Monday, August 22, 2022

Mafia Migas vs Pertamina

    Berawal dari ketidaksengajaan gw liat postingan Instagram dari akun Berdikasi Book @berdikaribook di beranda yang postingnya tentang buku berjudul Mafia Migas vs Pertamina. Langsung gw cari buku itu sekilas diinternet dan di e-commerce market place macam Tokopedia & Shopee. Ga tau juga dapet ilham dari mana, gw iseng-iseng ketik 'Perpustakaan Nasional' di Google Play, alhasil munculah aplikasi bernama i-Pusnas. Setelah gw download dan gw install, gw login, terus gw coba cari judul buku tadi, ternyata ada! Dan gw ga jadi beli hehe. 
    Buku itu gw 'pinjem' selama 4 hari (kalopun belum selesai baca, bisa dilanjutkan pinjam untuk 4 hari berikutnya). Jumlah halamannya hampir sekitar 200an halaman. Bagus banget sih isinya berdasarkan data di lapangan, bukan sekedar opini. Pembahasannya tentang minyak dan gas bumi ga dimulai dari era sekarang, bukan juga zaman orde baru, tapi dari zaman penjajahan Belanda! Ya ternyata emang udah dari dulu sih Migas Indonesia jadi incaran asing, lebih tepatnya sekitar tahun 1859 sejak Kolonel Drake berhasil menemukan minyak pertama kali di Pennsylvania, Amerika Serikat.
    Kurang lebihnya yang gw tau dari buku ini adalah bahwa harga minyak (baca: bensin) di Indonesia yang katanya masih termasuk yang termurah diantara negara-negara ASEAN atau Asia Tenggara, sebenarnya masih bisa lebih murah dari itu! Faktor-faktor yang menyebabkan harga BBM tersebut menjadi mahal misalnya mekanisme pasar bebas, tidak ada kontrol negara yang kuat terhadap ladang minyak di wilayahnya sendiri, kemudian adanya tahapan-tahapan dalam alur produksi, impor maupun ekspor yang sebetulnya tidak efisien, negara membayar untuk hal-hal yang tidak perlu dimana kentungannya masuk ke kantong-kantong oknum tertentu dan pada akhirnya harga tersebut dibebankan ke rakyatnya sendiri. Silahkan dibaca sendiri untuk lengkapnya...








Friday, August 12, 2022

Corat-Coret Senja di Sore Hari

            Disuatu senja pertengahan bulan Agustus, aku duduk termenung sendiri di atas balkon rumah kecil kontrakanku bersama istri dan anak laki-laki kecilku. Aku memandangi langit biru yang diselimuti awan. Pikiran menerawang ke belakang, meresapi waktu-waktu yang telah berlalu, khususnya dalam lima tahun terakhir setelah aku lulus kuliah. Ku sadari memang beberapa tahun belakangan itu, aku tidak maksimal bahkan tidak bisa hanya sekedar untuk dikatakan optimal. Diriku dikala itu masih seperti mencari jati diri, siapa aku dan kemana aku akan melangkah. Sulit memang rasanya jika menjalani suatu pilihan yang tidak didasari oleh kesadaran yang sesadar-sadarnya dari dalam hati, melainkan pilihan orang lain. Alhasil, aku merasa diriku jalan ditempat, jauh tertinggal dibandingkan teman-teman lain.

            Jatuh bangun diriku menjalani hari demi hari yang sunguh terasa begitu berat. Beberapa kali aku merasa berada pada titik terendah dalam hidupku. Sampai akhirnya aku hanya bisa untuk terus melangkah, setidaknya ada progress  yang kulakukan setiap harinya walau hanya sedikit daripada hanya berdiam diri. Aku selalu berdoa pada setiap lima kali kesempatan dalam sehari itu, terkadang juga pada sepertiga malam terakhir, masih adakah kesempatan untukku untuk kembali bangkit dan menjalani ini semua secara lazim seperti kebanyakan orang-orang yang bisa sangat menikmati apa yang dilakoninya setiap hari. Sampai pada akhirnya Allah menjawab doaku, kesempatan itu datang terlebih disaat aku sudah nrimo terhadap ketentuan-Nya. 

            Alhamdulillah akhirnya aku menikmati hari-hariku sekarang. Apapun yang pernah kualami, kujadikan pelajaran berharga supaya ke depannya tidak terulang lagi. Tidak hanya untukku, tapi juga untuk anakku nanti bahwa aku harus menemani mereka tumbuh dewasa, membantu mereka mencari jati dirinya, mengarah tapi bukan mendikte.