Max Havelaar: or The Coffee Auctions of the Dutch Trading Company (judul aslinya dalam Bahasa Belanda: Max Havelaar, of de koffie-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappy) merupakan sebuah novel yang diterbitkan tahun 1860 oleh Eduard Douwes Dekker seorang pegawai Pemerintahan Kolonial Belanda di Hindia Belanda yang juga memiliki nama pena Multatuli (ga tau dari bahasa mana) yang artinya 'saya sudah banyak menderita'. Novel tersebut kemudian dingkat menjadi sebuah film pada tahun 1976 dengan judul yang sama oleh Peter Faber sebagai sutradara sekaligus pemeran utama. Perlu dicatat disini bahwa Eduard Douwes Dekker yang hidup ditahun (1820-1887) berbeda dengan Ernest Douwes Dekker yang hidup ditahun (1879-1950), meskipun keduanya sama-sama orang Belanda yang menaruh simpati kepada bangsa Indonesia selama zaman penjajahan Belanda.
Novel Max Havelaar merupakan karya yang fenomenal, semula ia menjadi inspirasi bagi gerakan sosial, mempengaruhi opini publik dan kritik terhadap kolonialisme yang pada akhirnya lambat laun menjadi cikal bakal semangat anti-kolonialisme. Novel ini menjadi bacaan wajib bagi siswa sekolah di Belgia selain karena memang nilai kesusasteraannya yang tinggi baik dari aspek estetika serta estetika, tapi juga karena huru-hara politik pada saat itu mengharuskan Douwes Dekker untuk menyelesaikan penulisan karya ini di Belgia. Tidak terkecuali di Eropa khususnya Belgia itu sendiri, novel ini menjadi inspirasi semangat anti-kolonial. Mungkin Belgia yang ada di sebelah selatan pada waktu itu masih bergabung bersama Belanda yang ada di utara. Secara tradisi, wilayah selatan beragama Katolik, sedangkan masyarakat yang disebelah utara beragama Protestan Dutch Reformed. Terlebih lagi ada sebagian dari Belgia yang berbahasa Perancis, tidak menggunakan Bahasa Belanda seperti Belanda dan sebagian Belgia di utara.
Meskipun kalau ditarik lebih lanjut, nantinya penduduk Flandria (Belgia yang berbahasa Belanda) merasa menjadi warga negara kelas dua di Negara Kesatuan Belgia yang sudah berpisah dengan Belanda, dibandingkan dengan penduduk Walonia (Belgia yang berbahasa Perancis) yang lebih mendapatkan keistimewaan. Salah satu faktornya mungkin karena Keluarga Kerajaan Belgia berbahasa Perancis. Sementara orang-orang Flandria merasa Belgia menjadi makmur karena sumbangsih wilayahnya seperti semua kota-kota niaga pelabuhan terletak di area Flandria (Walonia tidak berbatasan dengan laut), kemajuan teknologi pabrik-pabrik di utara jauh meninggalkan selatan. Hal itu yang kemudian secara drastis merubah bentuk negara Belgia dari Kesatuan menjadi Federal untuk mengabulkan tuntutan-tuntutan yang diajukan rakyat Flandria. 'Serba salah' bagi Flandria yang berbahasa Belanda dan beragama mayoritas Katolik. Disatu sisi mereka sama-sama berbahasa Belanda seperti Belanda yang ada di utara, tapi agamanya berbeda, dilain sisi mereka sama-sama beragama Katolik seperti Walonia di sebelah selatan, tapi bahasanya berbeda. Bahkan ada gerakan separatis di Belgia yang ingin memisahkan Flandria menjadi negara independen sendiri, tapi hal itu ditentang oleh Walonia khususnya karena ya mungkin benar, urat nadi perekonomian Belgia sangat disokong dari kontribusi Flandria. Tahun-tahun belakangan juga antara perwakilan Flander dan Walonia juga akan terjadi gesekan ditingkat Pemerintahan Nasional, contohnya saat terjadi kekosongan Pemerintahan Belgia di tahun 2011. Oke ini bahasan lain, kembali ke topik utama tulisan ini.
