri sampai detik ini, mereka akan memiliki Timnas Sepak Bola yang cukup kuat dan bukan tidak mungkin bisa menjuarai Piala Dunia jika mereka masih bersatu.

Mentari di Ufuk Timur


         Ok, saatnya nulis lagi setelah beberapa bulan ini ga pernah nulis. Kali ini gue mau nulis tentang sebuah film yang gue tonton di Kineforum, kompleks Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Sesuai judul tulisan ini, film ini berjudul Mentari di Ufuk Timur. Film ini diputar dalam rangkaian acara East Cinema yang diselenggarakan oleh IKJ. Acara ini bertema tentang diputarnya karya-karya film dari wilayah Indonesia bagian timur seperti Papua dan Makassar, serta juga film dari Timur Tengah (Middle East) seperti Palestina, Irak dll.
       Film yang gue tonton ini diangkat dari kisah nyata terinspirasi dari kehidupan sang sutradara, berlatar dan setting di Papua tepatnya di Kabupaten Muting Merauke sekitar tahun 1997. Kisah ini mengenai anak-anak penduduk kampung setempat yang sulit melanjutkan sekolah ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) karena mereka harus melanjutkan sekolah di Kota Merauke yang jaraknya jauh, sementara mereka terkendala biaya apabila harus hidup jauh dari rumah. Akhirnya beberapa sesepuh kampung yaitu Pak Bachtiar (Mathias Muchus) orang Bugis yang sudah lama tinggal di Muting), Kasimirus Mahuze (Edo Kondologit) dan Pak Wambrauw (Daud Hollenger) seorang PNS dan Kepala Sekolah SMP setempat berinisiatif untuk mengajukan proposal pendirian SMA Negeri ke Pemerintah.
       Mereka bertiga pun akhirnya menemui Penjabat Pemerintah setempat dan disetujui untuk didirikan SMA Negeri di Muting apabila syaratnya terpenuhi yaitu minimal ada 8 orang murid. Pak Bachtiar ditunjuk sebagai Ketua dalam pencarian itu dikarenakan ia berhasil menyekolahkan anaknya yang pertama Irham Acho (sutradar film ini) sampai ke tingkat perguruan tinggi, selain itu ia juga dianggap sebagai orang yang paling dihargai dan memahami kampung tersebut karena sudah puluhan tahun tinggal di Muting. Mereka bertiga setuju dan berusaha untuk memenuhi kuota tersebut dalam waktu 2 minggu. Pak Bachtiar mepunyai seorang anak yang bernama Ikbal (Saddam Bassalamah) dan Pak Kasimirus juga punya seorang anak bernama Zefnat (Richard Hollenger), berarti mereka harus mencari 6 orang murid lagi. Pencarian tersebut juga dibantu oleh seorang guru SMP yang berasal dari jawa bernama Dewi Ambarwati (Nadine Chandrawinata). Jika mereka gagal memenuhi syarat yang diajukan, maka bangunan sekolah SMA tidak akan dibangun di Muting. Namun, akan dibangun di Bupul yang letaknya masih terlampau cukup jauh dari Muting karena tempat tersebut merupakan daerah yang dekat dengan kawasan transmigrasi sehingga diharapkan ada banyak murid yang mau sekolah.
       Pak Bachtiar, Pak Kasimirus dan Ibu Dewi berkeliling kampung berusaha untuk meyakinkan dan mengajak orang tua setempat supaya mengizinkan anaknya lanjut sekolah. Singkat cerita, bukan hal mudah untuk menemukan 6 orang murid dikampung tersebut. Hal ini dikarenakan penduduki setempat merasa melanjutkan pendidikan bukanlah menjadi suatu prioritas karena terkendala biaya terutamanya. Sebagian anak-anak ada yang sudah menjadi tulang punggung keluarga entah karena ayahnya sudah meninggal atau memang merasa kehidupan disana sangat sulit. Alhasil mereka engga melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA. Di bagian akhir film, akhirnya setelah bersusah payah mereka berhasil mengumpulkan 8 murid SMA.
       Ada beberapa hal menarik dalam film ini, yang pertama mengenai adegan percakapan Pak Kasimirus dengan seorang anak di tepi sebuah kali yang dia ajak untuk sekolah, “Kita (Papua) adalah orang-orang yang pertama melihat mentari di ufuk timur negeri ini, tapi tempat ini menjadi tempat yang paling tertinggal di negeri ini”. Sungguh sebuah kalimat yang sangat dalam sekaligus menyindir. Film ini juga menampilkan adegan-adegan yang terkait kearifan lokal setempat, seperti misalnya ketika Ibu Dewi yang sedang mencari murid hendak melintasi sebuah rumah yang sedang berkabung maka si pemiliki rumah akan memasang sebuah patok kayu berwarna merah di depan rumah. Dia diperingatkan oleh seorang anak kecil untuk tidak berjalan melewati patok tersebut karena kalau dilanggar akan terkena denda.
       Pemutaran film ini dihadiri oleh Sutradara dan beberapa pemeran dalam film tersebut seperti istri Pak Bachtiar, Ikbal dan Pak Wambrauw, tapi sayangnya pemain utama seperti Mathias Muchus, Edo Kondologit dan Nadine Chandrawinata tidak hadir. Setelah pemutaran film, diadakan bincang-bincang mengenai film tersebut. Ya seperti yang sudah dijelaskan tadi, film ini diangkat dari kisah nyata sang sutradara. Juga diceritakan mengenai pembuatan film tersebut. Teryata dalam proses shooting film, Mathias Muchus sempat hampir dipanah oleh salah seorang warga Suku Marind karena disangka mau ngambil tanah. Akhirnya setelah dijelaskan, warga minta denda sebesar 10 juta rupiah! Untungnya ada Pak Bachtiar yang sudah dianggap sesepuh kampung dan akhirnya denda cuma 1 juta. Si Saddam Bassalamah pemeran Ikbal yang pada saat itu masih seumuran anak SMP, menghabiskan waktu berminggu-minggu terlebih dahulu untuk berbaur dan bermain dengan anak-anak Suku Marind supaya dia bisa menirukan logat setempat dengan fasih.
       Film ini tadinya mau diputar di bioskop di bulan Juli tahun 2014 tapi setelah gue baca-baca blognya si sutrada, ga tau kenapa ini film batal tayang. Sayang banget padahal menurut gue film ini sangat bagus dari sisi cerita dan bisa menginspirasi. Akhirnya menurut si sutrada, film tersebut akhirnya di tayangkan pertama kali di Papua kayak di Uncen dan beberapa kota-kota lain. Dan pertama kalinya juga film ini di putar luar Papua saat acara East Cinema di Jakarta itu.