Meskipun kalau ditarik lebih lanjut, nantinya penduduk Flandria (Belgia yang berbahasa Belanda) merasa menjadi warga negara kelas dua di Negara Kesatuan Belgia yang sudah berpisah dengan Belanda, dibandingkan dengan penduduk Walonia (Belgia yang berbahasa Perancis) yang lebih mendapatkan keistimewaan. Salah satu faktornya mungkin karena Keluarga Kerajaan Belgia berbahasa Perancis. Sementara orang-orang Flandria merasa Belgia menjadi makmur karena sumbangsih wilayahnya seperti semua kota-kota niaga pelabuhan terletak di area Flandria (Walonia tidak berbatasan dengan laut), kemajuan teknologi pabrik-pabrik di utara jauh meninggalkan selatan. Hal itu yang kemudian secara drastis merubah bentuk negara Belgia dari Kesatuan menjadi Federal untuk mengabulkan tuntutan-tuntutan yang diajukan rakyat Flandria. 'Serba salah' bagi Flandria yang berbahasa Belanda dan beragama mayoritas Katolik. Disatu sisi mereka sama-sama berbahasa Belanda seperti Belanda yang ada di utara, tapi agamanya berbeda, dilain sisi mereka sama-sama beragama Katolik seperti Walonia di sebelah selatan, tapi bahasanya berbeda. Bahkan ada gerakan separatis di Belgia yang ingin memisahkan Flandria menjadi negara independen sendiri, tapi hal itu ditentang oleh Walonia khususnya karena ya mungkin benar, urat nadi perekonomian Belgia sangat disokong dari kontribusi Flandria. Tahun-tahun belakangan juga antara perwakilan Flander dan Walonia juga akan terjadi gesekan ditingkat Pemerintahan Nasional, contohnya saat terjadi kekosongan Pemerintahan Belgia di tahun 2011. Oke ini bahasan lain, kembali ke topik utama tulisan ini.
Film Max Havelaar sendiri bercerita tentang seorang pegawai Pemerintahan Kolonial Belanda bernama Max Havelaar yang menjabat sebagai Asisten Resident. Semula dia merupakan Asisten Resident yang ditempatkan di Manado, kemudian dipindahkan ke Lebak Banten pada tahun 1850 untuk menggantikan seorang Asistent Resident bernama Pierre Slotering yang meninggal akibat pembengkakan liver menurut surat keterangan resmi dari dokter. Lebak pada saat itu merupakan daerah yang lebih tertinggal dibandingkan Manado. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi Havelaar, dimana dia melihat peluang jika berhasil disitu akan terbuka lebar peluang untuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Dia membawa serta seorang istri bernama Tine dan anak laki-lakinya yang bernama Maxie selama penugasannya di Hindia Belanda.
Sebelum kedatangan Havelaar, Asistent Resident dijabat oleh Slotering yang beristrikan wanita pribumi (pribumi disini dalam konteks kolonial pada saat itu, juga ada istilah non-pribumi untuk penduduk keturunan Arab, Tionghoa dan India, dimana istilah ini sengaja diciptakan Belanda untuk mengkotak-kotakan dan memecah-belah persatuan diantara penduduk Hindia Belanda). Lebak pada waktu itu dipimpin oleh seorang Regent (Bupati) bernama Raden Adipati Kartanegara. Suatu malam, Bupati mengundang Slotering untuk makan malam di rumahnya. Disajikan berbagai makanan lezat dan tari-tarian tradisional yang dibawakan oleh paa wanita muda yang cantik dan juga dihadiri oleh para abdi dalem Bupati. Selama santap malam itu, Slotering mengingatkan Adipati supaya tidak semena-semana kepada rakyatnya. Di dalam film ini Adipati digambarkan lebih kejam kepada rakyat daripada Pemerintah Kolonial Belanda itu sendiri, ia juga memiliki keluarga yang banyak untuk ditanggung kehidupannya sehingga sering memeras rakyatnya. Dia sering menyuruh rakyat bekerja memotong rumput tanpa dibayar sepeserpun, mengambil secara paksa harta rakyat seperti kerbau dengn iming-iming akan dibayar nantinya, bahkan membunuh rakyat yang berusaha menagih uang tersebut dll. Namun Adipati masih berusaha untuk membungkam mulut Slotering dengan menawarkan salah satu gadis penari yang cantik untuk 'diajak ngobrol berdua' setelah jamuan makan malam. Slotering tidak mau dengan alasan mereka pasti capek habis menari. Merasa usahanya gagal, Adipati aakhirnya menggunakan jalan terakhir untuk menghentikan Slotering, yaitu membunuhnya dengan cara memberikan racun pada lada yang ditawarkan Demang kepada Asistent Resident itu.