Tuesday, July 3, 2018

The Divine Order: Sebuah film yang menggambarkan konservatisme Swis terhadap wanita sampai dengan tahun 1971.

             


Well Ok, setelah sekian lama ga nulis sekarang saatnya buat nulis blog lagi :D. Seperti biasa, sebenernya gue pengen nulis tentang topic kali ini udah dari sekitar dua bulan lalu. Jadi, tulisan kali ini tentang sebuah film yang berjudul The Divinie Order yang artinya Tatanan Illahi. Film yang berbahasa Jerman ini gue tonton pada saat acara Europe on Screen 2018 sekitar awal bulan Mei. Europe on Screen adalah acara festival pemutaran film-film Eropa (non mainstream) dalam rangka Europe Day yang diperingati setiap tanggal 9 Mei. Film-film yang diputar adalah film yang ga ada di bioskop tapi tetep termasuk kategori film bagus dan patut ditonton karena klo diliat di IMDB ratingnya bagus, rata-rata di atas 7 (dari skala 10). Ada juga yang ratingnya 6 koma sekian. Europe on Screen ini diselenggarakan selama 10 hari di pusat-pusat kebudayaan asing yang ada di Jakarta kayak Goethe Haus, IFI, IIC, Erasmus, juga di tempat pementasan seni-teater kayak Taman Ismail Marzuki (TIM) & Kine Forum. Awalnya gue berangkat ke Goethe mau nonton film yang lain, tapi ternyata salah liat jadwal akhirnya yaudah deh nonton film The Divine Order ini. Ternyata filmnya bagus, ada nilai-nilai sejarah dan pelajaran yang bisa dipetik. Bagi orang yang suka sejarah kayak gue, pasti demen banget nonton film model gini. Yaudah langsung aja gini sinopsis filmnya secara garis besar.