Sepulang jamuan makan malam dari rumah Adipati, Slotering tidak sadarkan diri saat kusir kereta kuda membukakan pintu. Mulutnya sudah berbusa. Istrinya membopongnya ke kasur dan dipanggilkan dokter untuk memberikan pertolongan medis. Akan tetapi, ternyata dokter tersebut dekat dengan Resident Lebak (lupa nama tokohnya). Urutan yang tertinggi adalah Gubernur Jenderal, Resident dan Asistent Resident (ketiganya adalah orang Belanda di Pemerintahan Kolonial), kemudian di bawahnya ada Regent (Bupati) yang dijabat orang pribumi. Sementara, Residen dekat dengan Adipati, sehingga dokter tersebut menutup-nutupi fakta sebenarnya dengan mengatakan bahwa Slotering meninggal karena pembengkakan liver, bukan diracun. Meskipun istri Slotering tetap tidak mempercayai hal itu. Sama seperti yang pernah dilakukan Adipati kepada Slotering yaitu memberikan gratifiksi wanita kepadanya, ia juga melakukan hal yang sama kepada Residen sebagai salah satu cara untuk membungkam mulut Residen. Hal itu terlihat dari salah satu adegan dimana Demang orang kepercayaan Adipati membawa wanita yang wajahnya ditutupi kain untuk kemudian naik ke kereta kuda Residen dan untuk kemudian 'pergi berdua'.
Max Havelaar akhirnya tiba di Lebak setelah menempuh perjalanan laut dengan kapal layar dari Manado bersama keluarganya dengan beberapa awak kapal. Saat Havelaar baru mendarat dipesisir pantai, dia melihat perlakuan dua orang Belanda yang melakukan pelecehan seksual kepada seorang wanita pribumi. Akhirnya Havelaar menegur dan menampar salah satu Belanda itu. Havelaar sangat berbeda dengan Asistent Resident sebelumnya. Dia memandang rakyat pribumi yang tertindas sebagai manusia sama seperti orang kulit putih yang juga harus dimanusiakan. Dia digambarkan sebagai seorang yang memperhatikan dan peduli pada kehidupan, nasib dan penderitaan rakyat di bawah daerah yang menjadi tanggung jawabnya. Dia selalu memegang sumpahnya saat pelantikan Asisten Resident untuk membela kepentingan rakyat di Lebak. Dia juga tidak setuju dengan sepak terjang Adipati dan beberapa kali menegurnya. Bahkan dia rela uang pribadinya dipakai untuk jaminan uang muka pajak sebelum Adipati menariknya dari rakyat. Sebab Havelaar berpikir, salah satu peyebab Adipati berbuat demikian adalah karena dibelakangnya banyak keluarganya yang berpangku tangan kepada Adipati. Sehingga, Adipati harus dibuat tercukupi keuangannya dengan harapan dia tidak terus-menerus memeras rakyatnya. Usaha Havelaar sia-sia. Adipati tetaplah berperangai demikian.
Sampai akhirnya, Havelaar mengetahui penyebab kematian Slotering yang sesungguhnya setelah Ny. Slotering sering memperingatkanya untuk tidak menghadiri undangan jamuan makan malam dari Adipati. Kesabarannya pun habis. Dia melaporkan pembunuhan itu kepada Gubernur Jenderal dengan alasan menuntut keadilan. Nampaknya karena kedekatan Sang Bupati Adipati dengan Residen Lebak, Adipati dinytakan tidak bersalah atas tuduhan itu. Malah Havelaar yang di'mutasi' ke daerah lain yaitu Ngawi. Bupati ingin menyingkirkannya supaya tidak lagi di Lebak. Namun, ia lebih memilih untuk menoak dan diberhentikan sebagai Asistent Resident. Demikianlah akhir ceritanya.
Film yang berdurasi hampir 3 jam ini juga menggunakan alur mundur. Terlihat di awal film, Havelaar yang sudah pulang ke Belanda setelah tidak lagi menjadi Asistent Resident, menawarkan tulisan mengenai kisahnya di Hindia Belanda dan juga tentang kopi kepada salah seorang pemilik penerbitan buku. Selama di Jawa, dia dan pegawai-pegawai pemerintahan kolonial Belanda digambarkan suka minum kopi yang dihasilkan dari perkebunan kopi di Jawa hasil dari peraturan Tanam Paksa dimana rakyat hanya boleh menanam gua dan kopi. Hal itu yang menjadi titik mula persamaan antara Havelaar dan pemilik penerbitan itu yang juga menyukai kopi.
Konon, setelah Multatuli menerbitkan novel ini, banyak orang terinspirasi di Negeri Belanda sehingga banyak kritik yang diterima oleh Pemerintah Belanda perihal Cultuurstelsel atau Tanam Paksa yang banyak memakan korban jiwa setelah dicanangkan pada tahun 1830 dari gagasan Gubernur Jenderal Van den Bosch. Sampai pada akhirnya, tahun 1870 Tanam Paksa berhasil diberhentikan. Setelah gw baca-baca juga, awalnya sebelum film ini diluncurkan tahun 1976 ada deal antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia. Namun, kenyataannya film ini lebih mengikuti versi dari pihak Belanda yang terlihat dari penggambaran sosok Bupati Adipati yang sedemikian rupa. Mungkin Pemerintah Orde Baru melihat hal itu sebagai sesuatu yang berbahaya dan mengancam, sehingga film itu sempat dilarang selama hampir 12 tahun. Baru sekitar tahun 1987-88, film ini diperbolehkan diputar.
https://news.detik.com/berita/1621325/max-havelaar-bacaan-wajib-siswa-di-belgia?nd771104bcj=
http://www.readingmultatuli.co/2010/04/max-havelaar-tetap-hidup-di-belanda_22.html
https://www.kompasiana.com/masteddy/5a2b5aedf1334407d666d5f2/secuil-catatan-tentang-film-max-havelaar-1976
Sebelum kedatangan Havelaar, Asistent Resident dijabat oleh Slotering yang beristrikan wanita pribumi (pribumi disini dalam konteks kolonial pada saat itu, juga ada istilah non-pribumi untuk penduduk keturunan Arab, Tionghoa dan India, dimana istilah ini sengaja diciptakan Belanda untuk mengkotak-kotakan dan memecah-belah persatuan diantara penduduk Hindia Belanda). Lebak pada waktu itu dipimpin oleh seorang Regent (Bupati) bernama Raden Adipati Kartanegara. Suatu malam, Bupati mengundang Slotering untuk makan malam di rumahnya. Disajikan berbagai makanan lezat dan tari-tarian tradisional yang dibawakan oleh paa wanita muda yang cantik dan juga dihadiri oleh para abdi dalem Bupati. Selama santap malam itu, Slotering mengingatkan Adipati supaya tidak semena-semana kepada rakyatnya. Di dalam film ini Adipati digambarkan lebih kejam kepada rakyat daripada Pemerintah Kolonial Belanda itu sendiri, ia juga memiliki keluarga yang banyak untuk ditanggung kehidupannya sehingga sering memeras rakyatnya. Dia sering menyuruh rakyat bekerja memotong rumput tanpa dibayar sepeserpun, mengambil secara paksa harta rakyat seperti kerbau dengn iming-iming akan dibayar nantinya, bahkan membunuh rakyat yang berusaha menagih uang tersebut dll. Namun Adipati masih berusaha untuk membungkam mulut Slotering dengan menawarkan salah satu gadis penari yang cantik untuk 'diajak ngobrol berdua' setelah jamuan makan malam. Slotering tidak mau dengan alasan mereka pasti capek habis menari. Merasa usahanya gagal, Adipati aakhirnya menggunakan jalan terakhir untuk menghentikan Slotering, yaitu membunuhnya dengan cara memberikan racun pada lada yang ditawarkan Demang kepada Asistent Resident itu.
Sepulang jamuan makan malam dari rumah Adipati, Slotering tidak sadarkan diri saat kusir kereta kuda membukakan pintu. Mulutnya sudah berbusa. Istrinya membopongnya ke kasur dan dipanggilkan dokter untuk memberikan pertolongan medis. Akan tetapi, ternyata dokter tersebut dekat dengan Resident Lebak (lupa nama tokohnya). Urutan yang tertinggi adalah Gubernur Jenderal, Resident dan Asistent Resident (ketiganya adalah orang Belanda di Pemerintahan Kolonial), kemudian di bawahnya ada Regent (Bupati) yang dijabat orang pribumi. Sementara, Residen dekat dengan Adipati, sehingga dokter tersebut menutup-nutupi fakta sebenarnya dengan mengatakan bahwa Slotering meninggal karena pembengkakan liver, bukan diracun. Meskipun istri Slotering tetap tidak mempercayai hal itu. Sama seperti yang pernah dilakukan Adipati kepada Slotering yaitu memberikan gratifiksi wanita kepadanya, ia juga melakukan hal yang sama kepada Residen sebagai salah satu cara untuk membungkam mulut Residen. Hal itu terlihat dari salah satu adegan dimana Demang orang kepercayaan Adipati membawa wanita yang wajahnya ditutupi kain untuk kemudian naik ke kereta kuda Residen dan untuk kemudian 'pergi berdua'.