Nora Ruckstuhl adalah seorang wanita yang sudah berkeluarga dan tinggal di Swis. Dia memiliki seorang suami yang bernama Hans Ruckstuhl yang bekerja di sebuah bengkel dan 2 orang anak. Nora adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari berpenampilan baju kurung (semacam baju tradisional pedesaan eropa), mengurus pekerjaan rumah seperti pada umumnya kayak bersih-bersih rumah, cuci piring, cuci baju, menyiapkan sarapan dan makan malam untuk keluarga. Swis pada waktu itu sebelum tahun 1971 merupakan negara di Eropa yang paling konservatif atau kolot terhadap perempuan. Bekerja diluar rumah adalah hal yang tabu bagi kaum wanita, bahkan berpakaian modis menggunakan jeans juga tidak umum bagi mereka. Namun, Noura jenuh dengan kehidupannya yang menurut dia gitu-gitu aja. Akhirnya sedikit demi sedikit dia mulai penampilannya dengan meubah potongan rambutnya, menggunakan baju kaos dan celana jeans serta berusaha mencari pekerjaan di luar rumah meskipun Hans tidak mengizinkannya. Dan benar, banyak tempat menolaknya bekerja karena dia seorang perempuan.

 Di tengah perjalanannya mencari pekerjaan Nora bertemu dengan seorang wanita tua yang bernama Vroni. Nora akhirnya mengetahui bahwa Vroni adalah seorang wanita kehilangan sebuah restoran karena dia adalah seorang perempuan. Sementara suaminya tidak becus mengurus restoran tersebut. Merasa tidak adil, sepulangnya di rumah Nora berpikir untuk melakukan perubahan. Hal itu dilakukannya saat suaminya Hans melakukan wajib militer (kayak udah gue tulis di tulisan sebelumnya, Swis menerapkan wajib militer bagi warganya), dia mulai menyebar pamflet ke seluruh kota untuk mengumpulkan kaum wanita agar berani bersuara merubah keadaab dan memiliki hak pilih dalam pemilu. Dia juga memimpin aksi demonstrasi di tengah kota dan akhirnya mengumpulkan mereka di sebuah Pizzaria. Namun pada hari itu Hans baru saja menyelesaikan wajib militernya dan kembali ke kota. Hans kaget melihat banyak pamflet yang menyuarakan hak-hak kaum wanita dan ada foto istrinya disitu. Akhirnya Hans menghampiri Nora di Pizzaria tersebut dan menyuruhnya pulang. Hans marah besar pada Nora dan keesoka harinya di tempat kerja, teman-temannya mencemooh dirinya karena Nora dianggap telah mekakukan hal yang memalukan dan Hans dianggap tidak bisa mendidik istrinya.

Nora tidak berhenti sampai disini, kemudian mengumpulkan wanita-wanita di kota itu untuk melakukan Die Frauenstreik (Aksi Mogok Wanita). Para wanita meninggalkan rumah mereka dan berkumpul di rumah milik Vroni. Mereka melakukan pesta dan bersenang-senang disitu selama beberapa hari. Selama itu juga ditampilkan Hans mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga dan terlihat sangat kaku. Pada akhirnya para suami tidak tahan lagi dan menjemput paksa para istri mereka dari rumah Vroni pada tengah malam. Saat itulah Vroni mengalami serangan jantung karena kaget dan meninggal.

Para penduduk kota pun menghadiri prosesi pemakaman Vroni di gereja. Pada saat itulah Nora memberanikan diri membeberkan ketidakadilan yang dialami mendiang Vroni, kehilangan restoran disebabkan dia sebagai perempuan tidak memiliki hak padahal suaminya tidak becus dan sering mabuk-mabukan. Penduduk kota pun akhirnya banyak yang mulai tersadar. Tidak lama kemudian diadakan referendum untuk menentukan apakah kaum wanita boleh meliki hak pilih dalam pemilu (kalo ga salah, Swis adalah satu-satunya negara di dunia yang menerapkan demokrasi langsung atau demokrasi murni, dimana kebijakan akan dilempar ke publik untuk dilakukan referendum pemungutan suara apakah disetujui atau tidak). Akhirnya di akhir film, pada tahun 1971 kaum lelaki dan suami mengatakan ya untuk memberikan hak suara kepada kaum wanita.

Ok. Jadi gitu sinopsis filmnya secara garis besar. Menurut gue, film ini bertemakan tentang feminisme dan emansipasi wanita. Yang positif dari emansi wanita adalah kaum perempuan misalnya menuntut ilmu setinggi-tingginya, bekerja sesuai keahliannya dan memiliki hak pilih. Tapi ga semua feminisme versi barat bisa kita copy mentah-mentah ke budaya kita karena feminism disana itu sangat bebas nilai dan cenderung tanpa batas. Semoga tulisan ini bisa menambah wawasan. Terima kasih.

Beberapa adegan dalam film (dari berbagai sumber):