Max Havelaar akhirnya tiba di Lebak setelah menempuh perjalanan laut dengan kapal layar dari Manado bersama keluarganya dengan beberapa awak kapal. Saat Havelaar baru mendarat dipesisir pantai, dia melihat perlakuan dua orang Belanda yang melakukan pelecehan seksual kepada seorang wanita pribumi. Akhirnya Havelaar menegur dan menampar salah satu Belanda itu. Havelaar sangat berbeda dengan Asistent Resident sebelumnya. Dia memandang rakyat pribumi yang tertindas sebagai manusia sama seperti orang kulit putih yang juga harus dimanusiakan. Dia digambarkan sebagai seorang yang memperhatikan dan peduli pada kehidupan, nasib dan penderitaan rakyat di bawah daerah yang menjadi tanggung jawabnya. Dia selalu memegang sumpahnya saat pelantikan Asisten Resident untuk membela kepentingan rakyat di Lebak. Dia juga tidak setuju dengan sepak terjang Adipati dan beberapa kali menegurnya. Bahkan dia rela uang pribadinya dipakai untuk jaminan uang muka pajak sebelum Adipati menariknya dari rakyat. Sebab Havelaar berpikir, salah satu peyebab Adipati berbuat demikian adalah karena dibelakangnya banyak keluarganya yang berpangku tangan kepada Adipati. Sehingga, Adipati harus dibuat tercukupi keuangannya dengan harapan dia tidak terus-menerus memeras rakyatnya. Usaha Havelaar sia-sia. Adipati tetaplah berperangai demikian.
Sampai akhirnya, Havelaar mengetahui penyebab kematian Slotering yang sesungguhnya setelah Ny. Slotering sering memperingatkanya untuk tidak menghadiri undangan jamuan makan malam dari Adipati. Kesabarannya pun habis. Dia melaporkan pembunuhan itu kepada Gubernur Jenderal dengan alasan menuntut keadilan. Nampaknya karena kedekatan Sang Bupati Adipati dengan Residen Lebak, Adipati dinytakan tidak bersalah atas tuduhan itu. Malah Havelaar yang di'mutasi' ke daerah lain yaitu Ngawi. Bupati ingin menyingkirkannya supaya tidak lagi di Lebak. Namun, ia lebih memilih untuk menoak dan diberhentikan sebagai Asistent Resident. Demikianlah akhir ceritanya.
Film yang berdurasi hampir 3 jam ini juga menggunakan alur mundur. Terlihat di awal film, Havelaar yang sudah pulang ke Belanda setelah tidak lagi menjadi Asistent Resident, menawarkan tulisan mengenai kisahnya di Hindia Belanda dan juga tentang kopi kepada salah seorang pemilik penerbitan buku. Selama di Jawa, dia dan pegawai-pegawai pemerintahan kolonial Belanda digambarkan suka minum kopi yang dihasilkan dari perkebunan kopi di Jawa hasil dari peraturan Tanam Paksa dimana rakyat hanya boleh menanam gua dan kopi. Hal itu yang menjadi titik mula persamaan antara Havelaar dan pemilik penerbitan itu yang juga menyukai kopi.
Konon, setelah Multatuli menerbitkan novel ini, banyak orang terinspirasi di Negeri Belanda sehingga banyak kritik yang diterima oleh Pemerintah Belanda perihal Cultuurstelsel atau Tanam Paksa yang banyak memakan korban jiwa setelah dicanangkan pada tahun 1830 dari gagasan Gubernur Jenderal Van den Bosch. Sampai pada akhirnya, tahun 1870 Tanam Paksa berhasil diberhentikan. Setelah gw baca-baca juga, awalnya sebelum film ini diluncurkan tahun 1976 ada deal antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia. Namun, kenyataannya film ini lebih mengikuti versi dari pihak Belanda yang terlihat dari penggambaran sosok Bupati Adipati yang sedemikian rupa. Mungkin Pemerintah Orde Baru melihat hal itu sebagai sesuatu yang berbahaya dan mengancam, sehingga film itu sempat dilarang selama hampir 12 tahun. Baru sekitar tahun 1987-88, film ini diperbolehkan diputar.
https://news.detik.com/berita/1621325/max-havelaar-bacaan-wajib-siswa-di-belgia?nd771104bcj=
http://www.readingmultatuli.co/2010/04/max-havelaar-tetap-hidup-di-belanda_22.html
https://www.kompasiana.com/masteddy/5a2b5aedf1334407d666d5f2/secuil-catatan-tentang-film-max-havelaar-1976